"Dan Aku akan lebih tak peduliAku mau hidup seribu tahun lagi" Â - Â Chairil Anwar, 1946
Siapa yang tidak mengenal Chairil Anwar. Mereka yang suka puisi dan biasa menulis puisi sudah seharusnya mengenal sang Maestro Indonesia pelopor angkatan 45 ini.
Dia bukan seorang Soekarno yang sering dijuluki Putra Sang Fajar, juga bukan Hatta Sang Pertapa Revolusioner, ataupun Syhrir Si Burung Kelana (Tempo, 2000).Â
Walaupun demikian perannya bagi perkembangan Bahasa Indonesia secara umum dan Sastra khususnya di Indonesia tidak bisa dipungkiri.Â
Suatu saat dia pernah berkata, bila usianya panjang ia akan menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan tapi jika usianya pendek, maka katanya "Anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga."Â
Pujangga Indonesia kelahiran 26 Juli 1922 ini hanya menikmati hidupnya 27 tahun. Namun sumbangan bagi bahasa dan kesusasteraan Indonesia membuatnya pantas untuk dikenang.Â
Ketika tiba saatnya dipanggil yang Empunya Kehidupan, ia bukan saja tidak terima, malahan ia telah siap. Umur pengembaraannya di dunia memang singkat tapi tidak dengan karya-karyanya.Â
Semua manusia pasti mati. Namun membuat kematian itu tidak sia-sia bukanlah hal yang mudah.Â
Kematian Chairil, contohnya. Sebuah kematian yang tidak sia-sia. Karena ia yakin dalam absurditas kematian, namanya tetap dikenang atau setidak-tidak ada yang tetap menabur bunga pada kuburannya. Â
Kematian tidak bisa membatasi ruang apresiasi atas maha karya yang Sang penyair tinggalkan. Kekekalan telah menanti dan diwariskan berupa perubahan yang dibuat untuk Bahasa Indonesia dan sastra secara khusus.Â
Walaupun TBC berhasil merenggutnya pada 28 April 1949, tapi dalam masa hidupnya yang singkat itu, puluhan sajak, puisi dan prosa telah dihasilkan dan digubah baik itu yang original maupun saduran dan terjemahan.Â
Puisi dan sajak yang dihasilkan mempunyai warna yang berbeda dan ternyata sangat mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia hingga kini.Â
Ia telah menciptakan suatu terobosan dalam dunia kebahasaan secara khusus Bahasa Indonesia.Â
Chairil Anwar adalah sosok sastrawan Indonesia yang sungguh-sungguh telah memakai kata-kata bukan sebagaimana terdapat dalam kamus tetapi sesuai dengan konteks.Â
Bagi dia makna kata yang terdapat dalam kamus sering tidak dapat membantu orang dalam memahami sebuah kalimat dalam sebuah konteks. Karena bagi dia, pemahaman dan pemaknaan sebuah kata yang sejati baru akan berlangsung dalam kalimat dan konteks.Â
Yang menarik dari Sang Maestro adalah membuat makna kata yang mati dalam kamus menjadi hidup dalam syair dan puisi-puisinya.Â
Ludwig Wittgenstein pernah mengatakan, jangan tanyakan makna sebuah kata, tetapi tanyakan pemakaian (meaning in use). Chairil telah membuat satu gebrakkan baru dalam tata bahasa Indonesia yang kala itu masih sangat kaku dan statis.Â
Karena itu wajar bila karya-karya sastra yang dihasilkan pada jamannya, nampak memiliki wajah yang berbeda dengan para sastrawan dan penyair sejamannya.Â
Menurut Veven Sp. Wardhana (Tempo, 2000) pilihan kata yang dimanfaatkan Chairil menjadi pembeda dengan sastrawan seangkatannya. Di tangannya, bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, labih punya validitas, labih cerdas, dan tiada ruang kosong di antara pilihan-pilihan kata itu.Â
Terlepas dari berbagai tuduhan terhadap karyanya, menurut Supardi Djoko Damono, Chairil Anwar memang seorang penyair. Artinya, dia memperhatikan kata dan memberi gaya baru pada bahasa Indonesia. Â Â
Chairil Anwar telah memakai sastra untuk membuat perubahan, suatu perubahan yang tidak terjadi hanya saat ini dan pada suatu masa tetapi suatu perubahan yang bersifat kontinu dan bahkan bisa dikatakan kekal, suatu perubahan di dalam masyarakatnya.Â
Sang maestro menunjukkan bahwa di dalam Bahasa Indonesia terdapat solidaritas kolektif masyarakat yang dahsyat. Kekuatan itu sungguh nyata, hanya saja masyarakat menggebraknya tanpa kesadaran, sedangkan para elit politik memanfaatkan itu secara efektif untuk menegakkan kekuasaan.Â
Demikianlah, Chairil Anwar telah mengajarkan kekuatan kata di dalam bahasa secara khusus dalam sastra dan apa pengaruhnya dalam masyarakat.Â
Pengaruh yang menggentarkan para penguasa yang selalu berpretensi mempertahankan status quo.
