Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Akhir Kisah Sebuah Puisi

10 Mei 2014   15:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1399684733138478146

[caption id="attachment_323226" align="aligncenter" width="554" caption="Meg Ryan dan Tom Hanks"][/caption]

Sumber Gambar

Aku yang aneh atau kamu yang aneh sich? Selalu itu hatiku bertanya.

*******

"Kenapa sich Mas, kok selalu aku yang harus tanya kamu dulu? Aku khan perempuan, harusnya kamu tahu diri...! Kamu tahu nggak sich? Perempuan itu perasaannya halus khan? Jadi kamu itu yang harus mulai. Bukan perempuan. Sapa dulu aku kek. SMS aku, atau messenger aku. Atau gimana gitu lho? Masa SEMUANYA harus aku duluan..! Capee dech..!"

Selalu itu luncuran kalimat deras berupa protes dari mulutmu untuk memojokkanku. Selalu itu alasanmu untuk membiarkan kita tanpa sapa. Tanpa kata. Sepi.

Hari ini aku sengaja membuat puisi. Puisi untuk membangunkan tidurmu itu. Sesuai maumu. Aku yang mencoba mengetukmu dulu. Aku tak tahu, kamu bangun atau tidak dengan puisi yang kubuat kilat ini. Puisi yang berbahan dari dialog comot sana sini. Entah.

Dialog Yang Sepi

Sehari tanpamu tanpa kata-kata
Rasa sepi menghantam jiwa
Dimanakah engkau gerangan?
Apakah dirimu bermain layang-layang di halaman?

"Aku bersembunyi di balik pintu," ucapmu
"Biar kuketuk pintu hatimu," pintaku
"Kuncinya hilang." jawabmu pelan sambil tertawa
Tak patah aku terus meminta, "kudobrak saja atau lewat jendela?"

Serumu, "hati-hati"
Akupun mencoba meloncat dari hati ke hati
Menemukan yang pasti
Agar hariku tak terlewati dengan sendiri

Kemudian dialog pun sepi kembali

*******

Posted.

Tak berapa lama. Alarm khas Facebook berbunyi. Sontak aku kaget.

"Aku masih disini." Kubaca pesanmu. Di akhir deretan kalimat itu ada senyum terpasang. Lalu kitapun berchit-chat sana sini. Rindu kita pun terobati. Sejenak.

"Mau, kubuatin puisi lagi?" tanyaku menjelang berpisah.
"Mau..Mau..Mau..," katamu dengan nada seperti iklan anu. Manja. "Bayar berapa?" candamu dari seberang sana sambil tertawa. Ada emoticon tertawa.

Huh, tahu tidak? Aku senang dengan cara manjamu itu. Kamu manis kalau ceria begini. Tapi caramu itu, kamu dalam pandanganku tidak pede. Sok pemalu. Jinak-jinak merpati itu yang aku pusing menghadapinya. Aku benci banget kalau kamu begitu.

"Mas, kamu ababil penakut," cetusmu.
"Jangan pakai istilah yang aku tidak mengerti," protesku.
"ABG labil. Penakut. Hihihihi...."

Aku tersenyum kecut. Habis sudah kita. Bubar.

"Aku suka kamu. Kamu apa adanya, Mas," jelas kamu akhirnya. Menghibur sementara saja. Seperti biasa.

"Puisimu itu bikin aku mabok."

Aku tertawa. Senang rasanya membuatmu mabok.

"Tapi mabok yang sembuh dengan obat gambar alat transportasi itu," lanjutmu mempermainkanku. Senangku buyar.

"Ya udah. Sana gih buat puisi lagi. Aku tunggu," perintahmu lagi.

Hadehhh...! Seorang gadis kalau lagi di atas angin selalu begitu. Main perintah. Anehnya aku suka. Berani memerintah berarti kamu sudah pede, tak minder. Sungguh aku suka. Aku tak bisa menolak. Bencinya aku pada diriku sendiri.

"Sebelum posting. Lihatin aku dulu ya..!" katamu manja.

"Woow...! Main screening sekarang ya?" aku membatin lirih. Putus asa. Aku diam saja.

*******

"Udah jadi," kabarku kepadamu. "Nich baca..," sodorku lewat messenger. Seenaknya. Kasar memang puisinya. Aku ingin melihat reaksimu. Seberapa kuat kamu baca puisiku itu. Aku tahu kamu pasti akan terasa. Aku nekat saja. Resiko apapun kuterima nantinya. Aku sudah putus asa. Aku kan ababil penakut.

Terserah Dirimu Saja

diammu guratkan rasaku tak percaya
malah dialog kita tinggalkan salah rasa

"Mau," kata hatimu
tapi tak terungkap dari bibirmu
hanya pesan tersirat yang ambigu
itu protesmu

lalu aku harus bagaimana?
haruskah aku teriakkan kepada dunia
betapa besar cinta ruang hati dalam dada?
bukankah kau tahu aku ini lelaki asli Jawa?

yang cukup dengan sindiran kata
tapi jelas dalam satu makna
cinta yang tidak buta
cinta yang menggelora

kau tuntut aku
yang tak bisa kulaku
kau protes aku
dengan caramu

entahlah aku harus berbuat apalagi
jika memang kita satu hati
Tuhan 'kan biarkan kita memahat janji
jika tidak biarlah aku memilih jalanku sendiri

*******

Sepi kembali. Malam memang sudah larut. 23:00wib. Sambil menanti kamu baca puisi itu, kuberbalas komentar di efbeku dengan teman mayaku yang lain: Ar Ke dan Gunawan Kompasioner. Jujur, aku galau. Sudahlah.

Sesaat alarm efbe bunyi. Ada pesan masuk.

"Aku sedih banget baca puisimu," katamu singkat. "Habis endingnya tragis banget gitu."

"Begitu ya? Ubah saja kalau kamu mau," kataku seenaknya. Tiba-tiba sedih menyelinap dalam hatiku. Memang nekat aku membuat puisi itu. Puisi yang mengajak bubar, sebenarnya. Ya, bubar saja lah. Aku tak mau pusing. Seperti halnya kamu juga tak mau pusing dengan sikapku yang kamu anggap aku tak punya perasaan pada wanita....dan ababil penakut.

"Sebentar Mas," kabarmu singkat. Nada datar tanpa emoticon senyum yang biasanya menyertai tiap pesanmu. Aku tahu maknanya. Aku siap. Whatever.

Sepi kembali. Aku menarik nafas panjang. Untung Ibu membuat kopi untukku sore tadi. Jadi mataku masih melotot.

*******

Alarm efbeku berbunyi kembali. Itu pasti pesanmu. Betul memang. Aku membacanya.

"Entahlah aku harus berbuat apalagi
jika memang kita satu hati
Tuhan 'kan biarkan kita memahat janji
Jika tidak, coba minta Tuhan cek lagi"

"Tuch perbaikannya. Di bagian akhir saja. Aku tidak suka kata TIDAK. Dah, aku mau tidur." Itu akhir kalimat pesanmu. Datar saja.

Aku tertegun, membaca puisiku yang kamu perbaiki. Tak percaya. Aku baca berkali-kali bait akhir puisiku yang kamu perbaiki. Berkali-kali.

Tak lama. Kembali alarm efbeku berbunyi.

"Aku sayang kamu"

Kalimat singkat yang diinginkan siapa pun di dunia, dari orang yang dicintanya terbaca jelas. Maknanya pun jelas. Tak ada ambigu.

Batinku, akhirnya ada gadis yang berani nekat mengatakan kalimat itu pertama kali dalam hidupku, si lelaki Jawa ababil yang penakut yang tak punya perasaan pada wanita.

Akupun tidak merasa sepi lagi setelah membaca pesanmu.

Jokowi pun kalah. Aku sudah menemukan cawapres yang bukan untuk lima tahun, tapi untuk selamanya di Jumat suci, Jokowi bahkan menunda pengumuman cawapresnya.

Tak sadar aku tertawa sendiri di kamarku di malam dini hari yang sepi. Aku bahagia.

-------mw------

*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun