Sore jelang malam itu, seorang lelaki yang sedang  laku hidup, menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki yang dikenalnya cukup lama. Si lelaki yang datang dari jauh hanya membawa satu pesan dari seorang teman.
"Kakak, temanmu sudah bebas," katanya. Tak ada penjelasan lanjutan.
Hujan deras di luar pondok membuat suasana menjadi lebih mencekam. Petir sahut menyahut. Pondok yang didirikan oleh lelaki yang menjauh dari dunia ini berada di pinggir jurang. Di beberapa tempat yang dalam perhitungan rawan longsor sudah ditanami rumpun bambu.
Gerojokan, sungai di bawah jelas terdengar sangat keras. Suaranya tak lagi sahdu tetapi sudah seakan-akan ingin mengoyak dan menghancurkan apapun yang menghalanginya. Sapuannya jelas tak ada yang bisa melawannya.
Lampu sentir yang menerangi pondok bambu itu membuat suasana pun menjadi lebih mistis. Si lelaki yang datang dari jauh terlihat cemas walau begitu terlihat berusaha untuk menguasai dirinya.
Hawa dingin menyergap. Menerobos gedek. Tiga jendela lebar juga dari gedek di tiga sisi pun ditutup. Hanya kisi-kisi bambu di atas dinding menjadi penyuplai oksigen pada penghuni di dalamnya.
Dua gelas kopi kental yang tadinya beruap langsung dingin tersapu hawa dingin yang merangsek. Si lelaki pendatang menyeruput kopi tanpa gula itu.
Si lelaki penunggu pondok begitu menikmati hujan. Menikmati gemuruh air sungai di bawah jurang. Menikmati petir. Menikmati hawa dingin yang menyerang.
Melihat si lelaki penunggu pondok begitu tenang dengan kondisi sekitar membuat si lelaki pendatang juga ikut tenang. Efek psikologi pandangan mata.
Si lelaki penunggu pondok tak butuh penjelasan apapun dari si lelaki pendatang. Baginya kalimat pembuka itu sudah jelas. Terang benderang. Kedatangan si lelaki pendatang juga menunjukkan betapa pentingnya kabar kebebasan orang yang menjadi subjek pembicaraan.
***