Turun di Simpang, jalanku sudah terhuyung-huyung. Pramesh ternyata sudah menunggu bersama stafnya dan Pak Camat. Â Pramesh segera menyongsong dan memapahku masuk ke ambulans. Obat-obatan ternyata sudah dipindahkan ke mobil camat sedangkan mobil ambulans untuk mengangkutku.
Samar terdengar, perdebatan setelah aku masuk ke mobil ambulans.
"Bawa ke rumah sakit kabupaten bae! Kasihan pacarmu," kata Pak Camat.
"Ndak bisa Pak! Dua hari lagi kita sudah akan sunatan massal dan pelayanan kesehatan gratis. Ini pertama kali wilayah kita mengadakan hajatan besar untuk kesehatan." kata Prameshwari.
"Ini juga kali pertama Pak Bupati akan datang  ke SP*) kita. Ini kesempatan baik agar Pak Bupati tahu kondisi sulit kita di sini, Pak Camat." lanjut Pramesh.
"Kalau dibawa ke kabupaten, ndak mungkin aku tinggalkan dia sendirian di rumah sakit. Aku juga nggak bisa kerja tanpa tahu kondisinya. Aku percaya pada kemampuanku".
Pak Camat pun tak bisa apa-apa. Demikian pula dengan staf Pramesh yang juga menyarankan agar diriku dibawa ke rumah sakit kabupaten.
Setelah diinfus dan diberi obat oral, terdengar sayup bisiknya di kupingku, "Kau harus kuat, Sayang. Â Ada aku disini."
Dan aku pun kemudian setengah sadar menikmati perjalanan goyang ke kiri dan ke kanan dari dalam ambulans. Â Aku berkeyakinan Pramesh yang menyetir mobil ini.
Dari simpang Jalan Lintas Sumatra, kami harus masuk lagi ke desa terdekat sejauh 60 km melalui jalan rusak. Â Setelah itu masih harus ke tengah SP lagi sekitar 10 km melalui jalan tanah merah yang berdebu di musim kemarau dan lengket berlumpur di musim hujan, ke Puskesmas tempat Prameshwari berdinas.
***