Lalu saya berpikir lagi, apa kita sudah berusaha pansos untuk Tuhan kita ya? Apa kita sudah menguras keringat dan air mata untuk menjadi dekat dengan-Nya? Apa kita di-notice oleh-Nya?
Kita bagi-Nya hanyalah makhluk kecil dan lemah tidak berdaya. Apa kita punya makna bagi-Nya? Menyedihkan jika tidak, karena kita tinggal nama saja. Sama seperti nanti kalau kita meninggalkan dunia ini, manusia meninggalkan nama. Tapi apakah bermakna bagi manusia lainnya, dan bagi Sang Pencipta?
Jadi mikir.
Sudah sejauh ini perjalanan hidup, sepuluh tahun, dua puluh, tiga puluh, enam puluh tahun, apa iya kita sudah menciptakan makna atas nama kita, yang sudah dibuat kedua orang tua. Apa kita sudah menciptakan makna bagi Pencipta?
Menyebalkan ya? Kalau ternyata kita gak berarti, tidak bermakna apa-apa, untuk orang lain, keluarga, almamater, tempat kerja, dan Dia.
Jadi mikir lagi....
***
Tulisan ini gara-gara setelah nonton film Miracle in Cell No.7 versi Hanung Bramantyo, lalu di credit title ada nama Tya Subiakto sebagai pengaransemen beberapa musik di adegan film. Lalu saya menjadi bangga, kenal dengan nama yang ada di film itu. Tya Subiakto bagi saya adalah Brand karena punya arti, punya makna. Tapi apa iya sebaliknya?
Dalam dunia Brand yang diajarkan Pak Bi juga dikenal konsep laci seperti filing cabinet. Jika di otak kita ada laci mi instan misalnya, normalnya kita hanya bisa mengingat 7 merek. Yang kita sebut pertama kali adalah top of mind.
Maka, jika menjadi circle-nya, dan circle-Nya, apakah kita berhasil masuk ke dalam "laci" tersebut bersama enam nama lainnya?
Apakah kita menjadi top of mind?