Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Sehat Pilihan

Tujuan Baik Tapi Jangan Ada yang Korban: Mencermati Naiknya Tarif CHT

5 November 2022   12:37 Diperbarui: 6 November 2022   10:55 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi zat adiktif. Sumber: freepik via Kompas.com

Pemerintah akan menaikkan bea cukai rokok atau tarif cukai hasil tambakau (CHT) sebesar 10 persen di awal tahun 2023.

Namun ini bukanlah solusi karena bagi para penikmat rokok, harga rokok yang mahal bukan halangan untuk mereka tetap merokok.

Ketergantungan terhadap nikotin dari tembakau membuat para perokok tidak peduli meski harga rokok melangit. Tapi ada kecualinya. Berhenti produksi rokok. Tetapi bisakah? 

Seperti yang sudah diwartakan bahwa kenaikan CHT ini sebenarnya sudah terjadi di awal tahun 2022. Saat itu pemerintah menaikkan tarif CHT sebesar 12, 5 persen.  

Suatu hal yang membuat sebagian para perokok serba salah. 

Mereka harus merogoh gocek lebih untuk rokok karena harga rokok menjadi semakin mahal. Mau tidak merokok tapi sudah ketergantungan, mau merokok tapi pengeluaran bulanan mesti dikalkulasi ulang.

Sedangkan untuk sebagian lagi merasa 'bodoh amat', kenaikan harga rokok tidak mempengaruhi mereka. Mau rokok mahal kek, mau murah kek, yang penting asap tetap mengepul. Itulah nikmatnya dunia mereka.

Pemerintah telah menetapkan, awal tahun depan (2023) kenaikan tarif ini tidak hanya berlaku untuk tarif CHT tetapi juga termasuk rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).

Berdasarkan sumber dari Humas Kemensetneg (Kementerian Sekretariat Negara) rokok eletrik akan naik rata-rata 15 persen tiap tahun selama lima tahun ke depan. Sedangkan untuk HPTL akan ada kenaikan 6 persen.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani kenaikan ini dimaksudkan untuk menurunkan angka para perokok usia remaja sehingga target prevelensi perokok usia 10 - 18 tahun sebesar 8,7 persen sesuai dengan RPJMN (Rencana  Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020 - 2024 dapat tercapai.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa tujuan kenaikan tarif CHT, rokok elektrik, dan HPTL dimaksudkan oleh pemerintah agar masyarakat Indonesia makin sehat.

Meski demikian, ada beberapa aspek yang harus diperhitungkan dengan matang. Misalnya, bagaimana dengan tenaga kerja pertanian dan industri rokok. Para petani tembakau akan merana. Begitu pula para pekerja di industri rokok.

Dari berbagai data yang dihimpun, Indonesia sendiri di tahun 2017 memproduksi 152.139 ton daun tembakau. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen tembakau terbesar keenam di dunia.

Sementara itu industri rokok juga memiliki kontribusi besar bagi penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pajak yang cukup signifikan untuk negara.

Di sinilah letak dilematisnya pemerintah. Tetapi demi kesehatan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang lebih sehat, apa boleh buat.

Memang di balik maksud baik tersebut, banyak aspek yang harus dikorbankan, tapi bila bisa diupayakan agar tidak menimbulkan korban, sebaiknya dipertimbangkan. Karena itu kajian yang matang harus sudah dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai macam segi. Prinsipnya, diupayakan agar jangan ada korban dari sebuah kebijakan.

Fakta mencengangkan ditemukan dalam penelitian-penelitian bahwa konsumsi masyarakat miskin yang terbesar kedua setelah beras adalah rokok, yaitu sekitar 12, 21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11, 63 persen masyarakat pedesaan.

Fakta ini sungguh miris, namun itulah kenyataannya. Satu hal yang tidak bisa disangkal bahwa bagi para perokok aktif, biar pun harga rokok akan naik berlipat-lipat kali, mereka akan tetap membelinya.

Mengapa? Ya, zat yang terkandung di dalam tembakau sebagai bahan utama rokok adalah nikotin. Dan nikotin termasuk dalam zat-zat adiktif.

Dalam ilmu medis, zat-zat adiktif biasanya dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan zat psikoaktif. Zat adiktif sendiri merupakan zat yang menimbulkan adiksi atau ketergantungan kepada pada penggunaannya. Orang yang mengalami adiksi ingin menggunakan zat tersebut secara terus-menerus.

Kita tahu, nikotin termasuk di dalam kelompok ketiga pengelompokan zat-zat adiktif di atas. Nikotin, alkohol, dan kafein merupakan zat psikoaktif yang menimbulkan ketergantungan yang tinggi bagi penggunanya.

Tanya saja para penikmat kopi. Sehari tanpa kopi, dunia terasa kiamat. Begitu juga dengan alkohol dan nikotin.

Para perokok kelas berat, rokok sudah menjadi seperti makanan. Habis makan harus merokok. Sementara mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan mesti merokok. Menurut para perokok, tidak merokok akan membuat mereka seperti orang linglung. Semua macet.

Kembali kepada kebijakan menaikkan tarif CHT dari pemerintah. Apabila sasaran kebijakan ini agar adanya penurunan yang signifikan pada para perokok remaja seperti yang telah disebutkan di atas, tentu kebijakan itu harus disambut baik. Tetapi sekali lagi perlu diperhitungkan pula para petani tembakau, para pengusaha rokok, dan para pekerjanya.

Fakta lain menunjukkan bahwa orang yang sudah kecanduan nikotin sangat sulit untuk berhenti merokok. Tetapi bukan berarti orang tidak bisa berhenti merokok. 

Sekali lagi strategi pemerintah menaikkan bea cukai rokok yang berarti harga rokok juga akan naik, sama sekali tidak memberi pengaruh kepada para perokok aktif.

Biasanya orang baru akan berhenti merokok bila,  pertama sudah sakit dan mendapat vonis dari dokter bahwa paru-parunya sudah rusak. Atau mendapatkan suatu penyakit yang mengharuskannya untuk berhenti merokok. Sebab jika tidak, maka nyawa akan menjadi taruhan.

Kedua adalah niat yang kuat untuk berhenti merokok. Niat itu harus dibangun dengan penuh kesadaran dan harus dijalani dengan sungguh-sungguh.

Dua faktor itu, satu faktor eksternal dan satunya lagi faktor internal. Meskipun sebenarnya, dua-duanya adalah faktor internal.

Namun diharapkan dari kenaikan tarif CHT, rokok elektrik, dan HPTL ini bisa menekan para perokok aktif. Harga yang semakin tinggi diharapkan dapat menurunkan daya beli sehingga konsumsi rokok dapat menurun.

Namun jika benar-benar mau sehat sekalian produksi rokok dihentikan. Sesuatu yang kelihatan muskil. Sebab faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan di atas.

Akan tetapi apabila dimulai secara perlahan-lahan pasti akan bisa. Semoga dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, angka para perokok aktif semakin menurun per tahunnya. Sehingga cita-cita Indonesia sehat dapat tercapai atau setidak-tidaknya bisa menekan angka kematian yang disebabkan oleh rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Sehat Selengkapnya
Lihat Indonesia Sehat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun