"Waluh kukusnya, Buk..."
"Kenapa waluh kukusnya, Nduk?"
"Ng-ngak habis... Lalu tadi Gendis jatuh di dekat parit, dan waluhnya jatuh ke mana-mana," jawabku dengan tangisan kecil.
"Tapi tadi di langgar ada yang makan waluh kukusnya?"
"Ada. Mas Adi, Mbak Kinan, Mbak Dini, dengan Risa, Buk... Seingatku..."
Ibu menghela napas pelan. "Oh, syukurlah ada yang makan... Ibu kira sama sekali nggak ada yang makan... Udah, Nduk, jangan nangis lagi, malu, tuh, dilihatin adik-adikmu."
Nugi dan Gala ternyata sedang berdiri di dekat pintu sambil melihatku dan Ibu dengan raut kebingungan. Setelah itu, mereka berdua berlari menghampiriku dengan tangisan mereka yang ikut pecah.
"Mbak Gendis kenapaaa...? Kok nangis? Ada yang jahatin Mbak di langgar, ya?"
Aku paksakan tersenyum dengan mata yang masih sembab, "Nggak apa-apa, Nugi... Tadi Mbak cuman jatuh..."
Gala, si bungsu keluarga kami, yang sedang melihat ember kosong bekas waluh itu tersenyum riang, "Waah! Waluh kukusnya habis semua, ya, Mbak? Hebat!!"