Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jujaga, Tradisi Menjaga Waktu Sholat

6 Agustus 2022   18:08 Diperbarui: 9 Agustus 2022   08:15 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Badan sarra pengurus Masjid di Desa (Dokpri)

"Tidak ke kebun hari ini?,"

"Tidak, lagi Jujaga" balas pria berumur 38 tahun ini ketika kami berpapasan di jalan desa.

Seminggu kedepan, Ia tidak akan bekerja berat-berat seperti ke kebun hingga sore, memanen pala, membuat kopra atau bepergian ke kota; kecuali sangat mendesak. Ia hanya akan ke kebun pagi hari dan akan pulang pukul 10 atau 11 siang.

Pria dua anak ini rupanya sedang tugas Jujaga: menjaga waktu sholat bagi warga di desa ku Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan. Sebuah tugas yang mengharuskan dirinya tidak bisa kemana-mana. 

Jujaga merupakan tugas yang menjadi pekerjaan penting bagi dirinya dan beberapa orang modim; marbot mesjid di Desa.

Seseorang yang tiba gilirannya Jujaga, akan selalu stay di desa dan menjaga waktu sholat lima waktu. Tugas ini memang terbilang sederhana, tetapi menjaga waktu sholat bukanlah perkara muda.

Satu jam atau tiga puluh menit sebelum masuk waktu sholat, tugas seorang jujaga sudah harus dilaksanakan. Mula-mula ia akan membersihkan diri, kemudian menuju masjid, membuka pintu, memutar Tarhim, menyapu kemudian dalam perjalanan menuju waktu, ia akan terus membunyikan beduk masjid.

Pukulan awal adalah pengingat. Kemudian pukulan kedua, ketiga hingga ke tujuh. Ada jeda di setiap pukulan biasanya 10-15 menit per pukulan. Jika sudah pukulan terakhir maka ia langsung mengumandangkan adzan. Utamanya di waktu sholat Magrib.

Warga desa sendiri sudah paham perihal ini, terutama di malam Jumat dan Hari Jum'at. Setiap pukulan beduk yang mereka dengarkan mengawali persiapan-persiapan yang di lakukan warga untuk sholat.

Pukulan pertama biasanya warga masih santai dan mengerjakan aktivitas namun jika sudah naik ke 4-7 biasanya mereka sudah siap dan sudah menuju masjid sebelum adzan di kumandangkan.

Tugas Jujaga setelah adzan kemudian mengumandangkan Khomat. Dan sangat jarang membawa sholat lantaran tugas tersebut bukan tugasnya melainkan tugas badan sara lain, seperti imam, wakil imam dan beberapa struktur yang berhak memimpij sholat.

Tetapi jika diantara mereka berhalangan hadir, maka soerang Jujaga harus mengemban tugas membawa sholat. Perkara ini di kampungku sangat ketat. 

Hirarkinya sangat jelas dan sangat jarang warga di luar strukutur mereka membawa sholat. Adzan masih mungkin dilakukan oleh warga setelah ada izin dari Jujaga.

Sementara seperti Khotbah Juma'at, dan membawa sholat bisa dilakukan oleh warga dengan status pemuka agama hingga seseorang yang dihormati dalam kehidupan sosial.

Marbot masjid di desaku disebut dengan Badan Sara. Mereka merupakan orang-orang pilihan dan tidak sembarangan di pilih. Unsur paling pertama ialah pengusasaan ilmu agama utamanya hafalan Qur'an dan yang kedua adalah garis keturunan.

Menjadi imam misalnya, tidak sembarangan dipilih oleh pengurus masjid lantatan ada tata cara dan metode. Pertama, jika orang tuanya dulu pernah menjadi imam maka otomatis keturunannya berpeluang besar menjadu imam masjid.

Tentu tidak langsung jadi, mereka harus terlebih dulu memulai dari bawa seperti menjadi jujaga lalu naik perlahan. 

Berikutnya guru ngaji, jika keturunan tidak mau menjadi imam atau badan sara, modim maka kandidat jatuh kepada guru ngaji, tetapi tetap saja rekam jejak keturunan tak luput di kaji.

Pemilihan imam menjadi salah satu hal paling krusial. Jika imam sudah meninggal misalnya, tak langsung otomatis wakil imam menjadi imam. Ada tata cara pengangkatan yang melibatkan masyarakat, pemuka desa dan pemuka agama. Sebab kepercayaan bahwa imam adalah sosok penting ranah kegamaan. Orang paling penting dari semua struktur masyarakat sosial di desaku.

Terdapat struktur dalam badan sara, atau modim mulai dari ketua atau imam masjid, wakil imam, sekertaris, pembawa khutbah, dan sisanya anggota. Dapat dilihat dari baju yang mereka kenakan. Hijau, adalah imam, hijau muda adalah wakil imam, biru adalah yang sering mambawakan khutbah dan putih adalah anggota.

