lalu aku harus bagaimana?
haruskah aku teriakkan kepada dunia
betapa besar cinta ruang hati dalam dada?
bukankah kau tahu aku ini lelaki asli Jawa?
yang cukup dengan sindiran kata
tapi jelas dalam satu makna
cinta yang tidak buta
cinta yang menggelora
kau tuntut aku
yang tak bisa kulaku
kau protes aku
dengan caramu
entahlah aku harus berbuat apalagi
jika memang kita satu hati
Tuhan 'kan biarkan kita memahat janji
jika tidak biarlah aku memilih jalanku sendiri
*******
Sepi kembali. Malam memang sudah larut. 23:00wib. Sambil menanti kamu baca puisi itu, kuberbalas komentar di efbeku dengan teman mayaku yang lain: Ar Ke dan Gunawan Kompasioner. Jujur, aku galau. Sudahlah.
Sesaat alarm efbe bunyi. Ada pesan masuk.
"Aku sedih banget baca puisimu," katamu singkat. "Habis endingnya tragis banget gitu."
"Begitu ya? Ubah saja kalau kamu mau," kataku seenaknya. Tiba-tiba sedih menyelinap dalam hatiku. Memang nekat aku membuat puisi itu. Puisi yang mengajak bubar, sebenarnya. Ya, bubar saja lah. Aku tak mau pusing. Seperti halnya kamu juga tak mau pusing dengan sikapku yang kamu anggap aku tak punya perasaan pada wanita....dan ababil penakut.
"Sebentar Mas," kabarmu singkat. Nada datar tanpa emoticon senyum yang biasanya menyertai tiap pesanmu. Aku tahu maknanya. Aku siap. Whatever.
Sepi kembali. Aku menarik nafas panjang. Untung Ibu membuat kopi untukku sore tadi. Jadi mataku masih melotot.