Sang maestro menunjukkan bahwa di dalam Bahasa Indonesia terdapat solidaritas kolektif masyarakat yang dahsyat. Kekuatan itu sungguh nyata, hanya saja masyarakat menggebraknya tanpa kesadaran, sedangkan para elit politik memanfaatkan itu secara efektif untuk menegakkan kekuasaan.Â
Demikianlah, Chairil Anwar telah mengajarkan kekuatan kata di dalam bahasa secara khusus dalam sastra dan apa pengaruhnya dalam masyarakat.Â
Pengaruh yang menggentarkan para penguasa yang selalu berpretensi mempertahankan status quo.
Menulis adalah proses bertanggung jawab karena seorang penulis harus mengambil keputusan dan menanggung risiko atau memutuskan untuk tidak lagi mengembara bersama gagasan-gagasannya.Â
Tulisan memaksa seorang penulis untuk mengambil suatu konsep di antara banyak kemungkinan. Tulisan mampu melahirkan kekecewaan dan kepuasan.Â
Ketika membaca sajak-sajak Chairil Anwar, kekecewaan itu manampakkan diri serentak dengan kepuasannya.Â
Sajak-sajak Chairil Anwar merupakan gugatan terhadap realitas yang bukan dilakukan dengan paksa tetapi dengan kekuatan yang kasat mata dari bahasa.
Tulisan-tulisannya di dalam sajak dan syair-syair merupakan representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku masa itu.Â
Ia memahami bahwa jasa seorang penyair terhadap bangsanya hanyalah untuk membuat bahasanya berkembang dalam galurnya.Â
Gagasan besar, pandangan hidup yang muluk-muluk, dan pikiran yang brilian dapat dikemukakan oleh siapapun tetapi penciptaan bahasa yang baru yang menampung emosi dan penghayatan hidup yang adalah tugas penyair.Â
Apa yang menjadi keyakinan Chairil ternyata diamini oleh Derrida si filsuf kontemporer Prancis dalam karya-karyanya. Bagi Derida, karya sastra memiliki kekuatan dan daya dobrak yang dahsyat karena memiliki kecenderungan untuk tidak menggurui dan lebih mudah mendorong pembaca (masyarakat) untuk bertindak karena model-model narasi yang ditawarkan mudah untuk ditiru dan diingat.Â