Mohon tunggu...
OKSAND
OKSAND Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Storytelling dan Editor

- Menulis 2 buku fiksi: novel Tuing! (2018), novelet CMYK (2021) - Menulis 2 buku nonfiksi: CBLK (2020), CBLK2 (2022) - Salah satu penulis dari 5 buku antologi: Tunas Cinta (2017), Baper Jangan? (2018), Lomba Menulis The Writers (2020), Kutunggu Jandamu (2021), Rempah Kita Nusantara (2022) - Editor 7 buku: Cinta 25+ (Antologi POF, 2019), Panggil Aku Mama (Tya Subiakto, 2020), Kutunggu Jandamu (Antologi The Writers, 2021), Anak Tak Bernama (Tya Subiakto, 2022), Rempah Kita Nusantara (Lily Setiadinata, 2022), Kisah di Balik Kesuksesan Hakuhodo (Budiman Hakim, 2022), Markas Cinta (Antologi The Writers, 2023)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Circle in Cell No. 7

6 Agustus 2023   09:51 Diperbarui: 6 Agustus 2023   09:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu saya berpikir lagi, apa kita sudah berusaha pansos untuk Tuhan kita ya? Apa kita sudah menguras keringat dan air mata untuk menjadi dekat dengan-Nya? Apa kita di-notice oleh-Nya?

Kita bagi-Nya hanyalah makhluk kecil dan lemah tidak berdaya. Apa kita punya makna bagi-Nya? Menyedihkan jika tidak, karena kita tinggal nama saja. Sama seperti nanti kalau kita meninggalkan dunia ini, manusia meninggalkan nama. Tapi apakah bermakna bagi manusia lainnya, dan bagi Sang Pencipta?

Jadi mikir.

Sudah sejauh ini perjalanan hidup, sepuluh tahun, dua puluh, tiga puluh, enam puluh tahun, apa iya kita sudah menciptakan makna atas nama kita, yang sudah dibuat kedua orang tua. Apa kita sudah menciptakan makna bagi Pencipta?

Menyebalkan ya? Kalau ternyata kita gak berarti, tidak bermakna apa-apa, untuk orang lain, keluarga, almamater, tempat kerja, dan Dia.

Jadi mikir lagi....

***

Tulisan ini gara-gara setelah nonton film Miracle in Cell No.7 versi Hanung Bramantyo, lalu di credit title ada nama Tya Subiakto sebagai pengaransemen beberapa musik di adegan film. Lalu saya menjadi bangga, kenal dengan nama yang ada di film itu. Tya Subiakto bagi saya adalah Brand karena punya arti, punya makna. Tapi apa iya sebaliknya?

Dalam dunia Brand yang diajarkan Pak Bi juga dikenal konsep laci seperti filing cabinet. Jika di otak kita ada laci mi instan misalnya, normalnya kita hanya bisa mengingat 7 merek. Yang kita sebut pertama kali adalah top of mind.

Maka, jika menjadi circle-nya, dan circle-Nya, apakah kita berhasil masuk ke dalam "laci" tersebut bersama enam nama lainnya?

Apakah kita menjadi top of mind?

Apakah kita sudah berarti?

Apakah kita punya makna?

Jadi mikir lagi....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun