"Ampuun. Kalau sekarang jangan bilang kakak, kami harus jalan sejam dua jam ke dalam hutan baru bisa dapat," bebernya.
"Iya sudah kurang, karena banyak yang menangkap berlebihan. Sama sejak kerusuhan (konflik agama) banyak yang pulang kampung dan menggarap kebun hingga dasar hutan," jelasku.
Ia tak memahami maksdku. Belum juga saya jelaskan, suara jeritan terdengar di lokasi pemasangan papidi. Ia lari terburu-buru, takut jika buruannya lepas.Â
"Kakak dapat dapat," dari jauh ia berteriak.
Lima belas menit kemudian ia membaaa tiga ekor Beleu. Dengan jebakan yang sudah ia lepas. Sebab jika tak dilepas dan dipasang lagi, jebakan tersebut akan membunuh Beleu karena tidka ditengok.Â
Memasang jebakan wajib hukumnya ditengok setiap hari, pagi dan sore. Jika tidak maka buruan bisa mati atau di curi orang.
"Kakak, seumur-umur saya bikin papidi, baru dapat banyak begini," bangganya sembari memerhatikan tiga burannya itu.
"Sekarang kamu taukan betapa jagonya kakak," ledekku.
"Hebat-hebat," pujinya.
Dulu, di awal tahun 90-an, hewan satu ini sangat berjibun. Bisa ditemukan di mana saja. Bahkan bisa terlihat didalam kampung. Terkenal liar untuk ditangkap memakai tangan.Â
Warga bisa berburu memakai Papidi atau jebakan tradisional yang sudah ada turun temurun. Dalam sehari kami bisa memperoleh di atas sepuluh ekor.Â