Melukis Cita dan Sari Pati Hidup
Derap langkah terdengar semakin jelas. Mereka bertiga berbaris rapi. Kiri kanan kaki jatuh serempak. Tangan tinggi-tinggi mengayun ke samping. Pudjas paling depan. Tonnie dan Mustaman mengikuti.
Hentakan kaki Pudjas terasa paling keras menghantam bumi. Sabak dan Grip, ---media tulis jaman itu --- dijepit di ketiak. Barisan itu hilang di pertigaan depan warung ketupat pinggir kali. Mereka pulang.
Tahun kalender menunjuk angka 1954. Tonnie sudah menamatkan Sekolah Rakyat. Mustaman naik ke kelas tiga SGB, Sekolah Guru Bawah. Sementara Pudjas masih kelas empat Sekolah Rakyat.
Tonnie bercita-cita menjadi guru. Dia begitu kagum pada sosok Pak Gusti, gurunya saat masih di Sekolah Rakyat. Di matanya, Pak Gusti adalah seorang guru yang hebat.
Dia bisa mengajar segala macam mata pelajaran. Ilmu bumi, berhitung, bahasa, sejarah sampai mengajar olah raga pun beliau sanggup. Kalau ada seorang guru yang tidak sempat mengajar, Pak Gusti selalu siap menggantikan.
Pernah ada dua guru sekaligus berhalangan mengajar. Pak Gusti pun mengajar dua kelas itu. Dari kejauhan terlihat menggelikan. Sekian waktu memberi pelajaran di kelas A kemudian berlari ke kelas B untuk memberikan pelajaran yang berbeda.
Di saat seperti itu Tonnie sering membayangkan. Kalau saja ada seratus kelas tanpa guru dan pelajarannya berbeda, alangkah serunya pemandangan. Pak Gusti tentu akan kelelahan. Berkeringat, dan ngos-ngosan. Tetapi dia akan hadir membersihkan keringat itu bila perlu seperti yang dilakukan adiknya, Pudjas pada Iwa Simon. Dia sering tertawa kecil kalau mengingat itu.
Suatu ketika pernah pula kejadian dua guru tidak masuk mengajar. Entah bagaimana, murid-murid dua kelas itu digabungkan. Dan kemudian terdengar menggema lagu-lagu perjuangan. Diselingi dengan hentakan telapak kaki pada ubin. Juga tepuk tangan serempak. Seperti derap langkah barisan pasukan perang. Tonnie saat itu mengira Pak Gusti kelelahan. Akhirnya kedua kelas itu diajak bergembira dengan bernyanyi.
Cara mengajarnya pun kerap membuat Tonnie terkagum-kagum. Kalau menjelaskan sesuatu yang sulit, Pak Gusti sering kali mengawalinya dengan bercerita. Ceritanya disukai anak-anak. Suaranya berubah-ubah. Terkadang terdengar seperti suara seorang nenek-nenek, terkadang membesar seperti seorang yang berbadan besar dan tambun. Suara kodok pun tertiru dengan baik. Bak seorang dalang saja. Dari bercerita itulah, Tonnie dan kawan sekelasnya bisa lekas mengerti apa yang ingin disampaikan Pak Gusti.
Pudjas lain lagi. Dia sangat ingin menjadi seorang tentara. Sering terpesona menyaksikan tentara baris berbaris. Tangsi, bekas markas tentara zaman Belanda, tepat berada di depan rumah. Tangsi itu sekarang sudah menjadi milik republik. Tangsi tersebut lumayan luas. Tidak kurang empat kali ukuran lapangan sepak bola. Gerbangnya megah. Mirip gerbang sebuah benteng. Dihiasi dengan dua buah meriam yang bercokol di sisi timur dan barat. Selalu saja ada penjaga yang bertugas mengawasi setiap ada yang masuk ke dalam tangsi.
