Keramaian sudah meliputi atmosfer di langgar. Semakin dekat jarak kami, semakin jelas pula suara orang-orang di sana. Ada yang tertawa, bersanda gurau, atau hanya sekadar mengobrol biasa. Sesampainya di sana, Ibu menaruh ember itu di atas langgar. Setelah itu, ia berpesan kepadaku.
"Wadahnya nanti dibawa pulang, ya, Dis. Enteng, kok... Gak ada isinya."
Aku berbohong apabila aku berkata Ibu tidak turut bersemangat saat itu. Terlihat dari raut wajahnya bahwa ia senang, bangga, dan percaya diri waluhnya akan habis dimakan oleh anak-anak di langgar. Begitu pula diriku. Sebab, siapa yang tidak menyukai waluh kukus? Empuk, manis, enak!
Aku dengan semangat menaruh ember berisi waluh di jajaran sumbangan makanan lain. Aku benar-benar menunggu orang-orang di sini akan menghabiskan waluh kukus buatan Ibuku yang lezatnya tiada tara.
Tetapi, ekspektasiku berbanding terbalik dengan realita. Aku menunggu cukup lama untuk memastikan apakah waluh-waluh kukus itu akan dimakan oleh teman-temanku. Namun, apa yang terjadi? Hanya satu-dua orang yang memakannya, padahal isinya satu ember penuh dan di langgar ada banyak orang.
Lalu, kuputuskan untuk memanggil Mbak Yati yang berada tidak jauh dariku. Aku menawarkan waluh itu kepadanya, "Mbak, nggak mau coba waluh kukus? Enak, lho, ini buatan Ibuku."
Mbak Yati, yang umurnya dua tahun di atasku, tertawa mengejek lalu memasang raut wajah jijik. Kalian tahu apa yang dia katakan? Mbak Yati berkata, "Hiiih, makanan apa ini? Masa bentuk kayak tahi begini dikasih ke orang?" dengan salah satu jarinya menyentuh-nyentuh waluh kukus itu.
Sontak aku naik pitam. Tanpa sadar, aku membentak perempuan bersurai panjang itu, "Mbak, kok gitu, sih, ngomongnya?! Aku cuman nawarin, lho. Kalau nggak suka, ya nggak usah dimakan!"
Bukannya menyesal dan minta maaf, Mbak Yati semakin tertawa remeh melihat responsku, kemudian dia berkata dengan suara kencang, "Lho, kok ngamuk? Aku, 'kan, cuman bilang. Hiih, Gendis ngamukan iih..."
Dengan suara sekencang itu, orang-orang di sekitar langgar otomatis mengalihkan perhatiannya kepadaku. Aku sangat malu, juga marah. Mbak Yati masih mengolok-olok dan menghasut teman-temanku kalau aku adalah orang yang pemarah dan mudah untuk terbawa perasaan.
Jika kalian bertanya bagaimana keadaan waluh kukusnya setelah kejadian itu? Jawabannya adalah: masih utuh satu ember, sampai sekitar jam 9 malam. Mau tidak mau harus aku bawa pulang kembali ke rumah. Dengan langkah gontai, aku membawa ember itu pulang. Lalu, aku mematung, tiba-tiba teringat Ibu yang ikut merawat dan menunggu dua bulan agar waluh itu matang demi bisa menyumbang makanan untuk dimakan bersama teman-teman. Ingat Ibu yang percaya diri kalau waluh kukusnya akan habis tak bersisa.