Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Inilah Alasan Mengapa Perubahan Mindset Lebih Penting daripada Sekolah Jam 5 pagi

8 Maret 2023   07:17 Diperbarui: 9 Maret 2023   05:52 1468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa SMA (KOMPAS/A HANDOKO)

Segala hal yang kita lakukan bisa berhasil dan tidaknya tergantung dari pola pikir atau mindset kita.

Mindset sendiri merupakan sekumpulan kepercayaan atau pemikiran yang membentuk kita untuk melihat dunia dan diri sendiri.

Sesederhana itu yang bisa kita pahami tentang apa itu mindset. Tapi justru mindset inilah yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia pendidikan, perubahan mindset inilah yang dibutuhkan untuk memperbaiki ekosistem pendidikan kita.

NTT boleh berbangga karena memiliki orang-orang hebat yang telah mengharumkan provinsi dan bangsa ini lewat prestasi-prestasi mereka seperti Nono, si bocah ajaib yang sangat jago matematika terutama soal berhitung dan telah menjadi juara dunia.

Tetapi itu adalah capaian individu yang tidak dapat dipakai menjadi alat ukur keberhasilan dunia pendidikannya. Karena itu perubahan kurikulum 2013 atau yang biasa disebut K13 menjadi kurikulum merdeka patut diapresiasi.

Kurikulum merdeka membawa satu perubahan mindset dimana pendidikan seluruhnya harus berpusat pada siswa. Suatu perubahan yang berbanding terbalik dengan yang selama ini dipraktekkan.

Apabila sebelumnya semua materi bersumber pada guru, maka dalam kurikulum merdeka, guru hanya menjadi semacam fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan sendiri apa yang menjadi topik pembelajaran.

Mindset atau pola pikir telah berubah. Bila dulunya siswa hanya datang ke sekolah, masuk di dalam kelas, duduk, mendengar, mencatat lalu pulang ke rumah dengan membawa seabrek tugas sekolah sebagai pekerjaan rumah, maka melalui kurikulum merdeka semua itu berubah.

Kurikulum merdeka mencoba untuk mengambil satu langkah di depan dengan memerdekakan siswa dan menjadikan mereka sebagai pusat semua aktivitas di dalam kelas.

Masalahnya sekarang adalah soal aplikasi di lapangan. Ternyata kurikulum merdeka belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab belum adanya pemahaman yang utuh tentang kurilulum ini.

Bahkan ada guru yang mengatakan bahwa semua kurikulum sama saja yang penting adalah mengajar dan siswa mengerti. Ini bahaya. Sebab kurikulum sudah berubah tapi mindset kita masih tetap dan tidak ikut berubah.

Ilustrasi anak belajar di kelas. Sumber gambar: gramedia.com
Ilustrasi anak belajar di kelas. Sumber gambar: gramedia.com

Esensi kurikulum merdeka sendiri belum dipahami sehingga kurikulumnya kurikulum merdeka tetapi metode mengajar masih menggunakan gaya K13 atau kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Alih-alih menerapkan kurikulum merdeka, pemerintah provinsi NTT menetapkan kebijakan baru baru sekolah jam 5 pagi. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi NTT, Linus Lusi katanya untuk mendongkrak prestasi siswa.

Saat ini sudah memasuki pekan kedua, beberapa sekolah di Kupang menerapkan sekolah jam 05.30 pagi. Namun senyatanya, berbagai pendapat pro dan kontra masih terus berseliweran baik datang dari masyarakat maupun para pengampuh pendidikan.

Pendapat pro dan kontra itu datang dari berbagai pihak antara lain, dari para anggota legislatif baik di daerah maupun nasional, dari berbagai perhimpunan guru dan juga datang dari Kementerian Pendidikan sendiri.

Alasan Gubernur NTT memberlakuan sekolah jam 5 pagi yang kemudian direvisi menjadi jam 05.30 WITA adalah untuk membentuk kedisiplinan dan meningkatkan etos kerja. Sayangnya kebijakan ini tidak lahir dari satu kajian akademis yang sahih.

Mari lihat sebuah studi yang dikutip dari Straighter Line oleh Kompas. Hasil studi itu menyimpulkan bahwa otak manusia baru dapat menerima materi baru dalam dua sesi waktu  yaitu jam 10.00-14.00 dan 16.00-22.00. Waktu terburuk untuk belajar adalah pukul 16.00 sampai pukul 19.00.

Hasil studi ini jelas sangat bertentangan dengan kebijakan Gubernur provinsi NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) tentang sekolah jam 5 pagi.

Terlepas dari semua pro dan kontra tersebut, sesungguhnya sekolah terlalu pagi ataupun sekolah lebih siang tidak memiliki dampak bagi majunya pendidikan di sebuah daerah atau di sebuah negara.

Hal mendasar yang paling berperan dalam dunia pendidikan adalah perubahan pola pikir atau mindset tentang pendidikan. Perubahan inilah yang akan membawa pendidikan kita bisa maju. Jika mindset kita tentang pendidikan masih sama dari dulu hingga sekarang, maka harapan akan majunya pendidikan kita hanyalah isapan jempol belaka.

Pertanyaannya, apakah selama ini kita telah memiliki cara pandang atau mindset yang benar tentang pendidikan?

Jepang misalnya, setelah diluluhlantahkan oleh bom atom mampu bangkit kembali menjadi negara maju karena memiliki mindset yang benar tentang pendidikan.

Jepang sangat menghargai guru. Guru dijamin sungguh-sungguh oleh negara sehingga mereka benar-benar membaktikan diri dan hanya fokus pada pendidikan.

Kita di Indonesia, guru dianggap sebelah mata. Gaji yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan mereka. Karena itu guru tidak berkonsentrasi untuk mengajar karena harus memikirkan cara lain atau usaha lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.

Pertanyaan lainnya, bagaimana kita melihat pendidikan kita? Sudahkah kita melihatnya sebagai sesuatu yang penting?

Keseriusan kita dalam menata dunia pendidikan belum terlihat dan ini bisa dilihat dari sarana prasarana yang belum merata di semua sekolah. Padahal untuk bisa mencapai level pendidikan yang baik semua sarana prasarana harus disiapkan.

Semua aspek harus ditata. Guru yang profesional, sarana prasarana yang menunjang, kurikulum yang baik, dan tujuan pendidikan itu untuk apa.

Mengapa semua hal itu diperlukan? Sebab itulah syaratnya bila kita mau pendidikan kita menjadi baik.

Lalu mengapa masuk sekolah jam 5 pagi harus ditolak?

Mari kita membuat perbandingan. Banyak negara di Eropa semisal Finlandia yang jam masuk sekolahnya lebih siang yaitu jam 9.00 atau 09.45 waktu setempat, tetapi memiliki pendidikan yang nomor satu di dunia.

Mereka memiliki jam sekolah paling sedikit di dunia tetapi pendidikan mereka sangat maju. Bagi negara ini, jam belajar di sekolah yang lebih pagi sangat berdampak buruk terhadap kesehatan, kebahagiaan, dan tingkat kematangan siswa.

Waktu masuk sekolah Finlandia berbanding terbalik dengan negara-negara Asia Timur yang sangat ketat soal belajar.

Anak-anak di Korea misalnya, diwajibkan belajar dari pagi sampai malam oleh pemerintah, itu tidak jauh beda dengan anak-anak di Indonesia yang kadang-kadang juga sampai sore. Tetapi jam belajar di Korea dimulai pada pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore.

Meski waktu masuk sekolahnya hampir sama dengan Indonesia, tapi kenyataannya, pemerintah Korea lebih berhasil dibandingkan dengan Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa waktu belajar tidak memiliki korelasi dengan peningkatan mutu pendidikan di sebuah negara.

Barangkali kesadaran akan pentingnya belajar anak-anak Korea lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak kita sehingga mutu pendidikan kita bisa jauh tertinggal dari mereka.

Kita tidak berharap bisa mengikuti model pendidikan ala Finlandia maupun Korea. Tetapi setidaknya kita belajar dari mereka tentang bagaimana menata dunia pendidikan kita.

Di sinilah, perubahan mindset terhadap pendidikan diperlukan. Selama ini, sadar atau tidak, banyak dari kita tidak terlalu menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting.

Pendidikan hanya diukur dari ijazah. Padahal itu hanyalah satu bagian kecil dari seluruh proses pendidikan dari seorang peserta didik.

Pendidikan itu sebenarnya merupakan sarana pengubah. Sebab di dalamnya orang mempelajari banyak hal yang memampukan setiap peserta didik untuk bisa berpikir sendiri dan menjadi kreatif dan inovatif.

Sekarang mari melihat berbagai masalah yang melilit pendidikan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Masalah pendidikan di NTT sangat kompleks. Mulai dari indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT yang sangat rendah ditambah dengan berbagai infrastruktur yang rusak dan tidak layak pakai turut menyumbang bagi rendahnya kualitas pendidikan NTT.

Data yang dihimpun Kemendikbudristek menyebutkan ada 66 persen SD yang belum terakreditasi dan berakreditasi C, 61 persen SMP belum berakreditasi C, dan 56 persen SMK belum dan berakreditasi C.

Hal-hal seperti inilah yang harus dibenahi sehingga rapor merah pendidikan NTT bisa diperbaiki.

Mengapa semua itu tidak dibenahi dengan anggaran pendidikan yang menurut VBL katanya hampir mencapai 50 persen?

Kita tidak membutuhkan 1 atau 2 sekolah unggulan. Kita membutuhkan pemerataan untuk semua sekolah.

Ketika mulai ada persaingan, maka sekolah-sekolah unggul itu akan menjadi egois dan merasa diri paling baik. Kemudian memandang sebelah mata sekolah-sekolah lain.

Ketika ada sekolah unggulan dan non unggulan maka lahirlah sebuah persaingan tidak sehat antar sekolah.

Sedangkan yang kita harapkan adalah pemerataan pendidikan di semua sekolah. Semua anak atau peserta didik itu adalah unggul, bukan hanya mereka yang sekolah di sekolah unggul.

Persaingan ini sebenarnya akan mengerdilkan nilai pendidikan. Yang seharusnya terjadi, sekolah yang unggul harus memberi support kepada sekolah yang tidak unggul agar sama-sama menjadi lebih baik.

Fakta menunjukkan yang sebaliknya. Persaingan antar sekolah telah menjadikan sekolah yang unggul semakin unggul sedangkan yang tidak unggul dibuat semakin tidak unggul.

Untuk itu, mindset tentang sekolah unggul dan non unggulan harus diubah.

Masalah yang lain adalah soal sistem pengupahan guru honorer. Ribuan guru honorer di NTT menerima upah jauh di bawah UMK/UMP yang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 750 ribu per bulan.

Bagaimana guru-guru bisa mengajar dengan baik apabila perut kelaparan? Ini sudah pasti mustahil.

Ada lagi masalah stunting yang terus menghantui provinsi ini (NTT). Data Kemenkes 2021 menunjukkan bahwa prevelensi stunting tertinggi secara nasional ada di NTT yaitu sebesar 37,8 persen.

Banyak pihak telah meminta agar kebijakan ini perlu dikaji ulang tetapi VBL tetap pada pendiriannya. Kebijakan ini menurutnya harus tetap jalan dan tidak bisa mundur lagi.

Kurikulum merdeka telah memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai minat bakat mereka. Kurikulum ini sesunggunya telah memerdekakan siswa dari stres dan depresi.

Tetapi sekolah jam 5.30 telah menghilangkan kemerdekaan itu. Kebijakan ini membuat siswa menjadi lebih stres karena harus bangun lebih pagi. Belum lagi harus menyewa kenderaan untuk mereka yang jauh karena jam-jam seperti itu kenderaan umum belum beroperasi.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kurang tidur menyebabkan berbagai kerugian bagi siswa mulai dari kesehatan mental dan fisik yang buruk, masalah perilaku, hingga nilai akademik yang lebih rendah.

Penelitian tersebut membuktikan bahwa menunda sekolah yang lebih siang umumnya lebih meningkatkan jumlah kehadiran. Lebih sedikit anak yang terlambat, lebih sedikit pelajar yang tertidur di kelas, nilai lebih baik, dan lebih sedikit kecelakaan di perjalanan.

Di samping itu, pemerintah perlu berpikir untuk mencetak guru-guru profesional lewat proses yang kredibel. Pemerintah pun harus fokus memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan di seluruh pelosok negeri.

Pendidikan kita tidak akan maju bila ada sekolah yang sarana prasarananya lengkap dan di tempat lain sarana prasarana sangat minim bahkan ada yang tidak layak.

Semua inventaris masalah di ataslah yang menyebabkan kualitas pendidikan di NTT selalu terbelakang, bukan soal waktu masuk sekolah.

Kekurangan sarana dan prasarana menyebabkan para peserta didik tidak bisa belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya.

Selain itu, ketidakefektifan pendidikan kita karena kita tidak memiliki tujuan yang jelas ke mana arah pendidikan kita ini bermuara.

Itulah mengapa kebijakan sekolah lebih pagi ini perlu dikaji ulang. Mari mengubah mindset kita tentang pendidikan menuju ke jalurnya yang benar.

Semua komponen bangsa harus mengarahkan pikiran dan energi fokus kepada pendidikan yang bisa menghasilkan insan-insan Indonesia yang memiliki daya cipta dan kreativitas serta inovatif.

Untuk apa kita mengenyam pendidikan dan muaranya ke mana sudah harus ditanamkan kepada anak didik sejak dari dalam keluarga hingga ke bangku pendidikan.

Hanya dengan perubahan mindset atau cara kita memandang pendidikan yang benar, kita mampu untuk menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun