"Mas, dulu kalau mau naik kereta memang tidak ribet. Tapi satu gerbong itu bisa berasa satu pasar," ujarnya.
"Yah walaupun sudah baik. Tapi namanya kelas ekonomi ya begini. Kursinya aja tidak bisa digeser buat posisi enak badan," keluhnya.
Benar juga sih, sedari tadi saya sempat mencari tombol agar memiringkan sedikit. Lama ku saya cari, ternyara tidak ada.
Sebentar saja kami mengobrol. Kursi kosong didepannya harus diisi penumpang yang naik dari stasiun Cirebon.
Setengah jam kemudian. Satu pria dan satu wanita mendorong troli makanan ke gerbong. Berhenti tepat di kursi yang saya duduki. Saya sudah bersiap-siap menerima makanan. Ternyata, tidak demikian. Makanan itu harus diperoleh dengan merogok kocek.Â
Dua orang sebelumnya diam-diam saling melirik dan tertawa kecil. Sama seperti saya yang berharap.
Kereta masih melaju. Masih beberapa jam lagi sampai ke tujuan. Awalnya saya pikir kereta lansung. Saat membeli tiket, tertera kereta langsung. Ternyata tidak, mampir disetiap stasiun.
Saya penasaran berapa harga makanan ini sehingga banyak yang tidak membeli. Lebih memilih bawa cemilan atau makanan sendiri. Jadilah saya ke dapur tak jauh dari gerbong saya.
Saya pesan satu paket bungkus makanan dan segelas kopi. Di masak secepat kilat. Dan memang agak mahal, 40 ribu rupiah belum kopi.Â
Makan sambil memikirkan, jika semahal ini tentu saja banyak yang harus menahan duit untuk membeli makanan. Kenapa tidak sedikut murah atau ada makanan gratis? Mungkin ada hitung-hitungannya yang bisa membikin harga dan sistem demikian. Untuk pemasukan tentunya.
Enam jam kemudian. Tujuan saya hampir sampai. Satu perempuan disampingku sebelumnya sudah berganti dengan seorang penumpang. Aku perkirakan umurnya 60 an. Ia sebelumya mencari-cari kursi sebelum seorang penumpang membawanya ke tempat dia harus duduk sesuai yang tertera di tiket.