Aku mengikuti suasana tersebut sembari curi-curi pandang.
Darinya dan beberapa pedagang lain yang mendengar pertanyaan ku, saya mendapatkan gambaran keinginan dan konflik yang tak berujung.Â
Ikan jualan yang berasal dari keluarga mereka sebagai nelayan utamanya nelayan handline ini kebanyakan langsung dijual ke menjual ke konsumen sehingga menerima keuntungan langsung tanpa potongan pedagang perantara.
Lokasi tempat mereka menjajakan ikan memang potensial. Berada di pinggir jalan utama yang banyak dilalui masyarakat. Namun terbesit dalam tanya, kenapa mereka harus berjualan di sini sementara jarak mereka dengan pasar tak kurang dari 200 meter.
" Kenapa berjualan di sini dan tidak berjuaan di pasar,"? Tanyaku
" Tidak ada tempat dan pembeli sedikit." jawabanya di iyakan juga oleh beberapa pedagang lain. Aku mencoba menguraikan dua kondisi ini dengan hati-hati.
" Full ya," tanyaku
" Tidak, tapi masuk dan berjualan di dalam pasar harus ada kenalan. Terus harus beli lapak kalau tidak sewa ke beberapa orang. Sudah begitu mahal, bisa jutaan perlapak," Jawab mereka.Â
Saya mengejar pernyataan berapa biaya yang harus di keluarkan untuk memperoleh lapak namun tak ada jawaban.
Kondisi ini mengingatkan saya pada  beberapa kasus yang terjadi di Kota Ternate di mana jual beli lapak di pasar tradisional selalu menggemparkan ketika mencuat ke permukaan.Â
Tak main-main, satu lapak bisa dibeli di atas 20-50 juta rupiah. Proses ini dilakukan oleh oknum-oknum yang masih membawahi pasar.