Mereka adalah orang-orang yang paling dihormati di desa. Walau pada pergaulan sosial tak ada sekat yang ditampakan. Semua berjalan seperti umumnya menjadi masyarakat desa.
Berbaur, bercanda, saling membantu, adalah sekian interaksi tanpa sekat yang dipraktekan. Jika ada hajatan mereka tetap seperti masyarakat biasa, mengambil kayu, membela kayu, mengupas kelapa, membuat minyak kelapa, mengambil sayur di hutan, membuat tenda dll.
Tetapi ada satu yang saya tangkap. Orang-orang seperti mereka sangat menjaga kewibawaan, nilai agama dan tatacara keislaman terutama di keluarga. Sehingga jika ada kasus misalnya anak-anak melakukan kesalahan besar, mereka dengan legowo mengundurkan diri menjadi Badan Sara.
Ini dilakukan agar tidak ada unsur pencelahaan dan menganggu rutinitas tugas mereka. Intinya mereka "malu" sebagai badan sara, anak-anak atau keluarga mereka justru keluar dari jalur keagamaan.
Di Maluku Utara, masih terdapat beberapa desa yang memakai tradisi seperti ini. Namun di beberapa wilayah sudah tidak di praktekan.
Unsur penting adalah bahwa tradisi menjaga waktu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaruh beberapa Kesultanan besar di Maluku Utara. Seperti kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Menjaga waktu dengan struktur dan tatakrama yang dipraktekan ditenggarai bermula dari adannya pengaruh kesultanan terutama fase di mana kesultanan masuk dalam ranah Keislaman.Â
Bagi saya, apapun itu. Tugas mereka menjaga waktu sholat lima waktu dalam islam merupakan tugas mulia yang mungkin saya sendiri tak akan mampu menjalankannya lantaran aspek kesibukan dan kepentingan.Â
Berbeda dengan mereka yang menjalankan tugas itu tanpa beban walau pala, atau kelapa sudah harus panen. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H