"Wacana itu bakal berhasil di wujudkan," begitulah kiranya ucapan salah satu penggerak desa. Ia mengemontari status WhatsAp yang saya pasang terkait problem jabatan kades.
Teman saya ini, salah satu dari orang yang saya percaya informasinya. Lebih-lebih ia punya kans ke dalam "Elit Politik'. Sejauh pergumulan yang terbangun dengannya, belum ada satupun wacana pergerakan elit yang tidak berhasil.
Namun persoalan jabatan Kades, seperti kami berdua harus bersebrangan. Lama kami berdebat. Namun satu statmen saya membuatnya sedikit pikir-pikir membalas.
"Boleh saja Jabatan Kades sembilan tahun, tapi dana desa harus di hapus,".
"Wah repot juga," balasnya.
Kami berdua mulai membahas ide liar ini hingga tak berunjung. Tak berkseimpulan. Saya berpegang teguh pada prinsip jabatan kades harus sesuai UU. Sementara  ia percaya pergerakan masa jabatan kades dapat terwujud karena bagian dari strategi elit politik.
Esok pagi, koran cetak lokal menampilkan headline berita " penyelewengan Dana Desa". Tak tanggung-tanggung nilainya dan keterlibatan desa cukup banyak.
Melihat ini ide liar untuk menghapus dana desa semakin menjadi-jadi. Â Sebab, bagi saya sendiri, problem desa tak sekedar isu perpanjangan masa jabatan kades. Lebih dari itu, kompleks dan teramat kompleks.
Masalah paling pelik ialah terkait alokasi dana desa. Persoalan satu ini tak pernah berjalan baik. Jika mampu diidentifikasi, mungkin alokasi dana desa yang tepat sasaran tanpa penyelewengan sangat sedikit. Berapa banyak desa yang mampu mengalokasikan itu tepat sasaran guna menjadi desa yang mandiri? Saya yakin sangat sedikit.
Alokasi dana desa sungguh sangat besar. Pada tahun 2022 saja, berdasarkan data Kemenkeu dalam Kemenko PKM progres penyaluran DD per 14 oktober 2022 sebesar 55.45 T dari Pagu DD sebesar 6 T. (1)