Pudjas lain lagi. Dia sangat ingin menjadi seorang tentara. Sering terpesona menyaksikan tentara baris berbaris. Tangsi, bekas markas tentara zaman Belanda, tepat berada di depan rumah. Tangsi itu sekarang sudah menjadi milik republik. Tangsi tersebut lumayan luas. Tidak kurang empat kali ukuran lapangan sepak bola. Gerbangnya megah. Mirip gerbang sebuah benteng. Dihiasi dengan dua buah meriam yang bercokol di sisi timur dan barat. Selalu saja ada penjaga yang bertugas mengawasi setiap ada yang masuk ke dalam tangsi.
Saat barisan tentara berparade mengelilingi tangsi, Pudjas paling bersemangat menyaksikan. Kakinya selalu mengikuti aba-aba. Turut dihentak-hentakkan. Dadanya membusung. Bedilnya ranting belimbing. Lagu-lagu perjuangan pun turut terdendang keras walau beberapa kalimatnya tiba-tiba hilang berganti gumaman kemudian berlanjut lagi. Maklum dia tidak hapal. Tetapi iramanya, lagunya jangan ditanya. Dia hapal luar kepala. Mulai lagu Maju Tak Gentar sampai Berkibarlah Benderaku ciptaan Ibu Saridjah Niung. Yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud.
Sementara Mustaman si sulung, kurang setahun lagi, bertekad melanjutkan ke SGA. Sekolah Guru Atas. Di kota Singaraja. Ibu kota provinsi nun jauh 80 kilometer arah utara tempat tinggalnya. Dia sangat ingin keluar dari kubangan kemiskinan dan kebodohan. Dia begitu jengah dengan kehidupan yang mereka hadapi bertiga. Terlebih sepeninggal sang ibu. Tanpa kasih sayang seorang ibu, dia harus membimbing adik-adiknya yang sedang runyam dan bertumbuh itu.
Beruntung semua saudara sepupu begitu menyayangi mereka. Kalau ada salah seorang sepupu yang mempunyai makanan lebih, selalu saja mereka diberi.
Secara umum, kehidupan keluarga besar mereka sangatlah minim. Hampir semua iwa-iwanya, kakak-kakak dari Ayahnya, selalu setiap saat mendoktrin agar terus giat belajar. Menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena hanya ilmu pengetahuanlah yang sanggup menolong mengangkat mereka dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.
Sang Ayah adalah seorang yang keras dan pemberani. Tegas namun hatinya halus. Hatinya peka terhadap kondisi sekitar. Ayahnya sering memberi bekal hidup tanpa mereka sadari. Hidup itu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan itu sendiri. Menyia-nyiakan waktu adalah contoh hidup yang tidak bertanggung jawab. Hal itu pernah dikatakan sang Ayah sepulangnya dari terminal dekat pasar. Selepas mengais rupiah sebagai kusir dokar.
Di kandang kuda, di pelataran gubuk Iwa Simon, mereka bertiga sering menunggu kedatangan sang Ayah. Saat-saat seperti itulah Ayah selalu mencurahkan ilmu kehidupan. Sambil mengusap kepala Pudjas, sang Ayah mencurahkan pitutur lelakon sebagai manusia. Pitutur yang membuat semangat mereka tahan membara.
Dan ada satu hal yang selalu mereka tunggu di kandang kuda itu. Tepukan dan usapan tangan sang Ayah yang selalu berisikan uang pecahan koin.
"Kau bagi rata ya..buat bekal sekolahmu..," ujar sang Ayah pada Mustaman pada suatu ketika. Kuda pun meringkik seperti turut senang menyaksikan.
Keras dan keberanian, juga pekanya sang Ayah terhadap tanggung jawab hidup berkeluarga, tergambar jelas di kepala Tonnie.
Pernah suatu ketika, beberapa tahun sebelumnya, sang Ayah mencuri dua ikat padi. Saat itu Ayah belum mempunyai dokar. Hanya bekerja sebagai buruh tani penggarap. Hidup serba kekurangan.
Padi curian disembunyikan dalam bilik pawon. Segera setelah itu, Ayah mengambil golok yang bilahnya memanjang. Mengasahnya hingga mengkilap di halaman rumah yang mirip gubuk itu.