Walau begitu, hanya imam masjid yang tidak melakukan jujaga, dan yang lainnya tetap menadapat giliran jujaga dengan sistem roling setiap minggi yang diawali di hari Jum'at dan berakhir di hari Jum'at juga.

Jika tiba giliran jujaga namun ia punya kepentingan mendesak misalnya harus ke kota, maka akan digantikan dengan yang lain. Nanti setelah pulang, ia akan mengganti waktu orang yang menggantikannya.

Tugas jujaga tidak hanya sekedar menjaga waktu sholat tetapi lebih dari itu. Jika pada saat gilirannya melaksanakan tugas Jujaga lalu ada warga yang meninggal maka tugasnya bertambah.

Ia harus ke rumah duka, kemudian melakukan pengukuran lalu membawa ukuran tersebut ke tanah pekuburan dan mengukur sebesar apa kubur tersebut sesuai ukuran yang di bawah dan kemudian menggarahkan masyarakat menggali kubur.

Di desa tidak memakai jasa penggalu kubur, semua masih dilakukan masyarakat. 

Dalam proses itu ia terus bolak balik dari rumah duka dan kuburan. Di rumah duka tugasnya banyak, seperti memotong kain kafan dll. Sementara di kuburan ia harus memastikan apakah kedalaman kubur itu sudah sesuai atau belum. Jika sudah maka dibuat kamar lalu setelah selesai ia akan melapor ke imam dan proses pemandian hingga perbukuran bisa berjalan.

Selain tugas lain ialah membantu warga jika butuh bantuan dalam hal kegaamaan seperti membaca doa kecil-kecilan di rumah dan ranah-ranah yang berkaitan dengan keagamaan.

Tugas Jujaga terkesan ringan namun sungguh sangat berat. Jika tak ada struktur dan keterlibatan mereka di desa maka hal-hal yang sering terjadi di perkotaan bakalan terjadi.

Saya berulang kali menemukan ketika tiba waktu sholat, kadang saling menolak untuk adzan hingga kadang melewati waktu adzan. Masyarakat saling tolak menolak. Hal ini lantaran rutinitas warga yang terlampau sibuk hingga kadang masjid menjadi kosong.

Sementara di desa kehadiran modim selalu menjalankan tugas mereka dengan baik. Walau tidak digaji. Yap, mereka tidak di gaji sedikitpun.

Status keanggotaan pun tidak memakai periode. Mereka bisa mengabdikan diri hingga ajal menjemput. Namun juga bisa meminta berhenti jika sudah tua.

Tugas mereka berada pada ranah keagamaan. Seperti tahlilan, selamatan, nikahan, orang meninggal dll. Semua dikerjakan sebagai pihak yang paling utama dalam ritual keagamaan dan tradisi kebudayaan.

Mereka adalah orang-orang yang paling dihormati di desa. Walau pada pergaulan sosial tak ada sekat yang ditampakan. Semua berjalan seperti umumnya menjadi masyarakat desa.

Berbaur, bercanda, saling membantu, adalah sekian interaksi tanpa sekat yang dipraktekan. Jika ada hajatan mereka tetap seperti masyarakat biasa, mengambil kayu, membela kayu, mengupas kelapa, membuat minyak kelapa, mengambil sayur di hutan, membuat tenda dll.

Tetapi ada satu yang saya tangkap. Orang-orang seperti mereka sangat menjaga kewibawaan, nilai agama dan tatacara keislaman terutama di keluarga. Sehingga jika ada kasus misalnya anak-anak melakukan kesalahan besar, mereka dengan legowo mengundurkan diri menjadi Badan Sara.

Ini dilakukan agar tidak ada unsur pencelahaan dan menganggu rutinitas tugas mereka. Intinya mereka "malu" sebagai badan sara, anak-anak atau keluarga mereka justru keluar dari jalur keagamaan.

Di Maluku Utara, masih terdapat beberapa desa yang memakai tradisi seperti ini. Namun di beberapa wilayah sudah tidak di praktekan.

Unsur penting adalah bahwa tradisi menjaga waktu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaruh beberapa Kesultanan besar di Maluku Utara. Seperti kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.

Menjaga waktu dengan struktur dan tatakrama yang dipraktekan ditenggarai bermula dari adannya pengaruh kesultanan terutama fase di mana kesultanan masuk dalam ranah Keislaman. 

Bagi saya, apapun itu. Tugas mereka menjaga waktu sholat lima waktu dalam islam merupakan tugas mulia yang mungkin saya sendiri tak akan mampu menjalankannya lantaran aspek kesibukan dan kepentingan. 

Berbeda dengan mereka yang menjalankan tugas itu tanpa beban walau pala, atau kelapa sudah harus panen. (Sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun