Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merasa Asing: Sebuah Kisah Nyata

17 November 2020   03:52 Diperbarui: 17 November 2020   22:16 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.covesia.com

Dari tadi aku sangat curiga, penjual ronde itu seorang intel, dan pembelinya juga intel. Dari gerak-geriknya saja mudah kutebak. Celingukan kesana kemari mencari seseorang, dan bisa jadi akulah orangnya. Sebenarnya aku bisa saja lolos dari pengintaian ini, namun bayang-bayang Lilik seolah melemahkan niatku. Apakah aku harus lari ataukah menyerahkan diri? apalagi Lilik bersedia menerimaku apa adanya.

Malam itu aku berpikir keras, menimbang keinginan untuk lari ataukah menyerahkan diri. Pilihan getir bagiku. Jika lari sudah pasti aku akan berpindah-pindah tempat untuk bersembunyi. Itu artinya hanya sedikit waktu untuk bertemu Lilik. 

Tapi, jika menyerahkan diri, sudah barang tentu aku akan dipenjara. Lalu Lilik akan menjengukku di penjara seminggu sekali. Itu pun hanya beberapa menit. Berulang-ulang sampai setahun, dua tahun bahkan puluhan tahun lamanya.

"Sialan, gimana ini? lari, menyerah, lari, menyerah, lari...... asyem tenan" batinku terus mengumpat saat kepalaku pening memikirkan jalan terbaik.
"Tuhan, kenapa kau hadirkan Lilik di saat genting seperti ini? aku harus bagaimana Tuhan?" kali ini batinku mereka-reka ketegaran yang berserakan.
"Hahahaha, tolol benar aku ini, mana ada penjahat ingat Tuhan ha?" aku terkekeh lirih, mengolok diriku sendiri.

Sementara di luar kontrakan dua orang itu tak kunjung beranjak. Sudahlah, kedok kalian mudah kubaca. Mana ada pembeli minum ronde sampai berjam-jam? apa perutnya kuat menahan panas jahe?

"Ngaku aja intel, nggak usah nyamar-nyamar, nanti kecewa lo kalau aku lari duluan, hikhikhik" aku terkekeh lagi. Dari balik korden jendela ruang tamu kuamati kedua orang itu tetap celingukan. Rumah kontrakan ini sangat dekat dengan jalan kampung. Jadi aku sangat jelas melihat gerak-geriknya. Lagipula penjual ronde itu sering memegang telinganya, itu pasti alat komunikasi dengan rekan intel lainnya.

Aku mengendap-endap masuk kamar, supaya dua orang itu tak melihat bayanganku. Untunglah dari tadi lampu telah kumatikan, semuanya nampak gelap. Hanya nafas dan degup jantungku yang terdengar, selain itu hening.

"Lilik, aku bersumpah, demi kamu aku rela menjadi apapun. Kuharap kau mendo'akan aku, semoga apa yang kupilih ini adalah yang terbaik. Ya, aku harus melarikan diri" gumamku memantapkan hati.

Kusiapkan keperluan untuk melarikan diri. Tak lupa, kuselipkan sikep (jimat) pada ikat pinggang sesuai saran Ki Dukun. Seluruhnya telah siap. Baju hitam, celana hitam, dan sarung yang menutupi wajah. Sekarang.....waktunya melarikan diri.

"Jontor bibirmu kebanyakan minum jahe, rasain" pekikku lirih sebelum membuka perlahan pintu belakang.
-----*****-----
"Sudahlah Nduk, lelaki di dunia ini bukan hanya Parman saja, mbok ya kamu pikir, Kang Dul itu sebentar lagi jadi Carik di desa ini. Kang Sobirin punya pabrik tahu. Kang Rokim malah baru lulus sekolah polisi. Apa kurangnya mereka semua Nduk?" nasehat Pak Burhan kepada anak perempuan satu-satunya, Lilik.

"Cinta itu sulit Pak, Lilik nggak bisa menjelaskan mengapa kok membiarkan Kang Dul, Kang Sobirin, Kang Rokim dan siapapun yang sudah pernah melamar Lilik. Bagi Lilik Kang Parman sudah cukup menarik dibanding lainnya, bapak mbok ya hargai pilihan Lilik" timpal Lilik sambil sedikit sesenggukan.

"Alah yo wis mbuh, sak karepmu Nduk, lha wong sing nglakoni yo awakmu dewe, bapak mung sak dermo ngelengne, wong atase maling kok mbok gandoli (Ya sudahlah, terserah kamu, yang menjalani juga kamu sendiri, bapak hanya mengingatkan, seorang maling saja kok diharapkan)" Pak Burhan kehabisan kata-kata. Ia tinggalkan Lilik dan istrinya yang ikut sedih sambil mengelus-elus rambut Lilik.
-----*****-----
"Namamu siapa?" tanya suara berat di kegelapan.
"Yunus"

"Parman?"
"Bukan, Yunus, apa kau tuli?"

"Tapi suaramu mirip Parman"
"Suaramu malah mirip orang sekarat"

"Sialan, mana Parman?"
"Aku tak kenal Parman"

"Sandimu apa?"
"Marabunta mencari taman"

"Mertua mencari teman?"
"Kalau pakai headset yang bener"

"Ulangi, sandimu apa?"
"Marabunta mencari taman"

"Kamu penjual ronde ya?"
"Korek dikopi dimonitor"

"Posisi target?"
"Melarikan diri lewat pintu belakang"

"Kabari tim sate"
"Delapan enam"

Begitulah dua orang intel itu saling bertukar kabar. Saat itu tahun 1985 sedang menurun tensi penembakan misterius (petrus). Banyak residivis yang tiarap dengan operasi petrus. Termasuk Parman yang saat itu menjadi buron perampokan dan pembunuhan seorang pengusaha sukses di desa tetangga.

Perampok yang menganiaya apalagi sampai membunuh menjadi incaran operasi petrus. Namun berkat jimat sikep dari Ki Dukun, Parman selalu lolos. Intel yang mengintai selalu gagal menangkapnya.

Selain itu Parman selalu mengamati keadaan sekitar. Pada jaman itu jika ada seseorang yang menggunakan Handy Talki (HT) sudah pasti petugas keamanan. Entah dari polisi atau dari ABRI (sebutan TNI jaman dulu).

HT juga sering digunakan oleh intel dalam mengintai target DPO (Daftar Pencarian Orang). Selain menggunakan HT, seorang intel pada jaman itu juga dibekali dengan headset di telinga. Bentuk headset jaman dulu hanya seutas kabel kecil warna putih dengan speaker mini. Alat ini digunakan untuk mendengar pesan melalui alat komunikasi yang disiarkan dari markas. Oleh sebab itu Parman sangat mengenali orang yang menyamar atau intel hanya melalui seutas kabel putih yang terlihat menjuntai itu.

Dalam pelariannya keluar pulau. Parman selalu menghindari warung kopi yang diramaikan permainan kartu domino. Ia juga tak suka mendekati arena sabung ayam, lokalisasi WTS (sekarang disebut PSK) serta terminal maupun stasiun kereta api.

Parman memilih tinggal di makam seorang keramat. Ia lebih suka menyamar sebagai orang yang taubat. Karena dengan demikian juru kunci akan memperhatikan kebutuhannya. Di area pemakaman keramat yang sering diziarahi orang, Parman bertugas membersihkan toilet. Baginya lokasi ini sangat aman dan tidak terendus petugas keamanan atau intel. Tapi namanya kejahatan selalu meninggalkan jejak. Pelaku kejahatan selalu dikejar. Meskipun dia berlindung, pada akhirnya tertangkap juga.

Malam itu ada pejabat penting berziarah, semua lokasi harus steril. Banyak intel melakukan penyamaran. Parman mengira intel itu fokus pada pengamanan tempat. Tak tahunya salah satu intel mencium keberadaan Parman. Tertangkaplah Parman saat membersihkan toilet.

Ia dipenjara seumur hidup. Usianya masih 30 tahun, hendak menikahi Lilik gadis pujaannya, namun karena tak cukup biaya merampoklah ia pada seorang pengusaha kaya di desa sebelah. Ia dijebloskan pada sel yang dijaga ketat. Kota kecil dengan penjara pengap membuat hidupnya habis di dalam ruang isolasi itu.

Tahun 1986 Parman menjadi narapidana. Lilik gadis pujaannya menikah pada tahun 1989 dengan Kang Wiryo, seorang duda pengusaha kaya yang ditinggal mati istrinya. Istri kang Wiryo mati terbunuh oleh Parman saat peristiwa perampokan. 

Selama di dalam sel, Parman menganggap Lilik akan menjenguknya. Tapi, nihil. Parman malah ditusuk-tusuk sepi, dikurung kegelapan dan dilindas waktu yang beradu cepat dengan keriputnya.
-----*****-----
Tahun 2011, Parman mendapat keringanan hukuman. Ia akan segera dibebaskan karena perilakunya yang baik dan ditengarai menderita paru-paru basah. Pihak penjara mengurus surat keringanan hukuman. Selama menunggu pengurusan itu, Parman mulai dipindah ke penjara agak luas. Tidak lagi berdiam di dalam sel sempit dan gelap.

Tak ada yang diharapkan menjelang kebebasannya, selain masih berharap cinta untuk Lilik. Setahun berikutnya saat perayaan HUT Kemerdekaan RI, Parman dinyatakan bebas dan kembali ke masyarakat. Adiknya perempuan yang menjemput Parman dari penjara pulang ke rumah. Kedua orang tuanya sudah meninggal saat Parman menjalani masa hukuman. Saudara lainnya telah lama merantau.

Parman naik angkutan umum. Matanya tak lepas dari berbagai orang-orang disekitarnya. Meski usianya 56 tahun tapi sorot matanya masih tajam. Ada enam penumpang di dalam angkutan umum. Dua orang lelaki termasuk dirinya. Empat orang perempuan termasuk adiknya.

Seorang laki-laki berjaket sport dengan headset di telinganya terus diamati oleh Parman. Selama perjalanan laki-laki itu hanya asyik mendengarkan musik melalui headset tanpa mempedulikan sekelilingnya.

Parman berbisik pada adiknya, "Yun, hati-hati orang itu kelihatannya intel, aku tahu betul lagaknya, dia lagi menyamar."

"Hahahaha......., sok tahu, dia itu anak gang sebelah, tiap hari jualan HP, jadi ya seperti itu kebiasaannya" jelas Yuni kepada kakaknya yang mendadak menjadi asing dengan perubahan zaman.
"Jualan hape? tape maksudmu?"
"Hape Kang Parman, jualan Ha...Pe, yang dipakai di telinga itu namanya headset. Itu buat mendengarkan musik pakai Ha...Pe...bukan tape"
"Itu alatnya intel Yun, bukan untuk dengar musik"
"Ini tahun 2012 Kang, bukan tahun 1986."

Parman tetap tak percaya, ia meyakini meski bebas tapi terus diintai oleh intel. Ia pun membuang muka, nampak pemandangan selama perjalanan beberapa orang menggunakan headset. "Mungkin kota ini semakin tidak aman, dimana-mana intel berkeliaran menyamar" gumamnya dalam hati.

SINGOSARI, 17 November 2020

Waktu memiliki tanda, tanda memiliki kenangan, kenangan memiliki cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun