Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerbong Kereta Kelas Ekonomi

29 September 2022   17:33 Diperbarui: 5 Oktober 2022   09:17 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kursi 17 E, gerbong C saya tempati.  Dua perempuan, satu lelaki mengisi kursi sisanya. Berempat dalam satu barisan. Sama seperti lainnya. 

Bagi saya, Gerbong ekonomi ini, punya banyak gambaran yang tertangkap.  Tentu saja, sebagai orang yang jarang menggunakan akomodasi ini akan punya pandangan berbeda dengan yang sudah umum dan terbiasa.

Di timur tidak ada kereta. Hal seperti ini baru menjadi kebiasan  setelah kuliah di Bogor. KRL Comutter line satu-satunya pilihan. Namun untuk menuju keluar Kota, terhitung baru tiga kali. Durasinya cukup lumayan. 

*

Pukul sembilan pagi, di stasiun Pasar Senen, gerbong Kereta Dharmawangsa mulai bergerak. Desingan dari gesekan kereta dengan rel mulai terasa. Dua pasangan di depan ku melihat jam dilayar handpone. Memperkirakan waktu yang bakal ditempuh ke tujuan.

Sebelumnya, saya sudah datang sejam lebih awal. Menempuh perjalanan dari Cawang. Melakukan penecatakan tiket setelah bertanya kepada seorang teman. Mengecek perlengkapan lalu menuju gerbong. 

"Mas mau kemana," tanya pria di depanku.

"Ke Semarang," jawabku.

"Stasiun Tawang ya," sahutnya.

"Iya mas," jawabku singkat sembari menanyakan balik kemana tujuannya.

"Ke Surabaya Mas," jawabnya.

Kami berkenalan. Begitupun dengan dua wanita dalam satu barisan ini. Tujuan mereka ke Tegal dan Surabaya.

Waktu berjalan. Kereta melaju keluar Ibu Kota Indonesia. Gerbong yang saya tempati nampak full. Berbagai macam penumpang tergambar jelas.

Satu kakek, dalam pandanganku. Empat orang di samping kiri. Pada kursi yang lebih besar. Satu bapak sering-sering menggendong anaknya yang rewel. Beberapa lagi mondar mandir. 

Aku menangkap itu semua dalam pandangan baru. Seperti ini gambaran kelas ekonomi. Mungkin beda dengan kelas bisnis atau ekslusif yang punya gambaran kelas berbeda.

Lama saya memperhatikan. Dua orang disampingku melirik-lirik bagian dapur yang dapat dilihat dari tempat duduk. Aroma makanan memang membikin lapar.

"Kita dikasih makanan ngak ya," tanya ia pada temannya.

"Kasih kayaknya. Itu, sudah disiapkan," ujarnya sembari melirik lekat ke dua petugas yang sedang menyiapkan makanan ditroli.

"Wih keren. Biasanya ngak dapat makan," candannya.

Saya pun ikut dalam obrolan mereka. Kakek yang sedari tadi dalam pandanganku membuat saya meniatkan diri mengajak ngobrol. Jadilah beberapa saat duduk di depannya setelag menunggu ia selesai sholat.

"Kereta sekarang sudah bagus. Dulu ampun. Sebelum perubahan, kereta ekonomi itu macam pasar," ujarnya setelah saya bertanya mengenai pangalamannya.

"Mas, dulu kalau mau naik kereta memang tidak ribet. Tapi satu gerbong itu bisa berasa satu pasar," ujarnya.

"Yah walaupun sudah baik. Tapi namanya kelas ekonomi ya begini. Kursinya aja tidak bisa digeser buat posisi enak badan," keluhnya.

Benar juga sih, sedari tadi saya sempat mencari tombol agar memiringkan sedikit. Lama ku saya cari, ternyara tidak ada.

Sebentar saja kami mengobrol. Kursi kosong didepannya harus diisi penumpang yang naik dari stasiun Cirebon.

Setengah jam kemudian. Satu pria dan satu wanita mendorong troli makanan ke gerbong. Berhenti tepat di kursi yang saya duduki. Saya sudah bersiap-siap menerima makanan. Ternyata, tidak demikian. Makanan itu harus diperoleh dengan merogok kocek. 

Dua orang sebelumnya diam-diam saling melirik dan tertawa kecil. Sama seperti saya yang berharap.

Kereta masih melaju. Masih beberapa jam lagi sampai ke tujuan. Awalnya saya pikir kereta lansung. Saat membeli tiket, tertera kereta langsung. Ternyata tidak, mampir disetiap stasiun.

Saya penasaran berapa harga makanan ini sehingga banyak yang tidak membeli. Lebih memilih bawa cemilan atau makanan sendiri. Jadilah saya ke dapur tak jauh dari gerbong saya.

Saya pesan satu paket bungkus makanan dan segelas kopi. Di masak secepat kilat. Dan memang agak mahal, 40 ribu rupiah belum kopi. 

Makan sambil memikirkan, jika semahal ini tentu saja banyak yang harus menahan duit untuk membeli makanan. Kenapa tidak sedikut murah atau ada makanan gratis? Mungkin ada hitung-hitungannya yang bisa membikin harga dan sistem demikian. Untuk pemasukan tentunya.

Enam jam kemudian. Tujuan saya hampir sampai. Satu perempuan disampingku sebelumnya sudah berganti dengan seorang penumpang. Aku perkirakan umurnya 60 an. Ia sebelumya mencari-cari kursi sebelum seorang penumpang membawanya ke tempat dia harus duduk sesuai yang tertera di tiket.

Turun saya di stasiun Semarang Tawan. Berpamitan pada beberapa kenalan. Dan lalu kereta berangkat lagi. 

Gambaran singkat yang saya tangkap begitu berkesan. Bagiku, transportasi kereta api adalah alternatif penting dalam hal efisiensi dan waktu. Bertranformasi dari waktu ke waktu.

Pelayanan, kenyamanan, dan berbagai strategi terus dikembangkan. Demi keberlangsungan perusahaan milik negara ini. Namuj masih perlu banyak perubahan. Saya tidak skeptis hanya berpikur bahwa kenapa kelas-kelas dalam struktur sosial selalu melekat dalam setiap jasa perhubungan. 

Kelas ekonomi memang paling bawah. Dari semua tawaran fasilitas. Tentu dengan kemampuan kantong. Namun perbaikan harus dilakukan seperti fasilitas dan lain-lain.

Terlepas dari itu, saya menikmati perjalanan dengan gerbong ekonomi. Banyak yang saya kenal. Berbagi cerita, makanan hingga tukaran nomor. Cerita berbeda mungkin jika saya berada digerbong yang lebih atas, di mana ekslusifitas terdepan. (Sukur dofu-dofu)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun