"Kita menunggu residen*) penyakit dalam dulu sebelum mulai pengobatan. Kita masih belum bisa mengobati tanpa pengawasan."
Sang residen datang dengan didampingi oleh si pembawa berita. Jas putih lengan panjangnya ternyata menjadi penanda sedangkan dokter muda seperti Prameshwari memakai jas putih lengan pendek.
Suasana pun semakin ramai. Para Lansia, balita, anak-anak yang akan sunat, orang dewasa, tumpah ruah di halaman rumah Pak Carik. Walaupun demikian, terlihat dengan jelas alur pengobatan ini.
Foto penuhnya lokasi kerumunan warga yang antri, pendaftaran, pemeriksaan oleh koass. Foto anak kecil yang lari kencang dikejar ayahnya dan koas lelaki karena takut disunat. Â Masing-masing 2 petik. Aku melihat film yang masih tersisa. Aku berharap ada bonus film, khusus untuk menangkap gerakan sang penari alias Prameshwari
Tiga jam lebih pelayanan pengobatan gratis ini hampir selesai.  Seorang lelaki mendekatiku. "Pak.  Ade  warga kami di pinggir dusun yang dek  bise kemari. Die tinggal same Nek Ine **). Ape bise dilihat oleh dokternye?  Kesian".
Reflek aku menjawab, "Nanti akan dilihat oleh dokternya. Rumahnya dimana?".
"Ujung dusun. Sekitar 300 meter dari situ ade  rumah kayu  tue."
Tanganku langsung menyambar satu bungkus nasi dari meja panitia dan kumasukkan ke dalam tas. Aku mendekati Prameshwari yang sedang mengobrol dengan warga. Tangannya langsung kupegang
"Ikut aku. Bawalah ransel, isi dengan obat. Ada anak sakit dipinggir dusun yang tak bisa datang."
Seperti tersihir, Prameswari mengikuti bisikanku. Tas ranselnya langsung diisi dengan obat-obatan.
Kami berjalan kaki, tak bisa naik motor karena motorku terkurung oleh sepeda warga yang masih menunggu pengobatan. Ada perasaan aneh. Perempuan yang berjalan disampingku ini begitu percaya dan patuh padaku. Rambutnya yang tergerai sebatas bahu menutupi bagian atas ransel.