Mohon tunggu...
OKSAND
OKSAND Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Storytelling dan Editor

- Menulis 2 buku fiksi: novel Tuing! (2018), novelet CMYK (2021) - Menulis 2 buku nonfiksi: CBLK (2020), CBLK2 (2022) - Salah satu penulis dari 5 buku antologi: Tunas Cinta (2017), Baper Jangan? (2018), Lomba Menulis The Writers (2020), Kutunggu Jandamu (2021), Rempah Kita Nusantara (2022) - Editor 7 buku: Cinta 25+ (Antologi POF, 2019), Panggil Aku Mama (Tya Subiakto, 2020), Kutunggu Jandamu (Antologi The Writers, 2021), Anak Tak Bernama (Tya Subiakto, 2022), Rempah Kita Nusantara (Lily Setiadinata, 2022), Kisah di Balik Kesuksesan Hakuhodo (Budiman Hakim, 2022), Markas Cinta (Antologi The Writers, 2023)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Circle in Cell No. 7

6 Agustus 2023   09:51 Diperbarui: 6 Agustus 2023   09:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernah gak merasa, bahwa kita suatu kali sibuk mengejar seseorang, supaya bisa dekat dengannya? Semua kita usahakan. Pansos, kata anak zaman sekarang. Panjat sosial katanya.

Biar kita menjadi satu circle dengan dia.

Sebenarnya tidak apa, karena ini bukan tentang benar salah.

Ada satu komentator terkenal, dia menawarkan dirinya dengan cara menelepon sang artis besar, atau kirim pesan Whatsapp, supaya di-notice Raffi Ahmad. Diperhatikan. Dan bisa masuk ke acaranya artis tersebut. Berhasil, setelah segala jerih payahnya. Masuk ke dalam circle sang artis.

Ada satu host podcast, segmennya "khusus" muslim. Awalnya para UMKM yang masuk ke acaranya, karena memang itu visinya, membantu para UMKM. Lalu kemudian mulai masuk artis-artis, entertainer, dengan pintu masuk wirausaha. Anggap saja UMKM dengan skala lebih besar. Merembet beberapa yang pernah masuk di jajaran pemerintahan, diwawancara juga di podcast itu. Akhirnya sang host merapat ke Close the Door, sebuah pencapaian, dan menjadi satu circle dengan Deddy Corbuzier.

Saya, ikutan workshop Bisa Bikin Brand, yang diadakan oleh Pak Bi (Subiakto Priosoedarsono). Ingin bisa bikin brand, personal brand, untuk -saat itu- bagaimana caranya promosikan novel Tuing!, novel pertama saya. Atau memosisikan diri sebagai penulis, satu-satunya penulis di alumni Bisa Bikin Brand. Saat itu. Value yang dibangun Pak Bi pun dengan workshop Bisa Bikin Brand salah satunya adalah terkoneksi dengan Pak Bi. Menjadi satu circle dengannya.

Dekat dengan Pak Bi, akhirnya kenal juga dengan anak-anaknya. Salah satunya Tya Subiakto, komposer yang terkenal, terutama sebagai film score. Banyak aransemen musik telah dibuatnya untuk film-film di Indonesia, terutama yang disutradarai Hanung Bramantyo. Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Habibie Ainun, Miracle in Cell No.7, dan banyak lagi lainnya. Bahkan saya akhirnya menjadi editor untuk dua novel pertamanya: Panggil Aku Mama dan Anak Tak Bernama.

Circle.

Apa artinya? Setelah masuk menjadi circle-nya, apa maknanya? Kita berarti apa untuknya? Dan dia berarti apa untuk kita?

Tentu kita ingin masuk ke circle dia karena ingin dekat, karena dia punya makna untuk kita. Makna juga berarti kepentingan. Apa pentingnya dia bagi kita sehingga kita ingin masuk ke dalam top of mind-nya?

Dalam keseharian pun sama. Kita di sekolahan, di tempat kuliah, dunia kerja, ada kerabat, rekan, kelompok, yang kita ingin menjadi bagian di dalamnya. Entah apa pun itu, punya makna bagi kita. Tapi sebaliknya, apa kita punya makna bagi mereka? Karena jika kita tidak bermakna bagi mereka itu, kita hanyalah sebuah nama, tanpa makna. Nama tanpa makna, adalah merek. Nama dengan makna, adalah Brand. Begitu ajaran Pak Bi.

Lalu saya berpikir lagi, apa kita sudah berusaha pansos untuk Tuhan kita ya? Apa kita sudah menguras keringat dan air mata untuk menjadi dekat dengan-Nya? Apa kita di-notice oleh-Nya?

Kita bagi-Nya hanyalah makhluk kecil dan lemah tidak berdaya. Apa kita punya makna bagi-Nya? Menyedihkan jika tidak, karena kita tinggal nama saja. Sama seperti nanti kalau kita meninggalkan dunia ini, manusia meninggalkan nama. Tapi apakah bermakna bagi manusia lainnya, dan bagi Sang Pencipta?

Jadi mikir.

Sudah sejauh ini perjalanan hidup, sepuluh tahun, dua puluh, tiga puluh, enam puluh tahun, apa iya kita sudah menciptakan makna atas nama kita, yang sudah dibuat kedua orang tua. Apa kita sudah menciptakan makna bagi Pencipta?

Menyebalkan ya? Kalau ternyata kita gak berarti, tidak bermakna apa-apa, untuk orang lain, keluarga, almamater, tempat kerja, dan Dia.

Jadi mikir lagi....

***

Tulisan ini gara-gara setelah nonton film Miracle in Cell No.7 versi Hanung Bramantyo, lalu di credit title ada nama Tya Subiakto sebagai pengaransemen beberapa musik di adegan film. Lalu saya menjadi bangga, kenal dengan nama yang ada di film itu. Tya Subiakto bagi saya adalah Brand karena punya arti, punya makna. Tapi apa iya sebaliknya?

Dalam dunia Brand yang diajarkan Pak Bi juga dikenal konsep laci seperti filing cabinet. Jika di otak kita ada laci mi instan misalnya, normalnya kita hanya bisa mengingat 7 merek. Yang kita sebut pertama kali adalah top of mind.

Maka, jika menjadi circle-nya, dan circle-Nya, apakah kita berhasil masuk ke dalam "laci" tersebut bersama enam nama lainnya?

Apakah kita menjadi top of mind?

Apakah kita sudah berarti?

Apakah kita punya makna?

Jadi mikir lagi....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun