Dana sebesar ini jika dihapus dan dialokasikan ke pembiayayaan lebih efesien tentu sangat baik. Namun tentu saja kondisi ini tidak bakal diakomodir. Mungkin pergantian nahkoda yang bisa.
Lalu  apa masalah sesungguhnya sehingga dana desa kadang menjadi biang korupsi dan konflik di desa?
Sesuai pengalaman di lapangan, yakni Pertama, lemahnya sistem pengalokasian dan perencanaan anggaran tiap program.Â
Kepala desa tidak mempunyai kemampuan keuangan dan perencanaan yang memadai sehingga dalam pengalokasiannya pada item-item proyek, jumlah yang dialokasikan tidak sesuai spek pekerjaan. Artinya, besar anggaran ketimbang seharusnya dalam sebuah peketjaan.
Alhasil, kelebihan-kelebihan itu kadang dimanupulasi untuk masuk ke kantong.
Kedua, lemahnya tim pendamping desa baik kecamatan maupun desa. Kebanyakan saya menemukan tim pendamping bukan berasal dari kalangan profesional atau punya basic ilmu yang memadai. Sehingga dalam perencanaan tidak terdapat inovasi yang dilahirkan. Cenderung mengikuti skema dari kabupaten
Selain itu, kelehaman lainnya ialah rendahnya pengawasan pendamping desa dalam setiap program. Dalam temuan, saya beberapa kali menemukan banyak PD datang beberapa hulan sekali jika anggaran sudah dicairkan.
Ketiga, transparansi DD kepada warga. Hal ini menjadi biang konflik. Tak jarang banyak kades diusir, hingga dilaporkan ke pihak berwajib.
Dan, banyak masalah-masalah lain yang patut disoroti ketimbang harus berkutat pada perpanjangan masa jabatan. Hal-hal teknis perlu didorong dan dimantapkan dengan baik agar mekanisme penggunaan DD tidak dimanipulasi dan melahirkan kelas korupsi baru tingkat bawah.
Sebab, Dana Desa menjadi spektrum utama pembangunan desa secara mandiri. Akan sangat sia-sia jika berjalan sepuluh tahun ini, tak ada perkembangan berarti. Minimal desa menjadi mandiri dari segala aspek.
Lalu apakah perpanjangan jabatan kades saat ini tidak tepat?