Saat barisan tentara berparade mengelilingi tangsi, Pudjas paling bersemangat menyaksikan. Kakinya selalu mengikuti aba-aba. Turut dihentak-hentakkan. Dadanya membusung. Bedilnya ranting belimbing. Lagu-lagu perjuangan pun turut terdendang keras walau beberapa kalimatnya tiba-tiba hilang berganti gumaman kemudian berlanjut lagi. Maklum dia tidak hapal. Tetapi iramanya, lagunya jangan ditanya. Dia hapal luar kepala. Mulai lagu Maju Tak Gentar sampai Berkibarlah Benderaku ciptaan Ibu Saridjah Niung. Yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud.
Sementara Mustaman si sulung, kurang setahun lagi, bertekad melanjutkan ke SGA. Sekolah Guru Atas. Di kota Singaraja. Ibu kota provinsi nun jauh 80 kilometer arah utara tempat tinggalnya. Dia sangat ingin keluar dari kubangan kemiskinan dan kebodohan. Dia begitu jengah dengan kehidupan yang mereka hadapi bertiga. Terlebih sepeninggal sang ibu. Tanpa kasih sayang seorang ibu, dia harus membimbing adik-adiknya yang sedang runyam dan bertumbuh itu.
Beruntung semua saudara sepupu begitu menyayangi mereka. Kalau ada salah seorang sepupu yang mempunyai makanan lebih, selalu saja mereka diberi.
Secara umum, kehidupan keluarga besar mereka sangatlah minim. Hampir semua iwa-iwanya, kakak-kakak dari Ayahnya, selalu setiap saat mendoktrin agar terus giat belajar. Menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena hanya ilmu pengetahuanlah yang sanggup menolong mengangkat mereka dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.
Sang Ayah adalah seorang yang keras dan pemberani. Tegas namun hatinya halus. Hatinya peka terhadap kondisi sekitar. Ayahnya sering memberi bekal hidup tanpa mereka sadari. Hidup itu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan itu sendiri. Menyia-nyiakan waktu adalah contoh hidup yang tidak bertanggung jawab. Hal itu pernah dikatakan sang Ayah sepulangnya dari terminal dekat pasar. Selepas mengais rupiah sebagai kusir dokar.
Di kandang kuda, di pelataran gubuk Iwa Simon, mereka bertiga sering menunggu kedatangan sang Ayah. Saat-saat seperti itulah Ayah selalu mencurahkan ilmu kehidupan. Sambil mengusap kepala Pudjas, sang Ayah mencurahkan pitutur lelakon sebagai manusia. Pitutur yang membuat semangat mereka tahan membara.
Dan ada satu hal yang selalu mereka tunggu di kandang kuda itu. Tepukan dan usapan tangan sang Ayah yang selalu berisikan uang pecahan koin.
"Kau bagi rata ya..buat bekal sekolahmu..," ujar sang Ayah pada Mustaman pada suatu ketika. Kuda pun meringkik seperti turut senang menyaksikan.
Keras dan keberanian, juga pekanya sang Ayah terhadap tanggung jawab hidup berkeluarga, tergambar jelas di kepala Tonnie.
Pernah suatu ketika, beberapa tahun sebelumnya, sang Ayah mencuri dua ikat padi. Saat itu Ayah belum mempunyai dokar. Hanya bekerja sebagai buruh tani penggarap. Hidup serba kekurangan.
Padi curian disembunyikan dalam bilik pawon. Segera setelah itu, Ayah mengambil golok yang bilahnya memanjang. Mengasahnya hingga mengkilap di halaman rumah yang mirip gubuk itu.
"Pemilik padi ini akan segera datang. Ayah harus menyambutnya," ujar sang Ayah saat itu.
Semua anak-anaknya termasuk juga Ibu tiri Tonnie bersembunyi di dalam bilik pawon. Mengintip dari sela-sela cat kapur gedek yang rontok. Tentu dengan jantung yang berdetak keras dalam kelaparan yang menyayat.
Ayah kemudian duduk di halaman. Di kursi bambu. Beratap langit berpayung terik surya. Kaki kirinya menopang kaki kanan yang terangkat. Tangan kanannya memainkan golok panjang mengkilap itu. Sesekali diketuk-ketukan ke telapak tangan kiri. Tatapannya tajam tak berkedip menyorot ke arah pintu pagar bambu. Menanti sang empunya padi.
"Dug..dug...dug...dug..dug....," degup jantung Tonnie sudah menyentuh gendang telinga. Matanya panas berair mengintip dari celah gedek di balik bilik pawon. Rasa takut menyelimuti hatinya. Menyaksikan sang Ayah bertaruh nyawa, mencuri padi demi sesuap nasi.
Dan kemudian..
"Brraaakkkk...!!!"
Seseorang menendang pintu pagar bambu itu. Orang itu seperti sebaya dengan Ayah. Wajahnya begitu beringas. Matanya menyelidik. Di desa, orang itu terkenal sebagai tuan tanah. Sawahnya luas tak terhitung.
"Heeyyy....Kau... Pencuri..!!.. Mana padi itu? Mana padi yang kau curi itu?... Cepat kembalikaan!!" teriaknya sambil menunjuk kepada Ayah.
Ayah masih diam. Tenang. Memberi kesempatan orang itu menumpahkan amarahnya. Di desa hampir semua mengetahui, Ayah sering melakukan pencurian. Tetapi penduduk desa juga mengetahui kondisi keluarga Ayah. Dan Ayah pun tidak sembarangan mencuri. Tonnie sangat memahami jiwa Ayahnya itu.
Kemudian Ayah bangkit dari duduknya dan berkata, "Baik..baik.. Kau boleh menuduhku mencuri. Sekarang Kau lihat golok ini. Tidak perlu tuduh menuduh lagi...!! Sekarang antara hidup dan mati...!! Kau boleh geledah seluruh bilik...!! Kalau Kau temukan padi itu, Kau bunuh aku....!! Tapi kalau Kau tidak menemukan padi itu, Kau mati...!! Kau aku bunuh...!! Kau aku cincang dengan golok ini...!! Hayooo cepat geledaaahh....!!! Aku dan golok menunguu...!!!! Hayooo cepaat...!!"
Orang itu mendengus. Tangannya masih berkacak pinggang. Mulutnya komat kamit. Tak jelas suara yang terucap. Pandangan matanya menyapu ke seluruh penjuru. Sorotnya sempat berhenti pada arah pawon. Kakinya seperti terikat rantai. Hanya maju selangkah kemudian mundur lagi selangkah.
Pilihan yang berat. Orang itu menyadari model pilihan dari kaum melarat yang kelaparan itu. Dia tahu padi itu ada di sana. Kalaupun padi itu dia temukan, dia akan tetap dibunuh. Ini beresiko tinggi. Dia lebih memilih mengalah dan tetap hidup daripada mati demi dua ikat padi.
Tonnie ketakutan setengah mati. Di bilik pawon, kakinya sedang menginjak padi itu. "Kalau orang itu menemukan padi ini, Ayah pasti dibunuh," ketakutannya menyemburkan doa-doa dari celah gedek agar orang itu tidak masuk ke bilik pawon.
"Hayoo cepaat geledaaah!!" Ayah berteriak kencang. "Kalau tidak Kau geledah.. Aku bunuh Kau sekarang!! Kau sudah menuduh aku!!" Ayah menyambar golok yang tertancap di meja kayu. Mengacungkan ke arah orang itu.
"Baik..baik..sekarang aku kalah. Tapi lain kali aku akan menangkapmu!!" sahut orang itu sembari mundur menjauhi Ayah. Dan hilang di balik pintu bambu.
Begitu orang itu lenyap, Ayah berteriak, "Hayoo cepaat keluarkan padi itu...segera tumbuuk..!"
Ibu tiri segera keluar dari persembunyian. Padi itu segera diproses. Ditumbuk terlebih dahulu menggunakan antan, alu. Bertahap ditumbuk dalam lesung, lumpang. Agar sekam terpisah dari beras.
Kemudian mengayak sekam dari butiran padi dengan digoyang-goyangkan dan ditampi sehingga sekamnya tertiup angin dan hilang. Baru setelah itu bisa ditanak menjadi nasi.
Drama kehidupan siang itu sungguh pekat. Sarat kandungan nilai. Sari pati dari kejiwaan sang Ayah diam-diam terserap larut ke nadi Tonnie. Suatu saat bekal hidup ini akan menemaninya menghadapi badai hidupnya sendiri. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H