"Pemilik padi ini akan segera datang. Ayah harus menyambutnya," ujar sang Ayah saat itu.
Semua anak-anaknya termasuk juga Ibu tiri Tonnie bersembunyi di dalam bilik pawon. Mengintip dari sela-sela cat kapur gedek yang rontok. Tentu dengan jantung yang berdetak keras dalam kelaparan yang menyayat.
Ayah kemudian duduk di halaman. Di kursi bambu. Beratap langit berpayung terik surya. Kaki kirinya menopang kaki kanan yang terangkat. Tangan kanannya memainkan golok panjang mengkilap itu. Sesekali diketuk-ketukan ke telapak tangan kiri. Tatapannya tajam tak berkedip menyorot ke arah pintu pagar bambu. Menanti sang empunya padi.
"Dug..dug...dug...dug..dug....," degup jantung Tonnie sudah menyentuh gendang telinga. Matanya panas berair mengintip dari celah gedek di balik bilik pawon. Rasa takut menyelimuti hatinya. Menyaksikan sang Ayah bertaruh nyawa, mencuri padi demi sesuap nasi.
Dan kemudian..
"Brraaakkkk...!!!"
Seseorang menendang pintu pagar bambu itu. Orang itu seperti sebaya dengan Ayah. Wajahnya begitu beringas. Matanya menyelidik. Di desa, orang itu terkenal sebagai tuan tanah. Sawahnya luas tak terhitung.
"Heeyyy....Kau... Pencuri..!!.. Mana padi itu? Mana padi yang kau curi itu?... Cepat kembalikaan!!" teriaknya sambil menunjuk kepada Ayah.
Ayah masih diam. Tenang. Memberi kesempatan orang itu menumpahkan amarahnya. Di desa hampir semua mengetahui, Ayah sering melakukan pencurian. Tetapi penduduk desa juga mengetahui kondisi keluarga Ayah. Dan Ayah pun tidak sembarangan mencuri. Tonnie sangat memahami jiwa Ayahnya itu.
Kemudian Ayah bangkit dari duduknya dan berkata, "Baik..baik.. Kau boleh menuduhku mencuri. Sekarang Kau lihat golok ini. Tidak perlu tuduh menuduh lagi...!! Sekarang antara hidup dan mati...!! Kau boleh geledah seluruh bilik...!! Kalau Kau temukan padi itu, Kau bunuh aku....!! Tapi kalau Kau tidak menemukan padi itu, Kau mati...!! Kau aku bunuh...!! Kau aku cincang dengan golok ini...!! Hayooo cepat geledaaahh....!!! Aku dan golok menunguu...!!!! Hayooo cepaat...!!"
Orang itu mendengus. Tangannya masih berkacak pinggang. Mulutnya komat kamit. Tak jelas suara yang terucap. Pandangan matanya menyapu ke seluruh penjuru. Sorotnya sempat berhenti pada arah pawon. Kakinya seperti terikat rantai. Hanya maju selangkah kemudian mundur lagi selangkah.