Menulis adalah proses bertanggung jawab karena seorang penulis harus mengambil keputusan dan menanggung risiko atau memutuskan untuk tidak lagi mengembara bersama gagasan-gagasannya.Â
Tulisan memaksa seorang penulis untuk mengambil suatu konsep di antara banyak kemungkinan. Tulisan mampu melahirkan kekecewaan dan kepuasan.Â
Ketika membaca sajak-sajak Chairil Anwar, kekecewaan itu manampakkan diri serentak dengan kepuasannya.Â
Sajak-sajak Chairil Anwar merupakan gugatan terhadap realitas yang bukan dilakukan dengan paksa tetapi dengan kekuatan yang kasat mata dari bahasa.
Tulisan-tulisannya di dalam sajak dan syair-syair merupakan representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku masa itu.Â
Ia memahami bahwa jasa seorang penyair terhadap bangsanya hanyalah untuk membuat bahasanya berkembang dalam galurnya.Â
Gagasan besar, pandangan hidup yang muluk-muluk, dan pikiran yang brilian dapat dikemukakan oleh siapapun tetapi penciptaan bahasa yang baru yang menampung emosi dan penghayatan hidup yang adalah tugas penyair.Â
Apa yang menjadi keyakinan Chairil ternyata diamini oleh Derrida si filsuf kontemporer Prancis dalam karya-karyanya. Bagi Derida, karya sastra memiliki kekuatan dan daya dobrak yang dahsyat karena memiliki kecenderungan untuk tidak menggurui dan lebih mudah mendorong pembaca (masyarakat) untuk bertindak karena model-model narasi yang ditawarkan mudah untuk ditiru dan diingat.Â
Bila ini sungguh dimanfaatkan akan sangat menakutkan bagi para penguasa. Karena itu tidak mengejutkan bila sastra dan kebudayaan pada masa demokrasi terpimpin dan orde baru mangalami kekerdilan.Â
Demi ketentraman para boss, eksistensi dan kehadiran karya-karya sastra dipasung. Lebih buruk lagi, bahasa Indonesia yang telah memiliki daya vitalitas dan cerdas itu harus ambruk di tangan rezim Orde Baru dengan menciptakan suatu bahasa baru yang penuh dengan hipokrisi.
Chairil Anwar dan gagasan bahwa kata dan bahasa berdaya mengubah, mati.Â
Para penguasa takut akan daya pengubah yang tidak kasat mata di dalam kata dan bahasa sastrawan-sastrawan. Kasus-kasus pembredelan surat kabar dan pemusnahan karya sastrawan-sastrawan tanah air menjadi bukti bahasa dan sastra memiliki tangan dan kekuatan dahsyat yang mampu membongkar segala kemapanan dan status quo.Â
Bahasa, kahususnya sastra memunyai gonggongan yang menakutkan mereka yang memiliki otoritas. Taring tajam setajam tombak dari sastra bisa mengaduk-aduk kepongahan para penguasa.Â
Chairil Anwar tahu memanfaatkan bahasa dan menggunakannya untuk membongkar tatanan yang mapan dan membawanya kepada perubahan.Â
Kita meti mengamini bahwa Chairil Anwar adalah manusia untuk segala jaman bagi bangsa Indonesia. Â Jasa-jasa terhadap bahasa Indonesia dan secara khusus kesesasteraan Indonesia akan terus diingat dan tak pernah lekang oleh waktu.Â
Ia akan terus hidup dalam syair-syairnya.Â
Pada akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan bahwa tanpa bahasa, manusia tidak akan bergerak selangkah pun.Â
Kemajuan masyarakat manusia hanya mungkin apabila bahasanya pun berkembang.Â
Terima kasih Chairil. Engkau telah menghiasi khasana kesusasteraan Indonesia dan membuat bahasa Indonesia berkembang.Â
Ia telah meyakinkan kita bahwa bahasa adalah dasar dari kebudayaan dan penentu eksisistensi kita sebagai bangsa yang besar.
Chairil, engkau bukan saja hidup seribu tahun, tapi engkau masih akan hidup beribu-ribu tahun lagi. Biarkan kuburmu tetap menjadi tempat anak-anak kesusasteran negeri ini berziarah dan menabur bunga. Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H