Lantas apakah hanya masalah ekologi dan kesehatan? Tidak.
Masih banyak perkara. Konflik masyarakat lingkar tambang hampir tak pernah surut. Penyerobotan lahan, terusir dari kampung dan ketidakadilan pendanaan CSAR adalah masalah ruwet lain.
Di Maluku Utara, di semenanjung Halmahera, tempat tambang beroperasi, ekslufitas sangat terasa. Area tambang adalah area terlarang bagi yang tidak berkepentingan. Pun dengan penyerobotan lahan yang kian hari kian terupdate dalam berbagai berita.
Lahan-lahan kebun sebagai mata pencaharian utama hilang berlahan. Tanah-tanah dan sistem akses air tercemar dan mempengaruhi kondisi tanah di sekitar. Tanaman jadi tak produktif.
Banyak pula warga-warga di desa yang terusir. Harus pindah karena aktivitas pertambangan. Walau disediakan rumah atau tempat tinggal di lokasi lain, namun narasi perampasan sudah terlanjur melekat.
Dana CSAR sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat lingkar tambang juga jadi ranah konflik. Kesamasarataan dan pengelolaan kadang berakhir pada nepotisme.Â
Sementara harapan satu-satunya dengan kehadiran tambang sebagai wujud penyerapan tenaga kerja juga jarang terakomodir. Hal yang satu ini kemudian menimbulkan kekecewaan dan berakhir dengan aksi demonstrasi serta protes oleh warga.
Pada tataran ekonomi, saya banyak berdiskusi dengan karyawan-karyawan tambang. Mereka mengungkapkan sebuah kondisi dilematis di mana harga-harga justru melambung tinggi.
Gaji mereka memang besar. Namun struktur ekonomi yang tercipta dengan kehadiran tambang justru membikin kelas sendiri.
Harga melambung, biaya hidup jadi tinggi dan sasaran paling mendasar adalah ketidakmampuan daya beli terutama masyarakat lokal. Lantaran tidak punya pendapatan tetap.
***