Hukuman mati di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan tetapi di sisi lain merupakan pelanggaran HAM.
Tentu kita bersepakat bahwa para pelaku kejahatan mesti dihukum seberat-beratnya. Namun kita juga tidak mempunyai hak untuk mencabut nyawa orang atas nama hukum.
Karena itu, marilah kita mempersoalkan hukuman mati atau pidana mati yang masih termuat dalam KUHP kita.
Banyak pihak begitu puas dan bersorak gembira tatkala Sambo dijatuhi vonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana Josua Hutabarat.
Semua orang puas sebab apa yang menjadi tuntutan keluarga dan masyarakat umum agar Sambo dihukum dengan hukuman maksimal terjawab sudah.
Hukuman itu sudah memenuhi ekspektasi umum atau khalayak ramai. Hukuman mati menurut khalayak ramai adalah hukuman yang setimpal dengan perbuatan Ferdi Sambo.
Selain melakukan pembunuhan berencana kepada ajudannya sendiri, mantan Kadiv Propam Polri itu juga didakwa telah mencoreng institusi Polri yang telah membesarkan namanya tersebut dan menyebabkan beberapa perwira dan bawahannya ikut terjebak di dalam pusaran kasusnya.
Hukuman ini ternyata lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) beberapa waktu lalu.
Namun pertanyaan yang patut dilayangkan kepada khalayak, apakah masih pantas menghukum orang dengan hukuman mati?
Bukankah dengan bergembira dan bereuforia atas hukuman mati terhadap Sambo, kita secara tidak sadar telah menempatkan diri sejajar dengan Sambo, yaitu sebagai pembunuh?
Mungkin logika kita mengatakan, hukuman mati itu adalah putusan pengadilan, bukan termasuk dalam pembunuhan karena memiliki dasar hukum. Benarkah demikian?
Mari kita lihat defenisi kata membunuh dalam KBBI online. Membunuh adalah menghilangkan nyawa, dalam hal ini mencabut dan menghabisi nyawa atau mematikan. Dan membunuh bisa dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa (orang) baik sengaja maupun tidak sengaja.
Coba bandingkan dengan defenisi dari hukuman mati. Hukuman mati adalah tindakan membunuh yang disengaja terhadap pelaku kejahatan. Hukuman mati adalah pembunuhan karena termasuk menghilangkan nyawa orang.
Dalam sejarahnya, hukuman mati sendiri merupakan hukum kuno yang sudah diprkatekan sejak abad ke-18 sebelum masehi di Babilonia. Hukum ini termuat dalam kitab hukum Hamurabi.
Produk hukum ini dipakai oleh raja-raja kuno untuk memberikan hukuman kepada rakyat jelata dan juga kepada para pembangkang dan pembelot.
Di Indonesia, pidana mati atau hukuman mati merupakan produk hukum warisan penjajah Hindia Belanda.
Dalam bahasa Belanda, pidana mati atau hukuman mati disebut doodstraf yang didefenisikan sebagai sebuah praktek yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan.
Hukuman atau sanksi ini dilakukan berdasarkan suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sanksi pidana ini telah dimulai sejak Gubernur jenderal Hindia Belanda, Hendry Wilem Deandels pada tahun 1808. Praktek hukuman mati ini diberikan kepada warga pribumi yang tidak menuruti perintah sang gubernur.
Hukuman mati sangat khas karena bersifat final. Sekali dijatuhkan tidak dapat lagi diperbaiki meski terjadi kekeliruan terhadap terpidana.
Selain itu, hukuman mati juga akan menutup kemungkinan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya di masa yang akan datang.
Dalam perkembangannya di dunia modern, terutama dengan adanya deklarasi hak asasi manusia atau Declaration of Human Right (DUHAM), hukaman mati mendapat tantangan yang begitu keras.
Saat ini, bahkan hampir di semua negara Eropa telah menghapus hukuman mati dari kitab hukum mereka. Negara yang paling getol melarang hukuman mati salah satunya adalah Jerman.
Di Indonesia sendiri, hukuman mati dalam KUHP yang baru masih menuai pro dan kontra meski sudah dekeluarkan dari pidana pokok dan hanya menjadi pidana alternatif (eksepsional).
Alasan-alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas telah membuat banyak orang dengan tegas menolak hukuman mati.
Sekarang kembali kepada kasus Sambo. Penting untuk dicermati hukuman mati yang dijatuhkan kepada Sambo.
Memang putusan yang dijatuhkan hakim kepada Sambo berdasarkan fakta-fakta hukum yang memberatkan terpidana dan tidak ada satu pun fakta hukum yang meringankan terdakwa.
Kita sepakat bahwa Ferdi Sambo telah melakukan kejahatan  yang besar yaitu pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat.
Tetapi hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak harus hukuman mati bukan. Apalagi kita bersorak dan bergembira untuk putusan itu.
Bukankah hakekat hukuman itu adalah memberikan penyadaran untuk pelaku. Jika pelakunya dihukum mati, artinya si terpidana tidak lagi mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya lagi.
Esensi dari pidana mati atau hukuman mati adalah mencabut hak hidup orang lain. Sementara hak hidup itu adalah hak yang paling asasi dari setiap orang.
Lebih jauh, biarkan Ferdi Sambo sendiri bersama dengan mereka semua yang merencanakan pembunuhan yang menjadi pembunuh. Kita tidak harus ikut-ikutan menjadi pembunuh bersama para hakim yang memutuskan pidana mati untuknya.
Dia membunuh Yosua karena amarah, dendam, dan benci. Dan biasanya ketika sudah dikuasai oleh hal-hal itu, pikiran waras orang akan hilang. Demikianlah Sambo. Apakah kita juga demikian.
Dengan menulis pendapat ini bukan berarti saya tidak berempati dengan keluarga Yosua. Empati dan belasungkawa setinggi-tingginya disampaikan kepada keluarga Yosua.
Ferdi Sambo bersalah dan itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi bukankah kita masih waras? Apakah pembunuhan harus dibalas pembunuhan?
Jika benar demikian, maka posisi kita sebagai makluk berakal budi patut dipertanyakan. Saling membunuh itu adalah hukum rimba bukan hukum dari manusia yang berakal budi.
Manusia, siapa pun dia tidak mempunyai hak memutuskan seseorang untuk mati.Â
Apabila kita semua bersorak atas pidana mati yang dijatuhkan kepada Sambo, apa lebihnya kita dari Ferdi Sambo. Bukankah kita menjadi sama dengan Sambo, sama-sama adalah pembunuh.
Bahkan apa yang kita lakukan mungkin lebih kejam dari pada Ferdi Sambo karena bukan saja melakukan pembunuhan berencana.
Tetapi yang kita lakukan berdasarkan pada kewarasan yang paling waras, dengan pertimbangan yang sangat matang, terukur, terstruktur dalam keputusan hakim.
Hak untuk memutuskan seseorang mati atau tidak adalah hak Dia yang memberi kehidupan. Maka sudah sepatutnya jika hukuman maksimal untuk Ferdi Sambo adalah hukuman seumur hidup.
Biarkan dalam perjalanan waktu, ia bisa memperbaiki diri dan menemukan apa yang baik pada dirinya setelah melalui permenungan dan refleksi yang mendalam.
Dia akan memiliki kesempatan untuk menyesal dan kembali ke jalan yang benar. Setidaknya Ferdi Sambo memiliki kesempatan itu.
Sebenci-bencinya kita kepada Ferdi Sambo, tetapi dengan bersorak atas hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya, kita sebenarnya telah menyejajarkan diri dengan dirinya.
Kita tahu, hukuman mati merupakan jenis pidana terberat dibanding dengan pidana lainnya karena dengan pidana mati, kita merenggut jiwa manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Hukuman mati adalah hukuman keji karena melanggar hak hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi manusia atau Universal Declaration of Human Right (DUHAM).
Sementara HAM adalah hak yang melekat secara alamiah/inheren pada diri manusia sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh.
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi.
Memantaskan hukuman mati untuk Sambo menjadikan kita tidak lebih baik dari pada Sambo. Justru kita menjadi sama seperti dirinya yang tega menghabisi nyawa orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H