Dia membunuh Yosua karena amarah, dendam, dan benci. Dan biasanya ketika sudah dikuasai oleh hal-hal itu, pikiran waras orang akan hilang. Demikianlah Sambo. Apakah kita juga demikian.
Dengan menulis pendapat ini bukan berarti saya tidak berempati dengan keluarga Yosua. Empati dan belasungkawa setinggi-tingginya disampaikan kepada keluarga Yosua.
Ferdi Sambo bersalah dan itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi bukankah kita masih waras? Apakah pembunuhan harus dibalas pembunuhan?
Jika benar demikian, maka posisi kita sebagai makluk berakal budi patut dipertanyakan. Saling membunuh itu adalah hukum rimba bukan hukum dari manusia yang berakal budi.
Manusia, siapa pun dia tidak mempunyai hak memutuskan seseorang untuk mati.Â
Apabila kita semua bersorak atas pidana mati yang dijatuhkan kepada Sambo, apa lebihnya kita dari Ferdi Sambo. Bukankah kita menjadi sama dengan Sambo, sama-sama adalah pembunuh.
Bahkan apa yang kita lakukan mungkin lebih kejam dari pada Ferdi Sambo karena bukan saja melakukan pembunuhan berencana.
Tetapi yang kita lakukan berdasarkan pada kewarasan yang paling waras, dengan pertimbangan yang sangat matang, terukur, terstruktur dalam keputusan hakim.
Hak untuk memutuskan seseorang mati atau tidak adalah hak Dia yang memberi kehidupan. Maka sudah sepatutnya jika hukuman maksimal untuk Ferdi Sambo adalah hukuman seumur hidup.
Biarkan dalam perjalanan waktu, ia bisa memperbaiki diri dan menemukan apa yang baik pada dirinya setelah melalui permenungan dan refleksi yang mendalam.
Dia akan memiliki kesempatan untuk menyesal dan kembali ke jalan yang benar. Setidaknya Ferdi Sambo memiliki kesempatan itu.