Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

KTT G20, Harapan Penguatan Industri Tambang Berkelanjutan

16 November 2022   15:56 Diperbarui: 17 November 2022   19:00 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mobil listrik. (sumber gambar: via kompas.com)

Beberapa hari ini, saya mengikuti perkembangan KTT G20 dari berbagai media masa. Liputan-liputan aktual tentang kedatangan, sambutan, kemegahan, keamanan, protokol, jamuan, sosok-sosok pemimpin dunia hingga berbagai agenda menjadi santapan.

Tak lupa bumbu-bumbu media pada berbagai judul liputan dan artikel terbaca. Tentu dengan ciri khas masing-masing.

Bagi saya sendiri, sebagai presidensi G20, Indonesia patut berbangga dapat menjadi tuan rumah pertemuan G20. Forum kerjasama multilateral 19 negara utana dan Uni Eropa. Representase 60% populasi bumi, 75% perdagangan global dan 80% PDB dunia. (1)

Melihat representase di atas saja tentu pembahasan dan hasil yang diperoleh bakal mempengaruhi jalannya tatanan kebijakan global. Terutama tiga isu utama yakni sistem kesehatan dunia, transformasi ekonomi dan digital serta transisi energi berkelanjutan.

Setidaknya transisi energi berkelanjutan ini yang membuat saya tertarik mengikuti perkembangan pertemuan di Bali ini. 

Transisi energi ini baik dilakukan karena kondisi perubahan iklim dunia yang semakin buruk. Inovasi dan gebrakan saat ini sedang mengarah kesana. Utamanya penggunaan kendaraan ramah lingkungan serta rendah karbon seperti kendaraan listrik.

Tak tanggung-tanggung, 836 kendaraan listrik dari mobil, sepeda motor hingga bus disediakan (2). Bahkan, dalam  beberapa tangkapan, kepala negara yang hadir ikut menggunakan kendaraan yang di klaim ramah lingkungan ini. Minus Joe Biden dan Xi Jin Ping yang membawa kendaraan sendiri.

Dukungan atas keseriusan masalah lingkungan dengan menghadirkan produk ramah lingkungan adalah peluang kampanye di KTT G20. Apalagi Indonesia sendiri sudah mengaturnya dalam peraturan.

Kemegahan G20 dengan agenda-agenda serta berjejernya produk kendaraan listrik diperhelatan memberikan harapan akan perbaikan lingkungan dunia. Poin dari perubahan iklim dunia. 

Namun di balik kemegahan itu, saya justru merasa sedikit iba. Bukan perkara menolak kehadiran produk ramah lingkungan ini, melainkan kemegahan itu harus dibayar dengan mahal.

Kerusakan lingkungan, hilangnya akses warga terhadap air dan pangan serta konflik lingkar tambang karena praktek ekstraksi nikel di Indonesia; di hulu, adalah harga tersebut. Praktek ekstraksi Nikel sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik justru tak ramah lingkungan. 

Di satu sisi, di hilir, inovasi dan kebijakan melahirkan produk-produk ramah lingkungan. Di Hulu awala dari komponen produk itu justru kontradiktif. Ruang hidup sosial dan lingkungan menjadi kritis lantaran pengelolaan yang tak ramah lingkungan.

Pun dengan tingkat kesejateraan masyarakat lingkar tambang; Tanah hilang, air keruh, dan CSAR yang tak adil. 

***

Harun; nama samaran, menatap dalam kondisi lingkungan yang kehilangan keindahan. Dari balik pepohonan, cukup buat menutupi keberadaan, ia melihat sejauh tangkapan mata memandang. 

Tanah-tanah tegerus. Hutan dan kayu terbabat habis. Alat-alat berat beroperasi; menggali dan mengangkut.  

Rumah-rumah permanen dan gedung terbangun di dalamnya. Tak nampak satu pohon pun tumbuh pada area pertambangan nikel di kawasan Halmahera ini. Lama melihat ia berujar " di sini dulu lahan milik warga. Saya juga punya kebun di sini,".

Tiga puluh menit rasanya dua tiga jam. Ketegangan agar tidak ketahuan adalah adrenalin tersensdiri. " ayo pulang," ajaknya.

Kami berlalu pergi. Hasrat karena rasa penasaran membawa kami ke sini. Ekslusifitas pertambangan sudah cukup tenar. Tak boleh masuk sembarangan membuat kami mengendap-ngendap.

Harun dulu punya tanah di sini. Namun ketika hendak masuk pertambangan, mereka terpaksa harus menjual tanah yang mengandung mineral alam tersebut. Melawan pun tak bisa. Mending dijual ketimbang berlahan terserobot dengan sendirinya.

Banyak juga kawan-kawannya harus berurusan dengan pihak berwajib karena menentang, melakukan gerakan perlawanan mempertahankan tanah milik mereka atau sekedar menuntut ganti rugi yang adil.

Beroperasinya tambang di desanya, diharapkan dapat membawa kesejateraan. Namun itu pemikiran Harun dulu. Sekarang pemikiran itu berubah ketika produksi ekstraksi nikel  menimbulkan dampak pada lingkungan dan sosial.

Kata Harun, mereka dihadapkan pada kondisi dampak dari aktifitas yang dapat menggangu kesehatan dan pendapatan. Ketika hujan, kampung mereka bakal banjir dengan membawa serta material seperti tanah dan batu bahkan hingga kayu.

Desa mereka sering kebanjiran sejak beroperasinya pertambangan Nikel. Pun dengan sungai hingga air laut yang kecoklatan dengan endapan lumpur yang mengusir ikan-ikan. Nelayan ikut kehilangan mata pencaharian.

Penjelasannya ini mengingatkan saya akan sebuah kondisi di lapang ketika ikan-ikan di salah satu teluk Halmahera Utara, lokasi salah satu perusahaan tambang telah menghilangkan ekosistem. Ikan hilang bahkan tak bisa di konsumsi menurut beberapa jurnal penelitian.

Sementara jika tak hujan, debu menjadi masalah utama. Debu itu bertaburan kemana-mana bahkan sampai masuk ke rumah warga. Itu terjadi saat ini di Halmahera Tengah.

Permasalahan ekologi menjadi satu sumber emisi rumah kaca dan tentu saja mempengaruhi iklim global. Hilangnya hutan-hutan sebagai paru-paru dunia adalah salah satu sebab yang memberikan andil pada perubahan iklim. 

Nikel sebagai bagian dari bahan utama kendaraan listrik atau baterai adalah sumber daya paling utama di Indonesia. 20 juta ton dihasilkan setiap tahun dari hasil alam ini lewat pertambangan di Indonesia.

Dan, masalah paling mendasar ialah belum banyak tersedia smelter ataupun sistem pengolahan tailing sebagai proses pengolahan limbah. Dan, saya menyaksikan itu. Beberapa tambang besar di Maluku Utara, limbah-limbah ini kemudian menjadi perkara ekologi yang menjadi sorotan semua pihak.

Kritik dan dorongan agar dibangun fasilitas pengolah tailing limbah nikel keras disuarakan. Walau belakangan atensi itu mulai digerakan beberapa tambang di Maluku Utara akan tetapi belum maksimal berjalan.

Dengan dinamika kebijakan penggunaan kendaraan listrik, kondisi ini seharusnya diperhatikan. Sebab, dikutip dari CNBC, produksi satu baterai kendaraan listrik bisa menghasilkan 1,8 ton Tailing atau limbah. 

Bayangkan saja, sudah berapa limbah yang diproduksi dari deretan mobil yang dipamerkan di G20.

Lantas apakah hanya masalah ekologi dan kesehatan? Tidak.

Masih banyak perkara. Konflik masyarakat lingkar tambang hampir tak pernah surut. Penyerobotan lahan, terusir dari kampung dan ketidakadilan pendanaan CSAR adalah masalah ruwet lain.

Di Maluku Utara, di semenanjung Halmahera, tempat tambang beroperasi, ekslufitas sangat terasa. Area tambang adalah area terlarang bagi yang tidak berkepentingan. Pun dengan penyerobotan lahan yang kian hari kian terupdate dalam berbagai berita.

Lahan-lahan kebun sebagai mata pencaharian utama hilang berlahan. Tanah-tanah dan sistem akses air tercemar dan mempengaruhi kondisi tanah di sekitar. Tanaman jadi tak produktif.

Banyak pula warga-warga di desa yang terusir. Harus pindah karena aktivitas pertambangan. Walau disediakan rumah atau tempat tinggal di lokasi lain, namun narasi perampasan sudah terlanjur melekat.

Dana CSAR sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat lingkar tambang juga jadi ranah konflik. Kesamasarataan dan pengelolaan kadang berakhir pada nepotisme. 

Sementara harapan satu-satunya dengan kehadiran tambang sebagai wujud penyerapan tenaga kerja juga jarang terakomodir. Hal yang satu ini kemudian menimbulkan kekecewaan dan berakhir dengan aksi demonstrasi serta protes oleh warga.

Pada tataran ekonomi, saya banyak berdiskusi dengan karyawan-karyawan tambang. Mereka mengungkapkan sebuah kondisi dilematis di mana harga-harga justru melambung tinggi.

Gaji mereka memang besar. Namun struktur ekonomi yang tercipta dengan kehadiran tambang justru membikin kelas sendiri.

Harga melambung, biaya hidup jadi tinggi dan sasaran paling mendasar adalah ketidakmampuan daya beli terutama masyarakat lokal. Lantaran tidak punya pendapatan tetap.

***

Kemegahan kendaraan listrik di KTT G20 sesuai dengan rencana pemerintah agar beralih ke kendaraan ramah lingkungan tentu sangat baik. Akan tetapi, dalam ranah produksi masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. 

Utamanya proses hulu hingga hiliriasasi pertambangan nikel yang tidak ramah lingkungan dan syarat kerugian sosial. 

Di KTT G20 ini, saya berharap: permasalahan ini dipetahkan dengan matang. Menyentuh hingga ke akar masalah ketimbang hanya mendorong peralihan penggunaan kendaraan dan melupakan dampak nyata sektor pendukung produk ini.

Harus ada langkah kongkrit terutama manajemen pengolahan limbah produksi nikel dengan manajemen tailing yang jelas dan ketat. Wajib diterapkan kepada semua industri tambang. Kemudian proses peningkatan kesejateraan masyarkat lingkar tambang.

Semua harapan ada di KTT G20. Agar permasalahan energi terbaharukan ini berjalan baik dan tidak meninggalkan "masalah" jangka panjang. (Sukur dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun