Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Anak-Anak Penantang Arus dan Sekelumit Kisah tentang Terbaliknya Sampan di Kampung Saya

6 Juni 2022   10:17 Diperbarui: 12 Juni 2022   12:54 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Benenai di Malaka Barat, Kabupaten Malaka. Sumber: Tribunnews.com

Berolahraga di air deras memang membawa resiko yang besar. Namun olahraga seperti ini memacu andrenalin seperti olah raga menantang lainnya.

Saya mencoba membagikan kisah tentang anak-anak di kampung saya yang selalu menantang bahaya dengan berenang di sungai yang berarus deras.

Anak-anak ini tidak menyebut aktivitas mereka menantang arus tersebut sebagai olahraga. Bagi mereka aktivitas ini adalah bagian dari aktivitas bermain yang menyenangkan.

Biasanya mulai dengan saling mengajak satu sama lain untuk mandi di sungai dan berlanjut dengan saling menguji siapa yang paling "jago" dalam hal berenang menantang arus.

Tanpa memikirkan bahaya mereka langsung menuju sungai yang memang kalau musim hujan debit air naik cukup tinggi bahkan bisa sampai setinggi setengah tebing sungai.

Sungai Benenai memang dikenal dengan arus derasnya terutama di musim penghujan.

Hal ini wajar sebab sungai benenai memiliki banyak hulu. Beberapa sungai besar di Timor bermuara di Benenai. Sungai-sungai itu antara lain sungai Temef di Timor Tengah Selatan, sungai Noemuti yang berhulu di gunung Mutis Timor Tengah Utara, sungai Motabaen di Belu, dan sungai-sungai kecil lainnya yang berjumlah ratusan.

Di musim hujan, ribuan kubik volume air dikirim ke Benenai. Ini menjadi ancaman tersendiri bagi penduduk di sepanjang aliran sungai yang selalu siaga terhadap banjir yang bisa datang kapan saja.

Akan tetapi bagi anak-anak, ini sangat menyenangkan. Volume air yang banyak dan berarus menjadi kesempatan bagi mereka menguji nyali.

Mereka bisa mengukur kemampuan mereka dalam menaklukan arus sungai dengan berenang menyebrangi sungai yang lebarnya hampir mencapai 100 meter.

Memang benar apa yang dikatakan bahwa manusia akan menjadi sangat kuat apabila sudah bisa menaklukan rasa takutnya. Ketakutan itulah yang menjadi penghalang manusia bisa mengeksplorasi potensi kemampuannya.

Anak-anak di kampung saya bukannya tidak mempunyai rasa takut. Tetapi rasa takut mereka belum bereaksi karena belum ada yang memberitahu mereka.

Para orang tua pagi-pagi sudah berangkat ke kebun. Anak-anak sehabis pulang sekolah bebas bermain bersama teman-teman mereka. Mungkin karena sudah akrab dengan sungai sejak kecil, rasa takut terhadap air yang deras sudah hilang tak berbekas.

Yang ada di pikiran mereka adalah siapa yang menjadi terhebat dalam menaklukan sungai benenai.

Kontur sungai yang tidak berbatu menjadi keunggulan sendiri dari Benenai. Kekuatan anak-anak hanya diuji melalui arusnya yang terbilang cukup deras.

Anak-anak ini akan berenang dengan kemampuan maksimal mereka, tanpa rasa takut dan gentar sedikit pun.

Akan tetapi, kebiasaan berenang anak-anak ini berlangsung hanya sampai tahun 2000-an. Setelah itu aktivitas berenang berkelompok seperti yang biasa anak-anak ini lakukan sudah tidak ada lagi.

Sejak tahun 2000 ketika banjir bandang yang meluluh-lantahkan rumah-rumah penduduk di sepanjang daerah pinggir sungai, banyak sekali buaya-buaya muara yang berkeliaran dan sering membuat resah warga sampai menimbulkan korban jiwa.

Rupanya kekhawatiran dan kesadaran dari orang tua terhadap keselamatan anak mereka semakin tinggi. Karena itu anak-anak tidak dibiarkan mandi di sungai.

Saya jadi teringat sebuah kisah waktu masih kecil. Kebun kakek dan nenek letaknya di seberang sungai. Untuk bisa sampai ke sana perahu atau sampan kecil sangat membantu.

Selain berenang untuk bisa sampai di seberang sungai, sampan adalah salah satu alat transportasi yang penting untuk ke kebun di waktu musim hujan.

Sampan akan dikayuh oleh seorang dewasa. Biasanya sampan kecil ini akan memuat 3 sampai 5 orang sekali jalan.

Saat itu bersama kakek dan nenek, saya ke kebun. Saya liburan sekolah waktu itu dan memilih untuk berlibur ke kampung.
Waku pergi di pagi hari tidak ada masalah. Semua berjalan normal.

Masalah mulai terjadi saat pulang di sore hari. Karena orang yang akan naik sampan lebih dari 5, maka dibuatlah prioritas.

Saya dimuat di sampan bersama nenek, buyut laki dan perempuan dan Om (adik laki-laki dari ibu) yang bertugas mengayuh sampan.

Sampan akan diturunkan sedikit di hulu sungai dan akan didayung dengan mengikuti arus sungai sampai menyeberang ke tepi sungai sebelahnya.

Semuanya berjalan normal. Sampan diturunkan dan om mengayuhnya secara perlahan mengikuti arus sungai.

Naasnya hari itu, sampan yang membawa kami tidak menepi dengan benar di turunan tebing yang biasa kami gunakan untuk naik ke sampan melainkan menabrak tebing terjal di sampingnya.

Sampan kecil itu kehilangan keseimbangan dan terbalik. Om dengan sigap menangkap lengan saya. Nenek yang tercebur di dalam air pun langsung berenang ke tepian pinggir sungai dan merangkak naik ke tebing. Kedalam air di pinggir sungai hanya sebatas pinggang orang dewasa.

Buyut saya yang laki pun demikian, setelah sampan terbalik langsung berenang dengan susah payah ke pinggir dekat tebing sungai.

Sialnya adalah buyut  perempuan. Ia tidak sempat keluar dari sampan saat terbalik. Akhirnya, ia ditutup oleh sampan yang terbalik.

Setelah Om mendudukan saya di pinggir tebing, secepat kilat ia menyelam untuk menyelamatkan buyut perempuan yang sedang tertutup perahu.

Akhirnya ia ditarik keluar dari dalam air dengan napas yang tersengal dan mata yang merah. Untungnya ia diselamatkan.

Kami semua naik ke atas. Rupanya berita tentang terbaliknya sampan kami tersebar begitu cepat di kampung.

Sontak anak-anak perenang berkumpul di pinggir sungai. Dan mulai turun ke air untuk menyelam mencari peralatan kebun yang terbawa arus sungai.

Hebatnya mereka berhasil menemukan beberapa. Sementara yang lainnya hanyut terbawa arus sungai. Padahal arus cukup deras waktu itu.

Sejak saat itu, saya bertekat untuk berlatih renang dan akhirnya saya bisa berenang juga pada akhirnya.

Akan tetapi biasanya saya berenang di kolam-kolam yang tenang. Untuk air sungai yang berarus deras, saya belum mempunyai keberanian untuk mencoba. Ketakutan masih begitu menguasai saya.

Barangkali dalam situasi yang mendesak kemampuan berenang saya bisa terksplor.

Itulah kisah tentang anak-anak perenang penantang arus di kampung saya dan kisah tentang terbaliknya sampan yang saya tumpangi di waktu kecil yang akhirnya membuat saya berlatih renang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun