"Mari-mari..... Dua puluh ribu satu tampa; loyang. Â Satu tampa isi 10 ekor. Â Mari ikan segar-segar".
Sahut-sahutan suara para pedagang merayu pelanggan itu mengawali langkah kaki saya masuk ke dalam pasar ikan Higenis Gamalama.Â
Bau amis menyeruak tajam sebagai sambutan bagi pelanggan. Lantai yang basah dan becek, air-air yang terpancar dari guyuran pedagang ke ikan-ikan agar memikat hingga sempitnya pasar karena lapak-lapak yang berderet memanjang.Â
Berdesak-desakan di pasar ini juga bagian yang melengkapi aktivitas jual beli ikan. Meski begitu, saya menyukainya.
Menyusuri satu persatu lapak dengan berbagai jenis ikan; cakalang, tuna, tude, sorihi, Â hingga cumi, yang tertata rapi pada loyang-loyang. Atau disusun seadanya di meja lapak. Menonton aksi pria dengan tangan-tangan perkasanya mengayunkan parang memotong ikan besar seperti cakalang dan tuna menjadu bagian-bagian kecil, hingga ibu-ibu yang tak henti-hentinya menarik pelanggan.
 Para pria yang bertugas memotong-motong ikan
Kadang, saya berhenti melihat-lihat, lalu lanjut lagi ke lapak berikut. Meski dari rumah, saya tau ikan apa yang bakal dibeli, tetapi menikmati sebentar hiruk pikuk ini sebelum pulang adalah kewajiban. Setidaknya bagi saya yang hobi mancing. Juga sebagai referensi, musim ikan apa yang sedang gacor-gacornya memakan umpan.Â
Namun kadang berhenti di lapak sering bikin PHP pedagang.
"Nyong, cari ikan apa?"
"Lihat-lihat dulu bu."
"Ai, jangan lihat-lihat. Langsung beli saja. Lihat-lihat nanti balik ke sini sudah di borong orang"
Begitulah senda gurau yang sering bikin ketawa sendiri. Setelah puas melihat-lihat barulah biasanya saya membeli ikan yang akan dibawa pulang. Tentu kualitas yang masih fresh.Â
Pemilihannya sederhana, lihat saja dari mata ikan. Jika putih bersih maka masih segar. Dan jika sudah kemerahan, ikan tidak lagi segar. Bisa juga dilihat dari ingsan ikan. Merah ialah segar dan jika merah kecoklatan maka tak lagi segar.
Selain melihat ikan apa saja yang diperdagangkan, saya juga suka melihat aktivitas pedagang. Hangatnya kekeluargaan begitu sangat tampak. Bahkan canda tawa begitu familiar.
Pedagang-pedagang di pasar ini sudah berjualan puluhan tahun. Tidak kurang dari lima sampai  tahun keatas 10 tahun keatas. kebanyakan mereka berasal dari belakang gunung, atau penduduk yang tinggal jauh dari pasar.Â
Salah satu langganan saya misalnya, sudah berjualan ikan sejak ia lulus SMA 20 tahun lalu. Â Selama itupulah, ia berjualan setiap pagi hingga sore. Musim paceklik atau musim produktif.
Pendapatan yang tak menentu bukan pantangan mengubah profesi. Misalnya saat ini, musim ikan sedang bagus. Nelayan-nelayan ramai-ramai melaut. Meski di Desember nanti, musim paceklik sedang menunggu.
Dalam sehari mereka bisa meraup  pendapatan kotor sebesar 1-2 juta rupiah. Hasil yang bakal dibuka untuk melakukan pembelian ikan kembali dari nelayan atau pedagang perantara dari Pulau Tidore, Maitara hingga Bacan.
Fenomena paling penting berikutnya ialah ekonomi pasar, permintaan dan penawaran, tawar menawar, hingga fluktuasi harga.
Turun naiknya pendapatan tergantung pada pasokan, musim hingga aspek-aspek yang mempengaruhi.Â
Pedagang bisa meraup banyak pendapatan jika harga beli di nelayan atau pedagang perantara lebih murah. Meski itu terjadi jika hanya pada musim produktif. Sementara di musim paceklik, volume pembelian berkurang. Sesuai modal yang mereka miliki. Bahkan banyak yang memutuskan tidak berjualan. Pasokan menjadi sangat penting. Baik dalam dan luar pulau.Â
Tantangan selanjutnya ialah bagaimana harga operasional semisal BBM mempengaruhi daya operasi tangkap para nelayan. BBM naik ikut mempengaruhi harga ikan walaupun musim sedang produktif.
Apalagi, nelayan bukan pihak yang menentukan harga melainkan pedagang perantara. Pihak yang menangung semua beban dan biaya operasional nelayan.
Maka menurut pedagang, pasokan adalah dasar dari mereka menentukan harga. Misalnya ikan dari Pulau Bacan. Di mana mereka membeli dari pedagang perantara dengan mengeluarkan biaya transportasi hingga sampai ke Ternate. Juga, rantai pemasaran yang panjang.Â
Pada akhirnya, produk-produk ikan memiliki jalur pemasaran yang sangat panjang terikat. Naik satu rupiah akan mempengaruhi harga hingga di tangan konsumen.Â
Bagi saya, berbelanja ke pasar adalah refleksi atas fenomena sosial dan ekonomi pasar bernama perikanan. Dari hangatnya para pedagang, ikan-ikan yang tersaji, perilaku pasar hingga perilaku konsumen serta banyaknya faktor yang mengikat. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H