Untuk itu, pekerja rumah tangga harus dilihat sebagai sebagai yang sebaliknya. Pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pekerjaan yang layak sama seperti pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih prestisius.Â
Mesti ada payung hukum yang pasti, sehingga mereka mendapatkan perlindungan akan hak-hak mereka.
Pola PRT sebagai budaya atau kultur dan kekeluargaan sangat merugikan PRT sendiri.Â
PRT tidak memiliki pegangan yang pasti baik itu soal sistem upah maupun perlindungan-perlindungan yang harus mereka dapatkan.Â
Pola kultural dan kekeluargaan menyebabkan majikan memberikan upah kepada PRT-nya hanya berdasarkan rasa kekeluargaan ataupun belas kasihan.
Sebagai perbadingan, di luar negeri baik itu di Hongkong, Macao, Singapura, maupun Brunai Darusalam, upah para PRT kita yang bekerja di sana sangat layak, bahkan ada yang mengaku upah mereka lebih tinggi beberapa kali lipat dari gaji para ASN di tanah air.
Sementara para PRT domestik tidak memiliki sistem pengupahan yang jelas, tapi mereka tidak pernah mengeluh ataupun mengadu. Sebab memang tidak aturan hukum yang melindungi dan mengatur hak PRT selain budaya atau kultur dan sistem kekeluargaan yang dibangun antara PRT dan majikannya.
Padahal PRT tidak memiliki batasan jam kerja. Hampir semua pekerjaan majikan di rumah dikerjakan oleh PRT. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan sebagainya. Sedangkan mekanisme pengupahan tidak jelas dan tidak ada perlindungan terhadap jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Ada degradasi nilai kerja manusia pada PRT. Nilai kerja yang seharusnya menempatkan manusia pada levelnya, tidak mempunyai arti sama sekali di dalam pekerja rumah tangga.
Seharusnya di dalam pekerjaannya manusia mengekepresikan dirinya sebagai homo faber tapi kenyataannya pada PRT justru ada degradasi kemanusiannya sebagai homo faber.