"Alah yo wis mbuh, sak karepmu Nduk, lha wong sing nglakoni yo awakmu dewe, bapak mung sak dermo ngelengne, wong atase maling kok mbok gandoli (Ya sudahlah, terserah kamu, yang menjalani juga kamu sendiri, bapak hanya mengingatkan, seorang maling saja kok diharapkan)" Pak Burhan kehabisan kata-kata. Ia tinggalkan Lilik dan istrinya yang ikut sedih sambil mengelus-elus rambut Lilik.
-----*****-----
"Namamu siapa?" tanya suara berat di kegelapan.
"Yunus"
"Parman?"
"Bukan, Yunus, apa kau tuli?"
"Tapi suaramu mirip Parman"
"Suaramu malah mirip orang sekarat"
"Sialan, mana Parman?"
"Aku tak kenal Parman"
"Sandimu apa?"
"Marabunta mencari taman"
"Mertua mencari teman?"
"Kalau pakai headset yang bener"
"Ulangi, sandimu apa?"
"Marabunta mencari taman"
"Kamu penjual ronde ya?"
"Korek dikopi dimonitor"
"Posisi target?"
"Melarikan diri lewat pintu belakang"
"Kabari tim sate"
"Delapan enam"
Begitulah dua orang intel itu saling bertukar kabar. Saat itu tahun 1985 sedang menurun tensi penembakan misterius (petrus). Banyak residivis yang tiarap dengan operasi petrus. Termasuk Parman yang saat itu menjadi buron perampokan dan pembunuhan seorang pengusaha sukses di desa tetangga.