Salah satu kapital sosial yang ada dan hidup dalam masyarakat Manggarai yakni lembaga adat. Lembaga adat memiliki peran penting sebagai pelaku utama atas kebudayaan dalam sebuah komunitas kecil yang kerap disebut sebagai b o/golo lonto (kampung). Menurut Verheijen (1991:25), b o merupakan kesatuan terkecil dan sekaligus sakral.
Setiap kesatuan sosial terkecil dikatakan sebagai sebuah b o apabila ditandai dengan adanya unsur-unsur berikut. Pertama, lembaga adat yang terdiri dari tu’a golo, tu’a teno dan tu’a panga.Â
Kedua, memiliki mbaru gendang (rumah adat) yang dilengkapi dengan berbagai peralatan budaya. Ketiga, mempunyai wilayah kekuasaan oleh kesatuan masyarakat hukum adat (lingko).
Perpaduan ketiga unsur tersebut, menggambarkan keterkaitan antara keberadaan para tu’a-tu’a adat dalam suatu kampung dengan mbaru gendang dan lingko.Â
Pandangan masyarakat Manggarai, hal tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sebuah go’ t (ungkapan) “gendang on -lingko p ang’’ (gendang yang digantungkan pada rumah adat menjadi satu kesatuan yang utuh dengan lingko-lingko yang menjadi hak warga masyarakat setempat).Â
Ungkapan tersebut tentunya dipandang sebagai petunjuk sekaligus pedoman yang menggarahkan segenap anggota perseketuan.
Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; Pertama, aspek historis berdiri dan terbentuknya sebuah b  oleh para leluhur sehingga mereka di posisikan sebagai ata tu’a laing on  ca b o (yang tertua dalam sebuah kampung). Kedua, seorang tu’a golo dipilih dilihat dari usia (ata ngaso/ka laing) dan memahami adat-istiadat.Â
Ketiga, tu’a teno dipilih  berdasarkan pergiliran keturunan, baik dari keturunan kakak maupun adik. Keempat, tu’a panga yang merupakan utusan dari setiap keluarga ranting.
Eksitensi lembaga adat di Manggarai mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, segala bentuk perilaku-perilaku individu yang melanggar hukum norma adat dalam kehidupan bersama di suatu kampung, dilimpahkan kepada tu’a-tu’a adat melalui garis komando dan koordinasi antara tu’a-tu’a sebagai pihak pengambil keputusan, sekarang hal itu jarang sekali ditemukan karena sudah diganti oleh hukum positif.
Tradisi masyarakat Manggarai, ungkapan ata tu’a atau ata tu’a laing dalam suatu kampung memiliki kaitannya dengan kedua identitas yang ada pada suatu komunitas kecilyakni mbaru gendang dan lingko. Mbaru gendang (mbaru = rumah, gendang = alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing).Â
Arti budaya istilah mbaru gendang selalu merujuk pada pengertian rumah adat. Hal ini didasari oleh beberapa aspek diantaranya; berbagai peralatan musik tradisional seperti; nggong dan gendang disimpan pada mbaru gendang, tempat diselenggarakannya berbagai upacara-upacara adat.
Kedudukan mbaru gendang sebagai salah satu ciri khas dalam sebuah kampung mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keberadaan para tu’a-tu’a adat, baik dilihat dari fungsi mbaru gendang maupun peran dari tu’a-tu’a adat itu sendiri.
Keterkaitan antara fungsi mbaru gendang dan peran tu’a-tu’a tersebut,diungkapkan melalui; Pertama, mbaru gendang sebagai tempat tinggalnya tu’a-tu’a adat yang merupakan pemimpin umum warga kampung.Â
Kedua, mbaru gendang sebagai tempatdiadakannya rapat penting yang berhubungan dengan kepentingan umum warga kampung dengan peran masing-masing peran tu’a adat yang dilukiskan dalam garis komando dan koordinasi antara tu’a.Â
Ketiga, mbaru gendang sebagai tempat untuk menerima tamu penting dan peran tu’a-tu’a adat dalam menerima tamu tersebut secara adat.Â
Keempat, disimpannya berbagai benda-benda pusaka peninggalan leluhur dan upacara pembersihan barang pusaka oleh tu’a-tu’a adat.Â
Kelima, diselenggarakannya pesta-pesta besar warga kampung seperti; penti,wagal, ta  kaba, cepa dan peran tu’a-tu’a adat sebagai pemimpin dalam menyelenggarakanupacara tersebut (Bdk. Janggur, 2010: 22-23).
Keunikan mbaru gendang sebagai salah satu elemen budaya Manggarai, dapat kita jumpai di setiap kampung. Bagian-bagian yang ada pada mbaru gendang mempunyai fungsi dan makna tersendiri bagi tu’a-tu’a adat dan segenap warga kampung.
Mbaru gendang sebagai salah satu identitas suatu kampung, seringkali tidak dihayati secara mendalam oleh segenap tu’a-tu’a adat dan warga kampung.Â
Para Tu’a-tu’a adat yang sebenarnya menghuni di mbaru gendangnamun jarang sekali ditemukan. Makna peran dari masing-masingtu’a adat tidak dihayati dalam bentuk tanggung jawabnya untuk menghuni dan merawat mbaru gendangserta dapur mbaru gendang yang sudah rusak bahkan terancam punah.
Lingko/uma bat  duat merupakan salah satu tata ruang budaya orang Manggarai. Lingko (kebun yang menyerupai sarang laba-laba) erat kaitannya dengan sistem mata pencaharian masyarakat Manggarai.Â
Lingko dan peran tu’a teno menjadi bagian yang terpisahkan dalam kehidupan suatu kampung. Hal ini dilukiskan dalam beberapa peran tu’a teno yakni: mencatat nama-nama anggota yang berhak mendapat pembagian tanah ulayat, membagi kebun dan menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan langsung dengan kebun.
Lingko dalam beberapa dekade terakhir seringkali diwarnai oleh berbagai persolan di Manggarai. Persoalan tersebut sudah ada sejak tahun 1935-1993 dengan rentan usia konflik yang cukup lama berkisar antara 30-60 tahun (Bdk. Deno Kamelus, dkk, 2001:3-4). Konflik yang berkepanjangan tersebut akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat.
Peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendangmerupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks pemertahanan mbaru gendang.Peran yang dilakoni oleh masing-masing tu’a adat dalam mbaru gendangmerupakan indikasi yang menggambarkan sejauh mana tu’a-tu’a adat dalam mempertahankan fungsi mbaru gendang.
Jika di kampung halaman seorang anak mengenal berbagai peran tu’a-tu’a adat dan fungsi mbaru gendang maka ia sedang mempelajari tentang budaya Manggarai. Akses pendidikan tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan tu’a-tu’a adat sebagai sumber belajar utama (guru) sedangkan anak memposisikan diri sebagai murid.
Pandangan masyarakat Manggarai tu’a-tu’a adat merupakan symbol pewaris dan anak merupakan penerus ahli waris. Hal ini didasari oleh sebuah pepatah kuno Manggarai (go’ t)yakni “muntung gurung pu’u-manga wungkut nipu curup, wakak b tong asa-manga wak  nipu ta (ketika para tu’a-tu’a adat sudah meninggal, diharapkan anak/generasi muda yang memiliki tanggung jawab dalam memelihara serta meneruskan kebudayaan).
Pendidikan tentang budaya Manggarai dapat diakses melalui menikmati berbagai pengalaman langsung yang dilaksanakan oleh para tu’a-tu’a adat di mbaru gendang maupun di luar kampung.
Bentuk pendidikan budaya tersebut diakses melalui berbagai kesempatan lonto l ok, caca mbolot, sanda, mbata, hambor, penti dan t ing hang. Aktivitas tersebut dapat menunjang generasi muda atau anak dalam menimba pengetahuan dari generasi tua.Â
Segala bentuk tuturan, petuah, nasihat maupun sikap yang dalam berbagai peran yang dijalankan oleh masing-masing tua, secara berlahan-lahan anak/generasi muda memahami putusannya, mengerti filosofinya, mengetahui sejarah keturunan dan posisi masing-masing dalam lingkaran persekutuan secara keseluruhan.Â
Dengan mengetahui posisi masing-masing, menumbuhkan rasa saling mengharagai dalam konteks struktur kekerabatan, terbina keharmonisan vertikal dan horizontal serta terpeliharanya rasa solidaritas sesama warga persekutuan, ada pertobatan silahturahmi dan nilai positif lainnya. Kendatipun demikian dalam kenyataannya masih banyak lembaga adat di Manggarai yang kurang menyatu dengan perannya.Â
Mbaru gendang yang sebelumnya dihuni oleh tu’a-tu’a adat dan dapat dijadikan sebagai ruang publik warga kampung dalam mengakses pendidikan tentang nilai-nilaibudaya Manggarai kepada anak, hal itu jarang sekali dijumpai.
Dewasa ini, anak atau generasi muda Manggarai sudah mengenal pendidikan tentang budaya Manggarai melalui lembaga formaldengan lahirnya pembelajaran muatan lokal budaya daerah pada jenjang SD dan SMP.Â
Menurut Sutam, (2014:1-3) adapun peran tu’a-tu’a adat sebagai guru atau pewaris budaya dengan fungsi mbaru gendang sebagai sarana belajar dalam proses pewarisan pendidikan tentang budaya Manggarai dapat ditampilkan melalui 1) Teing (memberi), 2) Tatong (menumbuhkan rasa afeksi), 3) Toing (mengajarkan), 4) Titong (membimbing), 5) Tatang (memotivasi).
Lebih jauh Sutam, (2014:4-9) mengungkapkan bahwa prinsip pendidikan yang harus dimiliki oleh anak atau generasi muda dalam Manggarai diantaranya; pertama, tating/toting (rindu akan kebersamaan), kedua, tanang (menampug), ketiga, tingeng (merekam), keempat, tamang (disimpan dengan baik dan teratur), kelima, toming (meniru).Â
Dalam menunjang pendidikan tersebut dibutuhkan keuletan dan partisipasi aktif dari generasi muda dengan cara  (melihat), apa yang dilakukan oleh para tua adat, s ng t (mendengarkan), id (meresapi), pand (berbuat/melakukan) sesuai dengan pandangan orang Manggarai.
Kelima konsep yang telah diuraikan menggambarkan adanyakaitan yang erat antara peran tu’a-tu’a adat dan pendidikan tentang budaya Manggarai. Semua warga kampung dapat berkumpul di mbaru gendanguntuk melaksanakan berbagai aktivitas yang selaras dengan maksud dan tujuannya masing-masing.
Seiring dengan bergulirnya waktu, mbaru gendang yang merupakan sebagai salah satu ruang budaya yang paling dekat dengan kehidupan orang Manggarai mengalami perubahan.
Berdasarkan hasil observasi penulis dalam konteks mikro di Kampung Gulung dengan kurun waktu dua tahun terakhir, potret realitas perubahan itu, nampak dengan minimnya kesadaran warga kampung dalam merehabilitasi dapur mbaru gendang yang sudah mulai rusak total serta mbaru gendang yang sudah mulai lapuk dan tidak ada penguhuninya.
Menyadari tu’a-tu’a adat dan mbaru gendang sebagai elemen penting dalam menunjang generasi muda untuk mengakses pendidikan tentang budaya Manggarai maka perlu mengetahui sejauh mana peran tu’a-tu’a adat itu sendiri berimplikasi terhadap Pendidikan tentang budaya Manggarai.
Pemertahanan mbaru gendang tersebut bagi mereka merupakan suatu keharusan dan bentuk tanggung jawab atas perannya masing-masing. Berbagai peran yang dilakoni oleh para tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang berimplikasi langsung terhadap pemertahanan mbaru gendang.Â
Peran tua-tua adat sebagai pemimpin umum untuk menyatukan seluruh warga kampung, melalui garis komando dan koordinasi antara tua dengan fungsi mbaru gendang sebagai pusat diselenggarakannya berbagai kepentingan umum maupun khusus memiliki kesamaan makna dalam konteks pemertahanan mbaru gendang.Â
Kesamaan itu, diwujudnyatakan melalui lonton bongkok dan peran tu’a golo sebagai pemimpin umum warga kampung, riang niang dan peran masing-masing tu’a menjadi tanda yang membedakan mereka dengan tu’a-tu’a lain yang ada dalam suatu kampung.Â
Makna peran tua-tua adat dalam fungsi mbaru gendang akan mendorong segenap anggota masyarakat untuk melibatkan diri dalam berbagai jenis upacara yang dijalankan di mbaru gendang.
Kendatipun dalam potret realitas fungsi mbaru gendang belum optimal, tetapi para tua-tua adat di Kampung Gulung mengakui bahwa melalui perannya dalam fungsi mbaru gendang sebagai pusat digalakkan berbagai ritus-ritus adat dapat memberikan kontribusi bagi pendidikan tentang budaya Manggarai kepada anak.
Dalam berbagai peran yang dilakoni oleh masing-masing tua-tua adat dalam mbaru gendang, seluruh warga kampung mulai dari anak-anak hingga orangtua, memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan tentang budaya Manggarai.Â
Bentuk pendidikan budaya tersebut, terungkap dalam berbagai kesempatan penting diantaranya: Pertama, lonto l ok atau lonto liup yang mencerminkan nilai gotong-royong, dan menumbuhkan kedekatan emosioanal di antara warga kampung.Â
Kedua, ritus-ritus yang dilaksanakan mengungkapkan relasi dengan para leluhur agar selalu diberi kesehatan, kesuksesan dan kedamaian. Ketiga, berbagai peralatan budaya yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan tertentu akan membangkitkan semangat dalam mengenal dan mempelajari berbagai jenis pukulan gong, gendang serta peralatan caci. Keempat, sanda dan mbata yang diselenggarakan tersirat mengajarkan aneka nilai positif bagi segenap warga kampung.
Peran tua-tua adat dan mbaru gendang memiliki hubungan yang erat, baik melalui makna dalam peran  maupun dalam fungsi mbaru gendang. Kedua hubungan tersebut berimplikasi langsung terhadap akses pendidikan anak tentang budaya Manggarai.
Oleh: Ovantus Yakop
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H