Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Penunggu Pondok Bambu

13 November 2018   00:13 Diperbarui: 13 November 2018   00:16 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore jelang malam itu, seorang lelaki yang sedang  laku  hidup, menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki yang dikenalnya cukup lama. Si lelaki yang datang dari jauh hanya membawa satu pesan dari seorang teman.

"Kakak, temanmu sudah bebas," katanya. Tak ada penjelasan lanjutan.

Hujan deras di luar pondok membuat suasana menjadi lebih mencekam. Petir sahut menyahut. Pondok yang didirikan oleh lelaki yang menjauh dari dunia ini berada di pinggir jurang. Di beberapa tempat yang dalam perhitungan rawan longsor sudah ditanami rumpun bambu.

Gerojokan, sungai di bawah jelas terdengar sangat keras. Suaranya tak lagi sahdu tetapi sudah seakan-akan ingin mengoyak dan menghancurkan apapun yang menghalanginya. Sapuannya jelas tak ada yang bisa melawannya.

Lampu sentir yang menerangi pondok bambu itu membuat suasana pun menjadi lebih mistis. Si lelaki yang datang dari jauh terlihat cemas walau begitu terlihat berusaha untuk menguasai dirinya.

Hawa dingin menyergap. Menerobos gedek. Tiga jendela lebar juga dari gedek di tiga sisi pun ditutup. Hanya kisi-kisi bambu di atas dinding menjadi penyuplai oksigen pada penghuni di dalamnya.

Dua gelas kopi kental yang tadinya beruap langsung dingin tersapu hawa dingin yang merangsek. Si lelaki pendatang menyeruput kopi tanpa gula itu.

Si lelaki penunggu pondok begitu menikmati hujan. Menikmati gemuruh air sungai di bawah jurang. Menikmati petir. Menikmati hawa dingin yang menyerang.

Melihat si lelaki penunggu pondok begitu tenang dengan kondisi sekitar membuat si lelaki pendatang juga ikut tenang. Efek psikologi pandangan mata.

Si lelaki penunggu pondok tak butuh penjelasan apapun dari si lelaki pendatang. Baginya kalimat pembuka itu sudah jelas. Terang benderang. Kedatangan si lelaki pendatang juga menunjukkan betapa pentingnya kabar kebebasan orang yang menjadi subjek pembicaraan.

***

Belasan tahun lalu. Kenangan itu membuncah. Menerjang batin ketenangan si lelaki penunggu pondok.

Siapa yang tak mengenal subjek pembicaraan. Seorang perempuan mandiri. Seorang perempuan yang menduduki area kekuasaan. Bertubuh tinggi semampai. Cantik. Apa yang tidak ada padanya.

Siapa sangka pada satu acara si perempuan berkata, "I am lonely in the crowd".

Sebuah pernyataan yang sangat membingungkan. Si perempuan adalah perempuan sempurna. Memiliki kekuasaan dan jabatan tinggi meninggalkan teman-teman seangkatannya. Memiliki tiga anak ganteng. Memiliki suami ganteng dan berjabatan.

Di meja makan si perempuan melayani si lelaki. Makanan pembuka diambilkan. Makanan utama pun diambilkan. Demikian pula dengan minuman dan makanan penutup.

Aksi perempuan ini sungguh menjadi tatapan belasan lelaki yang dulu pernah menggodanya sejak mulai kuliah hingga ketika si perempuan duduk dalam jabatan kekuasaan tertinggi. Godaan itu diketahui oleh si lelaki karena setiap sore menjelang pulang si perempuan walau hanya sekitar 15 menit selalu berkeluh kesah mengenai godaan-godaan tersebut.

Si lelaki cuma mendengarkan tanpa pernah memberikan nasehat ataupun memberikan saran. Biasanya juga si lelaki cuma tertawa ngakak dan meminta si perempuan untuk pulang ke rumah mengurusi anak-anaknya.

Terpaan gosip menghujam si perempuan. Terpaan itu datang dari lelaki penggoda yang bertepuk sebelah tangan.

Bisa jadi terpaan itu membuat suami si perempuan emosi. Bila emosi sudah muncul maka kehancuran siap menerkam.

Emosi cemburu membuta itu menutup logika. Walau begitu nasehat hakiki paling mendasar adalah kenapa dulu menjadi petarung memburu sang perempuan cantik. Sudah tahu resiko kecantikan dipastikan akan tetap diburu oleh lelaki nyalang yang memang lapar bak serigala.

Si lelaki yang dicurhati pun melarikan diri. Tak kuasa beban. Tak kuasa melihat kehancuran.

Doa-doa dipanjatkan agar si perempuan bertahan, agar si sang suami tak buta mata dan berprangsangka. Keduanya harus terbuka. Telanjang. Mengingat masa siapa yang diburu dan memburu dan kemudian sebaliknya.

***

Kini kabar itu muncul. Tepat di musim penghujan. Tepat ketika si lelaki dalam pondok sudah menemukan jalan bahagia, sunyi hidupnya.

Si lelaki penghuni pondok bergeming. Mengapa perempuan itu kembali memberikan kabar padanya. Melalui seorang bawahannya yang dipercaya untuk mencari dirinya yang menjalankan laku hidup sederhana dan sunyi.

***

Kembali kenangan tugas meloncat di depan mata. Tak ada janji. Tak ada komunikasi.

Si lelaki dan si perempuan bertemu dalam sebuah giat dinas. Kebetulan semua hotel penuh. Termasuk di hotel tempat kegiatan acara.

Keduanya dalam satu kamar. Keduanya bicara. Keduanya terhalang selaput bawang. Terlihat tapi tak ada yang berani memulai.

Si perempuan telanjang. Tanda khas si perempuan terlihat.

Serigala mana yang tak mau daging segar. Kucing mana yang tak memakan ikan asin. Tak ada kata. Justru si lelaki menjaga si perempuan.

Ketika sarapan pagi. Si perempuan seperti galibnya perempuan, melayani si lelaki.

Pesawat keduanya ternyata beda. Si perempuan mencium tangan si lelaki sebagai tanda terima kasih. Ada amplop coklat di tempat tidur.

"Manfaatkanlah uang itu. Berpikirlah. Olahlah dirimu dalam jiwa yang kudus. Aku mencintaimu".

"Seperti katamu. Cinta tidak memandang suku, agama, ras, jenis kelamin. Jadikan aku perempuan. Entah kau sebut aku pelacur, ibu ataupun perempuan kotor lainnya. Antarkan aku sampai teras hotel. Bukakan pintu mobil dan tutupkan untukku!" katanya dengan lembut.

***

Hujan reda. Kokok ayam kampung yang dipelihara di belakang rumah menggema. Subuh. Pagi. Si lelaki pendatang terlihat tertidur sambil duduk.

Si lelaki penunggu pondok tidak tidur.

Jelang siang si lelaki penunggu pondok mengantarkan si lelaki pendatang ke pinggir Jalan Lintas Sumatra. Mencari Bus Antar Lintas Sumatra. Tidak banyak yang dibicarakan. Semua bergerak dalam diam.

Ketika si lelaki pendatang akan naik bus, si lelaki penunggu pondok berkata, "sampaikan! jemputlah aku di Tanjung pada libur Natal!".

kompal-5be9b553c112fe53435561f5.jpg
kompal-5be9b553c112fe53435561f5.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun