Bahaya yang berikut adalah konflik antara kerabat. Hal ini terjadi sebab setiap orang tentunya memiliki pilihan politisnya masing-masing. Namun pilihan politik ini tidak diikuti dengan kesadaran akan kedewasaan politik dan kecerdasan politik yang baik.Â
Jadinya, pilihan politik itu bisa menjadi sumber konflik. Dan konflik itu dapat terjadi di antara kerabat. Parahnya, konflik itu tidak berhenti di dalam pesta demikrasi itu, tapi terbawa sampai ke berbagai dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan.Â
Bahwa kebebasan sangat dijamin di tengah alam demokrasi memang tidak disangkal. Namun efek negatifnya bisa sangat terasa di tengah masyarakat.Â
Apabila di dalam pemilihan umum baik untuk presiden maupun untuk para calon legislatif dampak negatif itu tidak terlalu terasa. Tetapi untuk pilkada baik gubernur maupun bupati dan wali kota sudah sangat terasa friksi tersebut.Â
Efek negatif lain dari pola patronase ini adalah konflik antara para pendukung. Hal ini sangat terasa di pilkades sebab jumlah pemilih yang sedikit membuat tim-tim khusus dari calon kepala desa akan dengan mudah membuat pemetaan antara para pendukung.Â
Dan akibat lanjutannya, pola ini tidak hanya berhenti pada dukung-mendukung dalam pilkades tapi terbawa sampai kepada kebijakan-kebijakan dan tata kelola pemerintahan desa pasca pilkades.Â
Contoh pola patronase politik desa, pejabat baru yang memenangkan kontestasi pilkades akan menunjuk beberapa orang menjadi pegawai baru atau perangkat desa.Â
Ini diperparah dengan diskriminasi dalam memberikan bantuan-bantuan pemerintah tatkala sang pemenang kontestasi pilkades itu telah menjabat.Â
Sementara itu pola klientelisme dapat dilihat pada pola kebijakan pemerintah desa. Dana desa yang dikucurkan dalam bentu proyek-proyek desa selalu dikelolah oleh para pendukungnya.Â
Begitu pula dengan pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakatnya, selalu diutamakan para pendukungnya.Â
Apa yang harus kita lakukan?Â