Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gadis Manis, Pedagang Eceran Pinggir Jalan

23 Juli 2022   00:09 Diperbarui: 23 Juli 2022   00:11 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Alkisah, di penghujung 2020 silam dalam sebuah perjalanan memenuhi hasrat dan kepentingan riset, saya mengunjungi pasar tradisional yang berada di Pulau bacan, yakni pasar Tembal dan Pasar Babang. 

Di sini, aku menemui banyak pedagang eceran yang menjajakan berbagai jenis ikan. 

Namun yang menarik perhatian, ketika saya menemui beberapa pedagang ikan eceran  yang berjualan di pinggir jalan Tembal tak jauh dari pasar tradisional Tembal. Pasar Tembal sendiri merupakan pasar sementara pindahan dari pasar sebelumnya, Labuha. 

Pasar ini nantinya akan pindah lagi ke Pasar modern yang dibangun pemerintah daerah di  Desa Panamboang, dekat dengan PPI Panamboang. 

Pedagang yang kebanyakan ibu-ibu menjajakan ikan hasil tangkapan para suami yang berprofesi sebagai nelayan handline. Di sinilah saya bertemu gadis cantik dan rupawan itu.

*

Waktu sudah menjukan pukul sepuluh pagi,  mentari berlahan menunjukan keperkasaan. Ikan-ikan yang dijejerkan di atas baskom berlahan tersinari ketika saya memutuskan mampir.  Kehadiran saya rupanya menyita perhatian. Satu persatu menawarkan ikan, dipikirnya saya konsumen potensial yang membawa rejeki. 

Saya menampik dengan jurus andalan yang sering digunakan belakangan ini yakni sebagai peneliti yang membutuhkan responden. Di terima lah saya, walau nampak sedikit raut kekecewaan. Namun, mereka terbuka untuk diwawancarai. 

Beberapa saat mengobrol dengan beberapa diantara mereka,  seorang gadis cantik yang berjualan di pojokan memantik rasa penasaran.

Saya tinggalkan dengan terhormat para pedagang lainnya dan melangkah pelan menuju ke arahnya. Berharap penuh ingin berbincang dengan dan mengorek informasi.

" Boleh di ganggu?," izinku.

" Kenapa ya," Tanya ia penasaran. Raut wajahnya yang cantik seakan menutupi rasa penasarannya

"Saya, ingin wawancara," Ujarku

" Waduh.. wawancara apa, saya malu,' Jawabnya dengan raut wajah yang sedikit memerah. 

Aku tak menampik itu, kami barusan melempar senyum yang membuat hati sedikit bergetar. Bola matanya putih bersih, seputih salju. Rambutnya yang sedikit kemerahan ia tutupi dengan sebuah handuk kecil yang masih nampak ujung rambutnya yang menjuntai.

" Tidak apa, aman kok," aku meyakinkan gadis jelita ini agar mau di interogasi. 

Aku tau, Ia takut jikakalau salah berkomentar dan menampik masalah. Layaknya pedagang lain yang juga harus kubujuk susah payah.

Penjelasan sederhana yang saya berikan akhirnya memantik  keberaniannya untuk di wawancarai. Lewat ringannya obrolan sebagai pembuka, saya mendapatkan gambatan tentangnya. 

Gadis manis ini  sudah dua tahun lulus bangku SMA ini berjualan dan menjajakan ikan beberapa pedagang lainnya. Dan, tak melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi lantaran alasan yang tak ingin disebutkannya.

 Saya memaklumi, toh tidak masuk dalam kebutuhan penelitian ku. 

Kami terus mengobrol. Ia malu-malu menjelaskan setiap pertanyaan yangdiajukan.  Sesekali dalam proses wawancara, ia melayani konsumen yang berbelanja. Ikan cakalang atau ikan lainnya yang dijual juga terlihat tinggal beberapa ekor. 

Aku mengikuti suasana tersebut sembari curi-curi pandang.

Darinya dan beberapa pedagang lain yang mendengar pertanyaan ku, saya mendapatkan gambaran keinginan dan konflik yang tak berujung. 

Ikan jualan yang berasal dari keluarga mereka sebagai nelayan utamanya nelayan handline ini kebanyakan langsung dijual ke menjual ke konsumen sehingga menerima keuntungan langsung tanpa potongan pedagang perantara.

Lokasi tempat mereka menjajakan ikan memang potensial. Berada di pinggir jalan utama yang banyak dilalui masyarakat. Namun terbesit dalam tanya, kenapa mereka harus berjualan di sini sementara jarak mereka dengan pasar tak kurang dari 200 meter.

" Kenapa berjualan di sini dan tidak berjuaan di pasar,"? Tanyaku

" Tidak ada tempat dan pembeli sedikit." jawabanya di iyakan juga oleh beberapa pedagang lain. Aku mencoba menguraikan dua kondisi ini dengan hati-hati.

" Full ya," tanyaku

" Tidak, tapi masuk dan berjualan di dalam pasar harus ada kenalan. Terus harus beli lapak kalau tidak sewa ke beberapa orang. Sudah begitu mahal, bisa jutaan perlapak," Jawab mereka. 

Saya mengejar pernyataan berapa biaya yang harus di keluarkan untuk memperoleh lapak namun tak ada jawaban.

Kondisi ini mengingatkan saya pada   beberapa kasus yang terjadi di Kota Ternate di mana jual beli lapak di pasar tradisional selalu menggemparkan ketika mencuat ke permukaan. 

Tak main-main, satu lapak bisa dibeli di atas 20-50 juta rupiah. Proses ini dilakukan oleh oknum-oknum yang masih membawahi pasar.

Aku meninggalkan pertanyaan tersebut. Tak ingin menampik lebih banyak kemarahan. Suara-suara sumbang mereka terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Amarah sesekali akan memuncak jika sudah penuh dan sesak di dada. 

Alasannya sederhana yang kuperoleh berikutnya ialah, lokasi ini dekat dengan rumah sehingga tidak merepotkan, berjualan pagi dan sore hari. Tidak seperti di pasar lantaran harus tetap stay dengan pembeli yang tidak pasti. Peluang ikan mereka laku lebih banyak lantaran lalu lalang masyarakata di jalan utama ini.

Beberapa pedagang eceran yang kutemui baik di pasar Tembal, Babang hingga di lokasi PPI yang memiliki lapak, tak mengungkapkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat tempat, namun rata-rata kompak menjawab ada retribusi yang dikeluarkan antara 2000-3000 rupiah. Ini bagiku harga yang pantas karena retribusi merupakan sumber pendapatan bagi daerah.

Empat puluh menit saya mewawancarai gadis cantik ini, dan harus pamit. Lembaran terakhir kuesioner telah habis. 

Saya malu-malu pamit. Namun, ada satu keinginan untuk mengajukan pertanyaan yang sudah tertanam dalam diri sedari tadi. paras cantiknya menganggu fokus saya sedari tadi. 

Hasrat untuk mengenal lebih jauh mulai tertanam. Saya tak menampik tentang pandangan pertama yang mengesankan. 

Segenap keberanian saya kumpulkan, mencari waktu yang tepat agar suara ku tak terdengar pedagang lain. Pelan namun pasti saya  melempar pertanyaan.

" Maaf, sudah punya pacar belum, mungkin bisa kenal lebih jauh," tanyaku memberanikan diri.

" Aduh maaf banyak ya, saya sudah menikah. Punya satu anak,' jawabnya

Deg.. Pupus sudah harapanku. Aku pergi dengan rasa malu tak terhingga. (sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun