"Kamu di mana?"
"Masih di Bus Sampagul?"
"Jam berapa sampai simpang?"
"Belum tahu?"
"Aku jemput pakai ambulans ya"
Demikianlah seingatku dulu ketika aku dan Prameshwari saling berkirim SMS melalui HP flip Ericsson T28.
Tubuhku demam tinggi selama beberapa hari. Diduga kuat terkena malaria.
Aku bertahan selama 6 jam di bus, melintasi Jalan Lintas Timur Sumatra untuk sampai ke simpang di mana Prameshwari menunggu. Sebuah perjalanan yang mendebarkan dan menyakitkan. Mendebarkan karena aku akan bertemu dengan sang kekasih yang sudah 6 bulan tak jumpa. Menyakitkan karena seluruh persendianku kalau digerakkan terasa sakit.
Belum lagi Jalan Lintas Sumatra masih belum  hotmix ataupun cor beton dan berlobang di sana-sini.
Kebetulan hari itu, Prameshwari ke ibukota kabupaten mengambil jatah obat-obatan untuk Puskesmas. Kebetulan pula aku memutuskan untuk pulang setelah demamku tak kunjung reda dan malah semakin parah. Kalau Pramesh berada di desa maka dia tak akan cepat menerima SMS dariku.
Semua menjadi serba kebetulan.
Turun di Simpang, jalanku sudah terhuyung-huyung. Pramesh ternyata sudah menunggu bersama stafnya dan Pak Camat. Â Pramesh segera menyongsong dan memapahku masuk ke ambulans. Obat-obatan ternyata sudah dipindahkan ke mobil camat sedangkan mobil ambulans untuk mengangkutku.
Samar terdengar, perdebatan setelah aku masuk ke mobil ambulans.
"Bawa ke rumah sakit kabupaten bae! Kasihan pacarmu," kata Pak Camat.
"Ndak bisa Pak! Dua hari lagi kita sudah akan sunatan massal dan pelayanan kesehatan gratis. Ini pertama kali wilayah kita mengadakan hajatan besar untuk kesehatan." kata Prameshwari.
"Ini juga kali pertama Pak Bupati akan datang  ke SP*) kita. Ini kesempatan baik agar Pak Bupati tahu kondisi sulit kita di sini, Pak Camat." lanjut Pramesh.
"Kalau dibawa ke kabupaten, ndak mungkin aku tinggalkan dia sendirian di rumah sakit. Aku juga nggak bisa kerja tanpa tahu kondisinya. Aku percaya pada kemampuanku".
Pak Camat pun tak bisa apa-apa. Demikian pula dengan staf Pramesh yang juga menyarankan agar diriku dibawa ke rumah sakit kabupaten.
Setelah diinfus dan diberi obat oral, terdengar sayup bisiknya di kupingku, "Kau harus kuat, Sayang. Â Ada aku disini."
Dan aku pun kemudian setengah sadar menikmati perjalanan goyang ke kiri dan ke kanan dari dalam ambulans. Â Aku berkeyakinan Pramesh yang menyetir mobil ini.
Dari simpang Jalan Lintas Sumatra, kami harus masuk lagi ke desa terdekat sejauh 60 km melalui jalan rusak. Â Setelah itu masih harus ke tengah SP lagi sekitar 10 km melalui jalan tanah merah yang berdebu di musim kemarau dan lengket berlumpur di musim hujan, ke Puskesmas tempat Prameshwari berdinas.
***
Antara sadar dan tidak. Aku kemudian mengingat, peristiwa indah di tepian Sungai Sembilang waktu itu.
"Apa yang membuatmu senang di daerah perairan dan berawa, Â banyak buaya muara pula," kataku sambil memandangi ombak Selat Sumatra.
"Aku suka di sini. Aku ingin mengabdikan diriku di daerah terpencil. Aku kuliah di universitas negeri. Kuliahku disubsidi oleh pemerintah. Aku sadar aku harus bayar hutang pada Negara. Kalaupun itu salah, aku masih punya cerita untuk anak-anakku. Kalau emaknya pernah tinggal dan mengabdi di pesisir Timur Sumatra," kata Prameshwari.
Di Pesisir Timur Sumatra, Sumatra Selatan, tidak ada pantai, yang ada adalah lumpur kalau surut dan buaya muara kalau pasang. Kalau mau bermain di lumpur juga harus hati-hati. Bisa-bisa kita dikejar anak buaya muara yang sedang bermain di lumpur atau tersedot masuk di tanah labil atau dalam bahasa setempat di sebut tanah goyang.
Pramesh termasuk dokter perempuan yang nekad. Pernah dirinya dan perawatnya harus berjibaku membawa seorang pasien ke Rumah Sakit Umum di Palembang (RSUP) gara-gara terkena sutil**) Â masak yang menancap di pipi bagian atas, persis di bawah mata.
"Waduh... jadi obat apa dirimu berikan sebagai pertolongan pertama?" tanyaku
"Obat pertama yang aku berikan pada pasien bukan amoksicilin tapi doa-cilin," sahutnya sambil  nyengir.
Jalanan desa yang berlumpur waktu itu dan juga Jalan Lintas Sumatra yang berlobang dilalui dengan sabar dan doa. Ambulan sampai ke UGD RSUP. Mobil dimatikan dan bergegas mengantar pasien, sementara perawat bertugas untuk memindahkan ambulans agar tidak mengganggu mobil yang akan ke UGD.
Pasien berhasil ditangani dengan baik dan ketika keluar UGD ternyata ambulans masih nangkring tepat di depan UGD.
"Kok ambulans belum dipindahkan ke parkiran?"
"Akinya soak. Distarter  idak mau  idup,  Dokter...," kata perawat.
Akhirnya ambulan pun terpaksa didorong. Pramesh, tukang parkir dan perawat di UGD pun membantu mendorong ambulans  sampai ke tempat parkir.
"Aneh kok bisa tertancap sutil ?"
"Jangan pernah berpikir yang tak masuk akal. Semua bisa terjadi di desa. Si ibu ini tersandung ketika akan masak dan jatuhnya ke gedek yang kebetulan sering digantungi alat masak. Nah itu," kata Pramesh.
 "Pernah kan aku cerita kalau di dapur Puskesmas, ada ular melingkar di sisa abu tempat masak".
Akupun ngakak.
Mesh pagi-pagi turun ke dapur dan ingin menjerang air. Dirinya sudah diberi peringatan oleh warga sekitar kalau pagi hari ke dapur harus hati-hati dan selalu membawa bambu panjang untuk mengusir ular. Dirinya terhenyak ketika di tungku masak, melingkar ular hitam kuning. Ular itu mencari tempat hangat dan abu bekas masak merupakan salah satu tempat hangat bagi ular.
Berusaha untuk tenang, ular itupun di usir ke luar dapur dengan bambu. Dapur di bawah Puskesmas pun lalu ditutupi dengan papan.
Pinggiran Sungai Sembilang memang eksostis. Terkadang kalau malam diantara terpaan cahaya ada dua bola pingpong warna jingga kemerahan mendekat. Itu mata buaya muara. Jangan sekali-kali mengganggunya karena buaya muara sangat ganas dan bertubuh besar.
Pramesh sendiri pernah mengobati luka warga yang betisnya digigit buaya muara. Belum lagi sabetan ekornya yang bakal menjatuhkan mangsanya. Dan kalau sudah terjatuh... nggak usah dilanjutkan.
"Lalu bagaimana keadaan ibu itu ?"
"Sehat seperti semula, tanpa ada kerusakan penglihatan sedikitpun. Â Di sinilah justru imanku bertumbuh. Aku jadi sungguh percaya kebesaran Tuhan. Kalau belum sampai waktunya menurut Tuhan pasti tidak akan terjadi, tentunya semua usaha medis, pertolongan sudah secara maksimal dilakukan. Akhirnya keputusan ada di tangan Tuhan".
***
Mobil ambulans pun berhenti. Aku berusaha bangun tetapi Pramesh memaksa agar aku tetap di brankar. Brankar lalu dibawa masuk ke ruang pemeriksaan. Akupun dipindahkan ke tempat tidur.
Walau sudah agak sadar tetapi aku masih belum sadar sepenuhnya. Botol infus lalu digantungkan di tiang infus. Lamat-lamat aku mengigau memanggil Pramesh. Dan perawat pun berteriak, "Dokter!!!".
Suara halus itupun kembali terdengar. Tangan lembut terasa menggenggam tanganku yang basah berkeringat. "Tenanglah. Aku di sini."
Pramesh pun melakukan pemeriksaan preparat malaria. Ujung jariku dicoblos. Darahku pun diambil dan kemudian dibuat preparat.
Sebelumnya perempuan ini masih mengatur pembagian tugas tenaga kesehatan dari desa-desa lain yang akan melayani pengobatan dan sunatan massal. Â Obat-obatan dan alur pendaftaran dibuat selancar mungkin demikian pula dengan pemeriksaan dan pengambilan obat.
Pramesh meminta guru-guru membantu mengatur dan membersihkan ruangan kelas dan mengatur meja untuk tempat tidur anak lelaki yang akan disunat. Kepada ibu-ibu PKK dan anak-anak sekolah yang ikut senam poco-poco massal, Pramesh memohon agar supaya tetap latihan di kantor camat.
Ibu-ibu Kader Kesehatan yang akan ikut lomba cepat tepat antar Posyandu diberi pengarah mengenai aturan lomba. Â Dokter-dokter kecil dari berbagai SD juga dikumpulkan mendapat pengarahan lomba praktek P3K. Â Karang taruna juga dikerahkan untuk mengangkut kursi meja dan membantu membuat hiasan janur, serta menyiapkan bahan untuk lomba masak makanan sehat yang akan diikuti bapak-bapak perangkat desa. Warga satu kecamatan ikut sibuk semua tapi terpancar gairah dan kegembiraan di wajah serta suara mereka.
Walau terlihat tegar pada semua orang. Akhirnya aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca ketika memandangi tubuhku yang terserang malaria.
"Aku akan mengurusmu dengan baik. Maafkanlah aku. Aku harus mengurus pengobatan dan sunatan massal. Ini hajat besar aku, kamu dan warga. Apalagi bupati, melalui camat sudah menyatakan kesediaannya untuk hadir. Sehatlah lusa, agar kau bisa memainkan kameramu," katanya lembut sambil menggenggam tanganku.
Suaranya yang halus dan lembut itu membuatku menjadi semakin tenang. Dan tubuhkupun setiap jam terus membaik. Suara halus itu memotivasi seluruh organ tubuhku untuk memperbaiki diri.
Pramesh di malam pertama aku menginap, menungguiku di ruang praktek. Satu hal yang membuatku luruh adalah ketika tangan halusnya menyuapiku. Awalnya aku menolak.
"Tidak mau makan disuapi oleh tanganku? Apakah malu sama aku ?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan
"Oh... Mungkin maunya  disuapi oleh suster yang cantik ya.  Aku carikan ya...!".
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat tanda protes, eh... aku malah tambah jadi semakin pusing.
Akhirnya aku cuma bisa membuka mulut. Di malam kedua, tubuhku semakin baik. Pramesh pun tersenyum.
"Aku tahu kau akan berjuang bersamaku. Aku tahu kau akan sembuh. Kalau kau di rumah sakit kabupaten, aku pasti tak akan tenang bekerja di sini".
Malam itu diantara suara jangkrik dan binatang malam, aku mendengar doa-doa lirih dilantunkannya di pinggir tempat tidurku. Kepala yang berambut ikal itu diletakkan di atas bantal samping tempat tidurku.
Subuh, aku berusaha bangun. Dan menggerakkan tubuhku. Pramesh pun kubangunkan.
"Pagi cinta".
"Mandilah".
"Aku masakkan air dulu ya agar kau bisa membasuh tubuhmu," katanya.
Sungguh suara dan kalimat itu, membangkitkanku untuk sehat. Pagi ini, tubuhku sudah mulai lebih sehat.
"Kau harus bersiap untuk menyambut teman-temanmu yang akan membantu sunatan massal dan juga bupati," kataku.
"Iya... semua sudah diatur. Mau kah kau fotokan aku dengan bupati dan juga kegiatan ini," tanyanya manja.
"Siap, Bu Dokter. Eh keluar dulu. Aku mau ganti baju".
***
Pelayanan pengobatan dan  sunatan massal, serta semua lomba sekecamatan pun berjalan sukses. Bupati datang dan antusias meminta agar kegiatan semacam ini dapat dilanjutkan di tahun mendatang.  Beliau menanyakan apa permintaan warga.  Warga diwakili Pak Camat meminta jalan diperkeras dengan batu dan diaspal. Pramesh minta mobil Puskesmas yang lebih baik lagi agar dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
Sret sret sret. Ketika film ditarik untuk menangkap momen yang kuabadikan melalui kameraku.
Dan kameraku paling menyukai menangkap siluet perempuan putih tinggi berbahu tegap, berambut ikal, Â dalam balutan jas putih dokter yang tersenyum bahagia di antara warga desanya.
Dalam hatiku berkata, "Perempuan ini pantas untuk kuperjuangkan menjadi istri".
***
Base on true event.
*) SP = Satuan Pemukiman daerah transmigrasi
**) sutil = alat masak untuk membalik makanan yang digoreng
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H