"Anaaaaas!" teriak Pepep geram. Tuh bocah tingkat kegokilannya di atas rata-rata. Sebetulnya, sih, berkat berguru sama Pepep juga, tapi untuk saat itu Pepep lagi gak pingin bercanda.
"Oh Pepep sobatku, gerangan apakah yang membuat dikau menatap sendu, seolah-olah langit akan runtuh," Anan mendadak jadi penyair.
"Diem deh, Nas! Gue lagi mikir," ujar Pepep dengan pose inteleknya. Pepep duduk termangu, jarinya menempel di jidat. Persis intelektual. Tapi... dengan pose seperti itu, Pepep terlihat jauh lebih mengenaskan.
Pepep memandang Anan yang duduk di sebelahnya. Anan berusaha membuka minuman kaleng yang sedang ia pegang. "Adoooh, pake tumpah lagi, jadi lengket, deh!" teriak Anan panik. Anan buru-buru melepas seragam sekolahnya, hingga tersisa kaos singlet saja.Â
Ia mengangin-anginkan seragamnya. Untung saja kejadiannya di taman belakang sekolah, kalau tidak, tentu perbuatan Anan tergolong tindakan pencemaran udara, dan di sekolah mereka hukumannya berat!
Pepep memandang sekilas ke tubuh Anan. "Woi Nan, tuh ketiak apa karpet," celetuknya. "Hah, apa Pep?" tanya Anan balik.
"Itu, ketiak apa karpet, udah kayak hutan belantara aja!"
"Ini namanya lelaki sejati, brodah!" sahutnya enteng.
Glek, mendengar itu, Pepep merasa jadi lelaki tidak normal sedunia.
"Pake obat apa, lu!" tanya Pepep menyelidik.
"Enak aja! Untuk yang beginian gak perlu pake obat-obatan segala, alami aja brodah."