Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

KBG adalah Basis Kerasulan Menurut John Mansford Prior

23 Mei 2022   11:16 Diperbarui: 23 Mei 2022   11:20 8433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adalah Basis Kerasulan Menurut John Mansford Prior

Oleh: Ostianus Ola Lamanepa, Mahasiswa Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Abstrak

Komunitas Basis Gerejawi (KBG) adalah suatu komunitas yang terdiri dari kelompok kecil, umumnya terkelompok dalam jumlah limabelas sampai dua puluh kepala keluarga, di suatu wilayah, biasanya di satu paroki. Kelompok kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup bergereja yang berbeda pula, entah kelompok evangelisasi, kajian Kitab Suci, doa, dan renungan. Mansford Prior memberi gagasan dan pengertian baru tentang KBG. Gagasannya tentang KBG sebagai basis kerasulan tampaknya mempunyai dampaknya yang besar untuk Gereja saat ini. Menurutnya, Komunitas Basis Gerejani adalah merupakan Komunitas yang berakar dari Yesus sendiri dan dari terang Injil. Komunitas ini hadir di tengah masyarakat sebagai Gereja yang hidup, bergerak dan dinamis dalam pergumulan iman kristiani dalam terang lnjil. Ia menghadirkan wajah baru Gereja sebagai kesatuan umat Allah yang terbuka, solider dan berbela rasa dengan masyarakat lokal terutama dengan mereka yang miskin dan tertindas seperti halnya dilakukan oleh Yesus sendiri. Komunitas Basis Gerejani berorientasi dan berakar dalam diri Yesus Kristus dan Injil. Tujuan artikel ini adalah melihat sejauh mana umat katolik dalam KBG sebagai basis kerasulan menghayati imannya untuk bertumbuh dalam kekudusan atau kesucian hidup. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif, interpretasi, analitis kritis, serta studi kepustakaan.

Kata-Kata Kunci: KBG, Mansford Prior, Basis Kerasulan, Yesus, Evangelisasi

I. Pengantar

KBG merupakan Komunitas Basis Gerejani yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi pertumbuhan dan perkembangan iman umat.  Pater John Mansfort Prior, SVD merupakan salah seorang yang memiliki perhatian terhadap cara menggereja di Indonesia khususnya di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu usaha yang dikembangkan beliau ialah Kelompok Basis Gereja (KBG). Cara menggereja dalam bentuk KBG ini bukanlah merupakan cara baru dalam gereja Katolik. Gagasan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari seruan Konsili Vatikan II yang menandaskan Gereja sebagai umat Allah. Tulisan ini akan membahas tentang KBG merupakan Basis Kerasulan dalam pandangan John Mansfort Prior, SVD. Apa pandangannya tentang KBG? Bagaimana KBG itu berperan berperan sebagai Basis Kerasulan? Tulisan ini akan dibagi ke dalam beberapa bagian, pertama, sekilas tentang John Mansfort Prior dan karyanya. Kedua, Sejarah KBG, pengertian KBG dan Ketiga KBG adalah Basis Kerasulan, KBG sebagai evangelisasi Injil yang integral, Kasih sebagai basis kerasulan, KBG sebagai jemaat yang komunikatif, KBG sebagai jemaat yang kudus, dan relevansi KBG sebagai Basis Kerasulan untuk umat Katolik serta kesimpulan.

II. Riset terdahulu tentang Tema

Ada dua (2) Penelitian/ Riset terdahulu tentang tema yakni tulisan artikel dari Ola Rongan Wilhelmus tentang Hakekat Komunitas Basis Gerejani (Artikel ini dipublikasikan di JPAK Jurnal Pendidikan Agama Katolik Vol. 9, No Seri Tahun ke-5, Apri1 2013)[1] dan sebuah artikel di Acamedia yang ditulis oleh Allesandro Pinangkaan tentang Kekhasan Partikularitas Gereja dalam Komunitas Basis Gerejawi[2]. Disini penulis menemukan bahwa penelitian/riset terdahulu tentang tema ini masih relevan khususnya kebutuhan akan gerakan Komunitas Basis Gerejani, pemahaman dasar tentang Komunitas Basis Gerejani, ciri khas Komunitas Basis Gerejani serta tujuan dan peranan Komunitas Basis Gerejani dalam kehidupan umat beriman Kristiani dan Gereja yang Partikular dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG).

 

III. Pemaparan hasil Riset

 

Dua riset sebelumnya hanya memaparkan KBG ditinjau dari sudut hakekat, ciri-ciri, tujuan, peranan serta KBG yang partikular. Adapun kebaruan yang penulis tawarkan dalam tulisan ini yakni penulis menawarkan suatu pemaknaan baru tentang KBG sebagai Basis Kerasulan menurut gagasan Mansford Prior. Penulis melihat bahwa pemikiran dari Mansford Prior tentang KBG sebagai basis kerasulan ini sangat baik untuk diterapkan pada saat ini mengingat peranan basis kerasulan dalam hal ini evangelisasi di KBG akhir-akhir ini kurang tampak dalam kehidupan menggereja. KBG semestinya menjadi Basis Kerasulan yang membawa umat pada pembaharuan iman dan cara hidup yang baik dalam KBG serta menanamkan semangat evangelisasi agar umat dipanggil untuk menjadi pewarta-pewarta Kristus dalam lingkup KBG maupun di luar lingkup KBG. Mengenai KBG sebagai basis kerasulan ini untuk lebih jelasnya penulis akan membahasnya lebih detail dan rinci pada bagian pembahasan dibawah ini.

 

IV. Pembahasan

 

4.1 John Mansford Prior

 

John Mansford Prior lahir di Ipswich, Inggris 1946. Pada tahun 1987 meraih Ph.D, teologi interkultural di universitas Birmingham, UK.  1973 Sarjana (S1) Cambridge University Teologi Biblis, 1972 Sarjana (S1) Lembaga Misioner London Theologi dan Antropologi Sosial, 1968 Sarjana (S1) Danamon Castle Filosofie dan Sosiologi. Kini menjadi Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere, Flores NTT. kerap menjadi narasumber dalam pertemuan ilmiah baik ditingkat nasional maupan internasional di berbagai negara. Dan menulis banyak artikel ilmiah dalam bidang filsafat dan teologi.

 

4.1.1 Sejarah KBG dan Pengertian KBG menurut Mansford Prior

 

KBG pertama-tama dimulai dari Brasil yang dikenal dengan istilah communidades Eclesiales de Base (CEB).  Dari Brasil Berkembang ke seluruh negara seperti, di Afrika dan Asia-terutama di Filipina. Menurut Pastor John Prior, SVD pendiri pertama KBG ialah Yesus Kristus sendiri ketika ia menunjukan 12 Rasul, memanggil 70 murid, dan satu kelompok perempuan. Kemudian Roh Kristus membangkitkan kembali komunitas-komunitas kecil yang senantiasa mendapat terang injil. Gereja yang demikian berkembang di Amerika Latin seperti, Brasil, Cile, Honduras, dan panama, terutama sejak tahun 1950-an. KBG. Kelompok Basis di tingkat ASIA lahir dalam pertemuan FABC di Bandung pada tahun 1990an dengan istilah communion of communities. FABC membentuk suatu desk untuk mengembangkan kelompok basis. Desk ini dinamakan AsIPA (: Asian Integral Pastoral Approach). Karena di tingkat ASIA saja ada koordinasi, maka di tingkat nasional pun kita perlu membentuk semacam 'kepengurusan' yang mengelola dan mengembangkan gerak KBG.[3] John Prior mengambil contoh perkembangan KBG di Flores. Bermula dari kelompok doa rosario yang dikembangkan oleh para misionaris awal. Lalu, menjadi kelompok doa yang berkembang pada awal tahun lima puluhan dan enam puluhan. Dalam perkembangan selanjutnya pasca konsili Vatikan II kelompok tadi dikembangkan menjadi "kelompok basis". Perkembangan KBG didasarkan pada kenyataan bahwa gereja dibangun di atas persekutuan yang berciri partisipatif-kolegial. Bentuk partisipatif-kolegial ini tidak hanya dimonopoli oleh imam, biarawan-biarawati dan di kalangan tenaga inti pastoral. Pola ini mesti diterapkan pada seluruh kehidupan jemaat. Berangkat dari kenyataan ini, John Prior mengamati bahwa persoalan di atas bisa diatasi apabila kita berani menggantikan wadah paroki lama dengan wadah paroki baru. Wadah paroki lama (pra-Konsili) terdiri dari suatu pusat (pastoral, gereja induk, sekolah, klinik dan gedung pertemuan, pastor dan dewan intinya) dan banyak cabang (kapela, SD,guru sekolah dan ketua lingkungan). Wadah paroki lama berpusat pada pastor, pada gedung dan pada ibadat. Sering pria menentukan sedangkan wanita harus melaksanakan.

Wadah paroki Baru yang berupa ecclesia ecclesiarum dapat membangun persekutuan jemaat. Dasar paroki bukan lagi sebuah pusat dengan pastor dan rumah ibadat induknya, melainkan masing-masing Kelompok Jemaat Basis. Paroki-paroki dengan banyak cabangnya diganti dengan jaringan persekutuan kelompok-kelompok Basis.[4] Kesadaran ini merupakan bagian inti dari revolusi gereja yang berusaha mengganti  pola pastoral atas-bawah yang serba klerikal-otoriter dengan pola persekutuan kesetaraan yang merangkul seluruh umat Allah. Gagasan ini sudah dimulai dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Di sana ditegaskan bahwa Gereja adalah umat Allah, si musafir yang mengembara di dunia ini; Gereja adalah komunio atau persekutuan. Gereja tidak lagi dipandang sebagai sebuah piramida melainkan sebagai sejumlah bersar lingkaran yang saling berjalin. Keuskupan dan paroki terdiri dari persekutan paguyuban-paguyuban persaudaraan kristiani.[5] KBG (Kelompok Basis Gereja) memiliki pengartian yang berbeda dari tempat ke tempat.[6] Sejarah pembentukannya berbeda-beda dari satu keuskupan ke keuskupan lain, dan basis sosialnya berbeda dari wilayah mayoritas dan minoritas katolik. KBG bukanlah sebuah organsisai seperti legio Maria dan sejenisnya. Ia bukanlah paguyupan rohani yang memiliki anggaran dasar. 

 

KBG bersifat basis yang berarti anggotanya saling mengenal dan mempunyai hubungan pribadi antara mereka, saling berkawan dan bersahabat. Para anggota tinggal berdekatan supaya mudah berkumpul secara berkala, dan mudah saling bertemu dan berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara anggotanya stabil dan tetap, sehingga mereka dapat melihat kelompoknya sebagai satu akar dalam kehidupannya, satu sumber rasa jati diri, di mana mereka tahu menempatkan diri.

 

KBG juga disebut sebagai jemaat beriman/kelompok umat beriman yang nampak dari cara mereka hidup dan bergaul terhadap sesamanya. Di mana anggota-anggotanya saling mengenal, saling memperhatikan, saling membagikan pengalaman dan harta, serta saling membantu dalam kesulitan. Semuanya itu dibangun di atas dasar keyakinan bahwa Yesus Kristus sang Sabda yang menyatukan dan menghimpun mereka. Mereka adalah kelompok yang hidup dalam persekutuan iman dengan mendengarkan firman Allah dan menghayati dalam hidup sehari-hari. Selain itu, mereka adalah wadah iman yang membuka hati dan batin kepada Roh Kudus dan anugerah-Nya. Mereka menopang hidupnya dalam doa, perayaan sakramen-sakramen. Mereka membangun kehidupan masyarakat yang lebih adil, damai, manusiawi, seturut nilai-nilai kerajaan Allah dan berpegang pada yang baik dan benar.[7]

 

Singkat kata, KBG (Kelompok Basis Gereja) adalah sebuah persekutuan yang senantiasa bertumbuh, berkembang, berada di tengah perjalanan.  KBG selalu berada dalam proses "sedang menjadi". Walaupun wujudnya bermacam-macam, gagasan teologis yang melatarbelakanginya tetap sama. SAGKI 2000 mendefinisikan KBG adalah satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan fiman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci.

 

4.2 KBG sebagai Basis Kerasulan Menurut Mansford Prior

 

Menurut Mansford Prior, KBG  sebagai basis kerasulan artinya KBG dalam hal ini anggota-anggota dari KBG harus menyatukan iman dan kehidupan harian. Mereka digambarkan bagaikan manusia yang mempunyai dua telinga dan satu mulut. Artinya, anggotanya mendengarkan firman Allah dan juga mendengarkan suara rakyat. Setelah mendengarkan kedua suara itu barulah ia menyerukan pesan profetis Injil. Perlu diperhatikan bahwa pengurus lingkungan KBG harus memperhatikan domba-domba gembalaannya. Dia perlu memperhatikan apakah domba-domba yang digembalakannya maju atau mundur, sudah menampakan wajah Kristus atau sebaliknya. Dia perlu menilai apakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh lingkungannya dapat diatasi atau tidak? Apakah keraguan anggotanya dapat dijelaskan atau tidak? Dan seterusnya. Untuk itu pengurus lingkungan atau pengurus KBG harus mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap pelaksanaan program kerja lingkungan yang telah direncanakan bersama[8]. Perkembangan lingkungan dan persekutuan hidup perlu mendapat perhatian pengurus lingkungan atau pengurus KBG. Kalau pengurus lingkungan atau pengurus KBG tidak mempedulikannya maka dia tidak mengetahui hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses perkembangan lingkungannya dan tidak dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan kemajuan-kemajuan yang sudah tercapai. Karya pengembangan lingkungan dan persektuan hidup semua anggota KBG baik permulaan, maupun pada akhirnya  merupakan suatu persektuan hidup dengan Tuhan. Baik dalam bentuk renungan maupun dalam beraneka ragam bentuk perkumpulan serta perkumpulan keluarga-keluarga dalam KBG, umat harus sampai ke penghayatan akan hubungannya dengan Tuhan. Untuk mengetahui sejauh mana perkembangannya, diperlukan penilaian baik oleh pengurus lingkungan sendiri maupun sesama warga. Hal ini berarti bahwa gereja atau anggota gereja harus merasa aman dan sejahtera secara sosial, politik dan kultural[9].

 

Mansford Prior mengatakan bahwa Ciri utamanya adalah berbentuk lingkaran pastoral misioner yang berarti beranjak dari pengalaman yang terenungkan, berjalan melalui analisis sosial budaya, dan melanjutkan dengan refleksi teologis, serta mencapai tujuannya dengan menjawab persoalan-persoalan. Adapun dimensi-dimensi sosial yang menunjukkan Gereja sebagai Basis Kerasulan yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Dimensi-dimensi itu antara lain;

 

  • Dimensi Sosio-religius
  • Dimensi Sosio-religius adalah dimensi yang pertama. Dimensi ini dinyatakan dalam ibadat dan dalam hidup religius. Pencerminan dari hidup religius itu terwujudkan di dalam katekese. Sedangkan hidup beribadat diperkembangkan dalam ekumene yang mana tercapai kehidupan dan kerja sama antar umat beragama.
  • Dimensi Sosio-edukatif
  • Kehidupan sosio religius bertemu dengan dimensi sosio-edukatif sebab untuk menjadi oarang religius dewasa, baik pendidikan keluarga, maupun pendidikan sekolah memainkan peranan penting dalam menunjang dimensi sosio-religius.
  • Dimensi Sosio-psikologis
  • Artinya pendidikan itu tergantung dari lingkungan sosio-psikologis, lingkungan keluarga, hubungan suami isteri, limgkungan organisasi atau perkumpulan, pergaulan dengan teman, suasana masyarakat, dengan pengarahan-pengarahan psikologis, yang tidak begitu banyak. Dalam dimensi sosio-psikologis seringkali ternyata bahwa mentalitas-mentalitas dan sikap-sikap terhadap kehidupan dan pekerjaan pastoral memerlukam penyesuaian yang tepat.
  • Dimensi Sosio-ekonomis
  • Perkembangan sosio-religius sangat erat hubungannya dengan perkembangan wilayah dalam bidang sosio-ekumenis.
  • Dimensi Sosio-Politis
  • Dimensi Sosio-politis seperti terbukti dalam sejarah  sangat erat hubungannya dengan kemungkinan yang memperkembangkan kemanusiaan menuju Tuhan. Tanpa terjaminnya hak-hak Asasi Manusia dan tertib hukum, maka tidak ada lagi kemungkinan untuk perkembangan sosio yang wajar.
  • Dimensi-Sosio Kultural atau Sosial budaya
  • Dimensi ini berhubungan dengan kelemahan dan kemerosotan kebudayaan yang mempengaruhhi perkembangan umat menuju Allah.

 

            Dimensi-dimensi ini saling terkait dan sangat membantu perkembangan tiap anggota KBG. Anggota KBG dipanggil untuk memberikan pelayanan secara kreatif bagi anggotanya dan orang lain. Dalam situasi seperti itu, segala upaya diusahakan untuk menghidupi kembali Jemaat Perdana di tingkat lingkungan. Umat lingkungan dalam hal ini KBG dibimbing untuk menjadikan lingkungan sebagai medan penghayatan iman. Dengan usaha-usaha itu diharapkan lingkungan bisa menjadi oase yang menyuburkan hidup rohani umat di tengah krisis iman. Pada akhirnya, diharapkan lingkungan (KBG) bisa mewujudkan harapan Gereja untuk semakin signifikan dan relevan bagi masyarakat dan warganya[10].

 

4.3 KBG sebagai Basis Evangelisasi Injil yang Ingtegral

 

KBG sebagai basis Evangelisasi Injil yang Integral artinya KBG terlibat dalam seluruh misi perutusan evangelisasi atau pewartaan Injil. Proses evangelisasi atau penginjilan adalah mula-mula Injil diwartakan, kemudian diterima dan disambut baik, lalu orang-orang memasuki suatu perjumpaan pribadi dengan Kristus yang hidup. Evangelisasi Injil ini juga sangat menentukan perkembangan iman dan pertumbuhan iman. KBG harus menyadari bahwa semua aspek kehidupan Gereja memerlukan pewartaan kerajaan Allah. Warta Injil harus disampaikan kepada segala bangsa. Kerajaan Allah yang dibangun dalam KBG meliputi keadilan, kedamaian dan cinta. Dalam komunitas murid-murid Yesus (bdk Kis) mencerminkan impian Allah yakni komunitas yang sungguh-sungguh melaksanakan cita-cita Kristus. Dalam komunitas ini ada kerajaan Allah, komunitas yang adil, damai dan cinta menjadi kenyataan. KBG harus menyadari bahwa dia adalah murid Kristus. Menjadi murid Kristus berarti menghayati iman/relasi dengan Kristus, selain dalam doa, perayaan sakramen, memberikan derma, mengajar agama, terlebih lebih dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan profesi dan keberadaannya masing-masing. KBG semestinya terbuka dengan semua kemungkinan-kemungkinan yang baru, artinya kesetiaan-kesetiaan hidup menggereja tidak ditentukan oleh suku, ras, kekayaan atau kekuasaan mana pun tetapi oleh Injil Yesus Kristus. Maka usaha kontekstualisasi hidup menggereja selalu dihadapkan pada tugas menafsirkan situasi hidup nyata dengan terang Injil[11]. Di satu pihak, Injil Yesus Kristus diimani secara universal. Di lain pihak, Injil itu juga selalu dimengerti  dan dijalani dalam kebudayaan dan konteks tertentu. Tidak dapt dihindari adanya suatu ketegangan antara universalitas dan partikularitas.

 

KBG harus menyadari bahwa karya evangelisasi atau pewartaan Injil harus konkrit dalam situasi hidup umat katolik. Universalitas Injil Yesus Kristus bukanlah kebenaran-kebenaran abstrak yang harus diterapkan pada situasi konkret, melainkan kenyataan bahwa peristiwa Yesus yang konkret yang terjadi dalam kebudayaan dan konteks tertentu mempunyai makna bagi sejarah umat manusia di mana pun dan kapan pun. Maka dari itu, ketegangan antara universalitas dan partikularitas selayaknya tidak ditanggapi dengan rumusan abstrak tetapi dengan dialog kritis dari bermacam-macam tradisi Injili baik lokal maupun temporal. Dalam dialog dan komunikasi semacam itu paguyuban murid-murid Kristus yakni KBG harus saling memberikan kesaksian Injil dan peneguhan iman. Dalam dialog itu pula, barangkali kekayaan-kekayaan Injil yang terpendam dan terlupakan dapat ditemukan kembali.

 

            Namun perlu disadari bahwa Evangelisasi Injil bukanlah pertama-tama suatu program, melainkan suatu proses yang tidak pernah berakhir terus-menerus. Hal senada juga sudah dilakukan oleh murid-murid Yesus dimana mereka pergi dan menjadikan mereka murid-murid yakni dengan membaptis dan mengajar mereka. Ada 3 tahap evangelisasi Injil antara lain: pra-evangelisasi, evangelisasi aktif, dan evangekisasi berkesinambungan. Adapun isi dari evangelisasi Injil antara lain; Suatu kesaksian tentang kasih Bapa, Suatu pewartaan yang jekas, bahwa dimana Yesus Kristus Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, wafat dan bangkit kembali dari antara orang mati sehingga hal ini menunjukkan bahwa Injil dan kabar keselamatan harus diwartakan.  Umat KBG harus menyadari dengan sungguh bahwa proses evangelisasi merupakan panggilan Allah bagi kita untuk menjadi pewarta bagi sesama di dalam situasi yang konkrit dan juga untuk melayani mereka dengan sebaik-baiknya.

 

4.4 Kasih Sebagai Basis Kerasulan

 

            Di tengah kerusakkan peradaban masyarakat yang menyukai kekerasan, konflik, kebencian, bahkan pembunuhan dan balas dendam, umat KBG dipanggil untuk menyatakan kasih bagi semua orang. Hendaknya kasih sebagai basis kerasulan yang mendorong umat KBG untuk merasul, mewartakan kerajaan Allah. Peradaban kasih ini perlu dimiliki dan dihidupi agar menjadi garam atau ragi yang merasuk dan memenuhi masyarakat dalam KBG. Umat KBG harus menyadari bahwa sumber kasih itu adalah Allah sendiri, karena Allah adalah sumber kasih (1 Yoh. 4:8-16). Paus Benediktus XVI menguraikan makna kasih Allah sebagai berikut;

 

"Tindakan kasih Allah mengambil bentuk dramatis dalam hal bahwa Allah dalam Yesus Kristus sendiri mencari domba yang hilang. Bila Yesus dalam perumpamaan berbicara tentang gembala yang mencari domba yang hilang, perempuan yang mencari dirham, bapa yang menyambut anaknya yang hilang dan memeluknya, maka itu semua bukan hanya kata-kata, melainkanpenjelasan tentang diri-Nya dan tindakan-Nya. Dalam wafat di salib, terwujudlah sikap Allah terhadap diri-Nya sendiri. Ia menganugerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia yakni kasih dalam bentuk yang paling radikal (Deus Caritas Est 12)".

 

            Demikianlah penyerahan diri dan hidup Yesus di salib menjadi bentuk paling radikal dari kasih Allah kepada umat manusia. Dalam pengurbanan diri Kristus di salib itulah seluruh peradaban kasih menemukan arah dan polanya secara definitif. Kasih yang diwartakan iman katolik bukanlah kasih pada umumnya, melainkan kualitas kasih Allah sebgaimana yang ditunjukkan melalui Yesus Kristus yang mengasihi manusia sampai kesudahannya atau sehabis-habisnya (bdk. Yoh 13:1), yakni dengan memberikan diri-Nya dalam pengurbanan di salib bagi keselamatan umat manusia. Itulah bentuk kasih yang terbesar, sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada lasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13). Kasih Allah melaui Kristus yang mengurbankan diri-Nya itulah isi kasih yang hendak diperjuangkan dalam peradaban kasih. Peristiwa kebangkitan Kristus meneguhkan dan memastikan kebenaran pilihan sikap kasih dan belas kasih Allah melalui derita, wafat dan kebangkitan Kristus itu menjadi kunci perdamaian sejati umat manusia seperti diungkapkan dalam prefasi Doa syukur agung VI berikut;

 

"Meskipun umat manusia terpecah bela oleh pertengkaran dan perselisihan, kami mengalami pula bahwa Engkau senantiasa membangkitkan hasrat untuk berdamai. Karena dorongan Roh-Mu orang-orang yang bermusuhan berdamai kembali, yang berlawanan berjabat tangan, dan bangsa-bangsa mencari jalan untuk menggalang persatuan. Berkat kuasamu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan".

 

            Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa kasih itu begitu penting dalam hidup manusia. Kasih harus menjiwai karya kerasulan dalam KBG. Tanpa kasih karya kerasulan dalam KBG tidak berjalan dengan baik. Kasih menggerakkan kita untuk melakukan pelayanan dengan baik dalam KBG. Arah dan pedoman kasih ini berasal dari Allah sendiri. Kasih Allah itu begitu besar sampai Ia mengutus anak-Nya sendiri untuk datang ke dunia menebus dosa kita. Umat dalam KBG harus menyadari pentingnya kasih ini. Umat KBG yang menimba daya kekuatan dari ekaristi hendaknya berbuah dalam hidup.

 

            Dalam perjamuan dan kurban ekaristi umat KBG diundang untuk hidup dalam persatuan dan persaudaraan sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Yesus Sang kasih abadi. Kita diundang untuk ikut terlibat dalam penguatan ikatan persaudaraan yang semakin bersatu dan bersaudara. Undangan ini semakin penting maknanya dalam masyrakat yang semakin individualistik, dan pragmatik, yang semakin terpusat pada diri sendiri dan sekedar bertanya mengenai guna dan hasil, bukan mengenai makna dan nilai. Dengan menghayati ekaristi, kita diundang untuk terus-menerus membarui pandangan kita. Kita diundang dan dihimpun oleh Allah sebagai anak-anak-Nya. Kita dituntut untuk menghayati Ekaristi dengan mengembangkan semangat persaudaraan di tengah-tengah umat yang dilayani. Ekaristi mengajar kita bahwa kalau kita mampu  mengesampingkan pembedaan-pembedaan sosial dan kepentingan-kepentingan yang dangkal, kita mampu berhimpun sebagai sesama saudara yang mempunyai jati diri sebagai anak-anak Allah.  Kasih harus menjiwai karya misioner pelayanan kita termasuk dalam lingkup KBG. Dalam hal ini kita ingat kata-kata Yesus dalam Sabda di bukit: "Kamu telah mendengar firman kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu, tetapi Aku berkata kepadamu; Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Jadi perlu disadari bersama, pada awal perayaan Ekaristi ada daya keselamatan Allah yang membangun persekutuan persaudaraan[12].

 

4.5 KBG Sebagai Jemaat yang Komunikatif

 

            Menurut Mansford Prior, KBG sebagai jemaat yang komunikatif bukanlah sebuah hal yang sama sekali baru. KBG dipanggil untuk menjadi jemaat yang komunikatif. Jemaat yang komunikatif artinya umat KBG harus membangun dialog, baik dialog dalam lingkup KBG maupun dalam lingkup besar di luar KBG. Pada umumnya KBG bertahan karena ia mampu menciptakan persekutuan diantara anggotanya dengan tetap saling terbuka, memiliki aksi (eksklusif) dan keluar (inklusif), tidak tergantung pada instruksi dari atas atau luar dan bersifat partisipatif[13]. Selain itu komunitas basis gerejani mesti menghayati kesetiakawanan dengan kaum miskin dan kaum terpinggirkan (tidak cuma sibuk dengan dirinya sendiri), mencintai sabda Allah, dan Kitab Suci, mampu mengglobal atau sesuai dengan zaman, serta jangan sampai terjebak ke dalam pola-pola sektarian sesaat atau pembatasan semasa. Komunitas Basis harus melakukan pembaharuan atau inovasi dan meningkatkan perbaikan yang mengarah pada perubahan atau transformatif. Ini semua berjalan dengan baik apabila tiaptiap anggita dalam KBG membangun dialog yang komunikatif antara para anggota di dalamnya maupun dalam konteks masyarakat luas di luar dirinya. Disini KBG juga perlu belajar dari cara hidup Umat Kristen Purba. Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam cara hidup Gereja Purba antara lain:

 

  • Communio, Persekutuan, ada hubungan yang akrab dengan kelompok yang relatif kecil dan bersifat lokal
  • Terang Injil sebagai panduannya.
  • Terlibat dengan situasi lingkungan; suka duka lingkungan adalah suka duka mereka juga
  • Bersatu dalam doa dan karya

 

            Sehubungan dengan hal ini, Mgr Pujaraharja mengingatkan bahwa Gereja adalah seluruh umat. "Gereja justru tampak nyata dalam Komunitas Basis Gerejani. Daya hidup Gereja terletak dalam Basisnya yang menyatu dengan masyarakat, menggarami dan menerangi masyarakat" katanya.

 

4.6 KBG Sebagai Jemaat Yang Kudus

 

            Dari peryataan Mansford Prior yang mengatakan bahwa KBG berasal dan berakar dari Yesus sendiri ini mau menunjukkan bahwa secara tidak langsung, KBG mempunyai unsur kekudusan. Anggota-anggota Gereja dipanggil untuk bertumbuh dalam kekudusan termasuk dalam lingkup terkecil dalam KBG. Kekudusan adalah sifat yang sangat penting dari Gereja sebagai tubuh Kristus[14]. Ia wafat untuk menguduskan jemaat dan memebersihkan dia "supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat dan kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus tidak bercela (bdk Ef 5:27). Keduanya menjadi satu (Ef 5:31-32) sehingga kekudusan Kristus dapat dilihat di dalam Gereja, tubuh-Nya yang dibangun atas dasar kasih. Memang Gereka dapat disamakan dengan kerajaan Putra Allah. Dalam banyak tulisan PB ungkapan he baseleia tou theou (Kerajaan Allah) adalah sesuatu yang aktif dan bukan suatu konsep lokal yang statis. Ungkapan itu lebih baik diterjemahkan "pemerintahan" dari pada "kerajaan". 

 

            Anggota-anggota Gereja diberi jaminan masuk dalam Kerajaan Allah apabila dia mempunyai unsur kekudusan di dalam dirinya. Seperti Kristus yang mendamaikan segala sesuatu baik yang ada di bumi maupun yang ada di surga (Kol 1:20; Ef 1:10) dan segala kuasa dan kerajaan tunduk kepada Dia yang merupakan kepala Gereja.  Paulus dalam Kol 1:24-25 menggambarkan dirinya sebagai pelayan jemaat (Gereja). Doksologi yang terdapat dalam Ef 3:21 menunjukkan sejauh mana surat-surat itu memberikan ciri ilahi (kekudusan) kepada Gereja. Kekudusan Gereja mampu membuat Gereja bertahan walaupun tidak dipungkiri bahwa anggota-anggota Gereja kerap keli jatuh dalam dosa dan kesalahan yang sama. Umat dalam lingkup KBG perlu menyadari hal ini agar dia tetap tumbuh dalam kekudusan karena Yesus sendiri adalah kudus. Orang-orang yang menuntut Gereja yang sempurna harus mengakui bahwa sarana penyelamatan Kristus karena dicemari oleh dosa manusia.

 

4.6.1 Relevansi KBG sebagai Basis Kerasulan untuk Umat Katolik

 

Gagasan John Mansfort Prior tentang KBG menurut hemat penulis masih sangat relevan dengan kehidupan umat Katolik saat ini. Gagasannya tentang KBG sebagai basis kerasulan, KBG sebagai basis Evangelisasi Injil yang integral, Kasih sebagai Basis Kerasulan, KBG sebagai jemaat yang Komunikatif, KBG sebagai jemaat yang kudus masih relevan. KBG menampilkan dengan secara nyata gereja yang berwajah umat Allah, karena di dalamnya setiap umat awam terlibat aktif baik secara jasmani maupun rohani. Tidak dapat dipungkiri bawah KBG adalah cara hidup menggereja abad 21 yang didasarkan cara hidup Gereja perdana. Cara hidup gereja perdana adalah cara hidup menggereja yang otentik. Maka, KBG bukanlah organisasi namun suatu cara hidup menggereja. Tentang sebutannya, bisa bermacam-macam. Intinya, yang disebut KBG adalah kelompok kecil umat di tingkat akar rumput yang berupaya menghidupi cara hidup sebagaimana ditunjukkan oleh cara hidup jemaat perdana.

 

            KBG berupaya untuk meragakan suatu cara hidup Kristiani yang sangat berbeda dengan suatu cara hidup individualistis, egoistis dan konsumtif yang sudah menajdi bagian dalam kehidupan manusia saat ini. Karenanya KBG berusaha menghidupi dua keutamaan dasar yakni kebersamaan dan partisipatif aktif. Kedua hal ini melahirkan KBG sebagai wadah persekutuan, wadah sosial, wadah penyadaran, wadah ibadah, dan wadah jemaat. Komunitas menjadi basis pemberdayaan umat dimana melaluinya setiap umat beriman boleh mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam melayani berbagai kepentingan anggota dan masyarakat pada umumnya secara lebih efektif. Hemat penulis, KBG  saat ini masih berjalan dalam koridor yang baik dalam berbagai kerasulan.

 

V. Kesimpulan

 

Pemikiran Mansford Prior ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bahwa KBG bukan saja soal fisik, tetapi di dalamnya ada campur tangan dari Yesus sendiri bahkan akar dari KBG adalah Yesus sendiri. Kita semua anggota-anggota Gereja dipanggil dalam semangat yang sama untuk terlibat aktif dalam KBG. Kita semestinya menjadi rasul dan pewarta Injil, menjadi jemaat yang komunikatif, membangun kasih persaudaraan dan menjadi kudus. Itulah pemikiran yang cemerlang dari Mansford Prior mengenai KBG. Kiranya pemikiran Mansfod Prior ini menjadi bahan pembelajaran kita semua untuk terus membenahi kehidupan anggota-anggota Gereja dalam lingkup KBG. Dengan mempelajari gagasan Mansford Prior ini, KBG menemukan arah dan semangatnya kembali dalam perubahan yang transformatif. Besar harapan bahwa KBG di Indonesia untuk selalu terbuka bagi perubahan karena keterbukaan dinilai sebagai sikap yang menentukan untuk selalu membaharui diri, membangun persaudaraan sejati dan semakin menghadirkan kerajaan Allah melalui perjuangan keadilan, kebenaran, dan kesetaraan gender.

 

Pemikiran Mansford Prior ini perlu juga dilihat dalam konteks budaya. KBG juga harus memperhatikan budaya-budaya setempat dimana KBG itu berada. Dengan melihat nilai-nilai budaya setempat seperti nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan persaudaraan, akan membuat KBG dapat bertumbuh dengan baik di suatu daerah tertentu. Hal ini akan mewujudkan pengharapan anggota-anggota gereja dalam KBG, bahwa KBG dapat menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan bahkan menjadi sarana keselamatan bagi dunia. Hendaknya pengalaman, persoalan, dan pergulatan dalam KBG harus disharingkan bersama sehingga dalam perjumpaan itu mereka diteguhkan oleh firman Allah sehingga menumbuhkan kemauan untuk bertindak. Oleh karena itu unsur keterlibatan aktif dari tiap anggota KBG juga sangat diperlukan. Rasa tanggung-jawab untuk menjadikan Gereja sebagai tanda kesaksian hidup berahmat harus menonjol dalam lingkup KBG dan Gereja. Dengan demikian komunitas Basis sungguh dapat menghadapkan altar kepasar artinya Gereja tidak hanya berkutat di sekitar altar dengan kegiatan ritual, melainkan menghadirkan dan menegakkan Kerajaan Allah di dalam dunia.

 

 

 

Daftar Kepustakaan

 

Buku

 

Mansford Prior John, "Membangun Hidup Jemaat yang Memasyarakat" dalam Seri Pastoralia Evangelisasi Baru dalam Jemaat Basis, John Djegadut, SVD (Editor) Ende: Nusa Indah, 1996.

 

___________________Memberdayakan Komunitas Basis Gerejani sebagai Budaya Tandingan, Jakarta: Komisi PSE & KWI, 2000.

 

___________________Seri Pastoralia Bejana Tanah Nan Indah, Ende: Nusa Indah, 1993.

 

Prof. Dr. Jansen P, CM. Pastoral 2, Malang: Tim Instutut Pastoral Indonesia 1998.

 

Dr. Subangun Emmanuel, Dekolonisasi Gereja di Indonesia, Suatu Proses Setengah Hati, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

 

Banawiratma J.B, SJ, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Menuju pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

 

Mgr. Suharyo I. Ekaristi, Meneguhkan Iman, Membangun Persaudaraan, Menjiwai Pelayanan, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

 

Margana A. Komunitas Basis, Gerak Menggeraja Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius,  2004.

 

Brown Raymond E. Gereja Yang Apostolik, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

 

Sugiyana F.X. Pr, Lingkungan Aktualisasi Hidup Jemaat Perdana di Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2013.

 

 

Artikel:

 

Wilhelmus Ola Rongan, Hakekat Komunitas Basis Gerejani,  dalam Artikel Jurnal Pendidikan Agama Katolik (JPAK), Madiun, Vol. 9, No Seri Tahun ke-5, Edisi, April 2013.

 

 

 

 

 

 

 

Internet

 

https://komkat-kwi.org/2021/05/21/hasil-dan-rekomendasi-pertemuan-komunitas-basis-gerejani-di-makassar/diakses di Seminari Montfort Malang pada tanggal 21 Mei 2021 pada pkl 22.10.

 

https://www.academia.edu/42441388/Kekhasan_Partikularitas_Gereja_dalam_Komunitas_Basis_Gerejawi, Diakses di Seminari Montfort Malang pada tanggal 19 Mei 2021 pada pkl 22. 17.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun