"Ai, jangan lihat-lihat. Langsung beli saja. Lihat-lihat nanti balik ke sini sudah di borong orang"
Begitulah senda gurau yang sering bikin ketawa sendiri. Setelah puas melihat-lihat barulah biasanya saya membeli ikan yang akan dibawa pulang. Tentu kualitas yang masih fresh.Â
Pemilihannya sederhana, lihat saja dari mata ikan. Jika putih bersih maka masih segar. Dan jika sudah kemerahan, ikan tidak lagi segar. Bisa juga dilihat dari ingsan ikan. Merah ialah segar dan jika merah kecoklatan maka tak lagi segar.
Selain melihat ikan apa saja yang diperdagangkan, saya juga suka melihat aktivitas pedagang. Hangatnya kekeluargaan begitu sangat tampak. Bahkan canda tawa begitu familiar.
Pedagang-pedagang di pasar ini sudah berjualan puluhan tahun. Tidak kurang dari lima sampai  tahun keatas 10 tahun keatas. kebanyakan mereka berasal dari belakang gunung, atau penduduk yang tinggal jauh dari pasar.Â
Salah satu langganan saya misalnya, sudah berjualan ikan sejak ia lulus SMA 20 tahun lalu. Â Selama itupulah, ia berjualan setiap pagi hingga sore. Musim paceklik atau musim produktif.
Pendapatan yang tak menentu bukan pantangan mengubah profesi. Misalnya saat ini, musim ikan sedang bagus. Nelayan-nelayan ramai-ramai melaut. Meski di Desember nanti, musim paceklik sedang menunggu.
Dalam sehari mereka bisa meraup  pendapatan kotor sebesar 1-2 juta rupiah. Hasil yang bakal dibuka untuk melakukan pembelian ikan kembali dari nelayan atau pedagang perantara dari Pulau Tidore, Maitara hingga Bacan.
Fenomena paling penting berikutnya ialah ekonomi pasar, permintaan dan penawaran, tawar menawar, hingga fluktuasi harga.