patronase dan klientelisme pada pilkades serentak memang tidak ada habisnya. Bahaya ini sangat jelas terpampang di depan mata kita.Â
Diskursus tentangLalu, apa itu patronase dan klientelisme dalam politik?Â
Dalam ilmu politik, patronase didefenisikan sebagai pemberian uang tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih yang berasal dari pribadi kandidat, yang didistribusikan dengan mekanisme tertentu kepada pemilih.Â
Sedangkan klientelisme adalah kriteria distributif dukungan pemilihan yang membedakan antara sifat klien dari strategi politik yang berorientasi material berupa proyek, pemberian barang, dan donatur yayasan kepada komunitas pemilih.Â
Praktek-praktek berpola patronase dan klientelisme dalam Pilkades sungguh nyata. Setidaknya itulah pengamatan saya dari Pilkades serentak di Kabupaten Malaka.Â
Pemilihan langsung kepala desa (Pilkades) serentak meninggalkan friksi di tengah masyarakat. Mereka terpecah-pecah Ini adalah dampak negatif ikutan yang sadar tidak sadar terbawa dari pesta demokrasi kasta terendah di Republik ini.Â
Pola patronase dan klientelisme dalam Pilkades serentak telah menimbulkan friksi di dalam masyarakat desa. Pesta demokrasi kasta terendah ini telah menyebabkan perpecahan di antara warga.Â
Perpecahan itu terjadi antara pendukung satu pasangan dengan pendukung pasangan yang lain, antara calon yang menang dengan warga yang tidak mendukungnya.Â
Ada 3 efek negatif dari patronase, yaitu politik uang (vote buying), konflik antara kerabat dan kebencian di antara pendukung.Â
Politik uang memang sangat dilarang di setiap perhelatan pesta demokrasi tetapi prakteknya sepertinya susah untuk dihilangkan. Politik uang ini masih muncul karena masyarakat kita masih mudah dibeli.Â
Meski tidak selalu terang benderang, tetapi dikamuflasekan dalam berbagai cara yang ujungnya adalah pembagian uang untuk membeli suara masyarakat.Â
Bahaya yang berikut adalah konflik antara kerabat. Hal ini terjadi sebab setiap orang tentunya memiliki pilihan politisnya masing-masing. Namun pilihan politik ini tidak diikuti dengan kesadaran akan kedewasaan politik dan kecerdasan politik yang baik.Â
Jadinya, pilihan politik itu bisa menjadi sumber konflik. Dan konflik itu dapat terjadi di antara kerabat. Parahnya, konflik itu tidak berhenti di dalam pesta demikrasi itu, tapi terbawa sampai ke berbagai dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan.Â
Bahwa kebebasan sangat dijamin di tengah alam demokrasi memang tidak disangkal. Namun efek negatifnya bisa sangat terasa di tengah masyarakat.Â
Apabila di dalam pemilihan umum baik untuk presiden maupun untuk para calon legislatif dampak negatif itu tidak terlalu terasa. Tetapi untuk pilkada baik gubernur maupun bupati dan wali kota sudah sangat terasa friksi tersebut.Â
Efek negatif lain dari pola patronase ini adalah konflik antara para pendukung. Hal ini sangat terasa di pilkades sebab jumlah pemilih yang sedikit membuat tim-tim khusus dari calon kepala desa akan dengan mudah membuat pemetaan antara para pendukung.Â
Dan akibat lanjutannya, pola ini tidak hanya berhenti pada dukung-mendukung dalam pilkades tapi terbawa sampai kepada kebijakan-kebijakan dan tata kelola pemerintahan desa pasca pilkades.Â
Contoh pola patronase politik desa, pejabat baru yang memenangkan kontestasi pilkades akan menunjuk beberapa orang menjadi pegawai baru atau perangkat desa.Â
Ini diperparah dengan diskriminasi dalam memberikan bantuan-bantuan pemerintah tatkala sang pemenang kontestasi pilkades itu telah menjabat.Â
Sementara itu pola klientelisme dapat dilihat pada pola kebijakan pemerintah desa. Dana desa yang dikucurkan dalam bentu proyek-proyek desa selalu dikelolah oleh para pendukungnya.Â
Begitu pula dengan pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakatnya, selalu diutamakan para pendukungnya.Â
Apa yang harus kita lakukan?Â
Evaluasi berkala harus tetap dilakukan untuk menyempurnakan undang-undang pilkades. Hal ini tidak bisa ditawar lagi demi menghindari potensi perpecahan dan potensi diskriminasi di tengah masyarakat pemilih.Â
Selain evaluasi yang terus-menerus, pendidikan politik harus terus berjalan dan dilakukan secara masif. Sebab kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi masyarakat kita sebagian besar masih sangat rendah. Ketidakcerdasan ini akan menyulut potensi perpecahan semakin besar di antara sesama warga desa.Â
Demokrasi mengatakan bahwa setiap calon kepala desa harus siap kalah dan menang. Tetapi faktanya, yang kalah sudah pasti akan merasakan kekecewaan di satu sisi dan yang menang akan bereforia.Â
Biaya Pilkades yang tinggi menyebabkan frustrasi yang tinggi bagi mereka yang kalah. Bagi yang menang, mereka akan memikirkan berbagai cara untuk mengorupsi dana desa untuk menggantikan biaya yang dikeluarkan selama proses pencalonan hingga hari pemilihan.Â
Hal ini yang menyebabkan, dana desa milyaran yang digelontorkan pemerintah pusat dari APBN seperti tidak memberi pengaruh bagi kemajuan desa dan masyarakatnya.Â
Padahal dana desa peruntukkannya adalah untuk menyejahterakan masyarakat desa.Â
Bila pemenang bisa lebih dewasa untuk merangkul kembali para pemilih dan memersatukan antara pendukung dan non pendukung, tentu akan sangat baik.Â
Tetapi apabila setelahnya atau pasca pemilihan lalu ada rencana untuk membalaskan dendam kepada warga yang bukan pendukungnya dalam bentuk diskriminasi pemberian bantuan maka akan bahaya dan memberikan dampak yang buruk di tengah masyarakat yang mereka pimpin.Â
Jika demikian, upaya mendekatkan pembangunan kepada masyarakat desa tidak akan berhasil dan memberi kesan sia-sia. Kalau upaya balas dendam ini berlangsung selama masa kepemimpinan mereka maka akan sangat tidak efektif terhadap pembangunan.Â
Apalagi tidak terlalu sulit untuk memetahkan setiap warga desa sesuai dengan calon kepala desa. Dengan jumlah pemilih antara 500 sampai dengan 1500 pemilih, maka tim-tim khusus dari setiap calon dengan mudah dapat membuat data yang akurat siapa pendukung calon mereka dan siapa yang mendukung calon lainnya.Â
Pemetaan tersebut membuat kecenderungan gesekan antara para pendukung tidak dapat dihindari.Â
Saling serang antara para pendukung tidak dapat dihindari.Â
Politik santun yang didengung-dengungkan kadang-kadang menjadi nonsense ketika sudah dihadapkan pada fakta di lapangan. Saling sikut, saling sindir, bahkan serangan secara frontal kepada pribadi para calon tidak dapat dihindari.Â
Untuk itu perlu dibangun budaya demokrasi yang lebih sehat sehingga kita bisa membangun adab kebermasyarakatan yang lebih baik dan lebih bermartabat.Â
Para calon kepala desa sebaiknya lebih banyak menjual gagasan demi kemajuan masyarakat desa dari pada saling sindir dan menjelekkan satu sama lain.Â
Bibit permusuhan baik antara kerabat maupun bibit kebencian di antara para pendukung calon kepala desa harus dihindari sebisa mungkin. Bahaya yang disebabkan karena minimnya pendidikan politik yang benar plus faktor kemiskinan dan sumber daya manusia yang rendah harus diminimalisir.
Kita memang menginginkan alam demokrasi yang semakin baik dan kondusif, tapi mesti diiringi dengan pembenahan masyarakat dan para calon agar semakin dewasa dalam berpolitik.Â
Dengan demikian, demokrasi sejati yang kita impikan dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H