Bang, kalau balik lagi kesini bawakan saya buku ya," pinta salah satu pemuda desa berumur 26 tahun saat saya mengutarakan akan kembali ke kota.
Permintaannya bukan tak beralasan. Sudah sejak lama Ia meminanti karya-karya sastra. Ia begitu memuja penulis-penulis tersohor, semisal WS. Rendra, Taufik Ismail, Khalil Gibran, Sapardi Tjokodamono dll.
Pemuda yang putus sekolah di bangku kelas dua SMA ini selalu mengutip karya-karya mereka di status medsosnya. Pun di saat ngobrol yang tak lupa sesekali Ia bumbuhi kata-kata mutiara.
Namun, keterbatasan pada akses buku membuatnya kesulitan membaca buku. Ia tak berharap banyak pada anak-anak desa yang berstatus mahasiswa. Faktor malu hati membuatnya tak meminta buku atau meminjam apalagi statusnya sebagai anak putus sekolah.
Pun jika tak diminta, mahasiswa yang kembali ke kampung tak berminat pada pengembangan literasi desa. Mereka acuh dengan lingkungannya sendiri.
Ibarat kata, saat kembali ke kampung, status mahasiswa dan keilmuan yang dipikul tak di amalkan. Dari persoalan sosial hingga aspek-aspek yang nyata. Asik pada zona nyaman, bahwa kembali ke desa adalah rehat dari segala jenis keilmuan.
Buku bagi seglintir mahasiswa hanyalah bagian dari "Pencitraan". Tak ada yang benar-benar serius mencintai buku. Buku hanyalah alat pamer di medsos, sebuah identitas pencitraan ala mahasiswa. Foto membaca buku lalu memposting dengan sedikit kata-kata apik untuk memantik respon dari nitizen.
Sehingga sering lahir istilah "membaca buku terbolak balik" yang pada konklusinya berkaitan dengan pola dan metode berpikir.
Pernah berkoar-koar membangun rumah baca guna mengenalkan buku pada generasi muda yang duduk di bangku Sekolah. Tetapi, terbentur oleh ideologi mereka sendiri. Banyak yang tak pro atas pendirian rumah baca, banyak pula yang acuh dan hanya segelintir dari mereka yang akhirnya juga ikut membiarkan ide literasi itu menjadi mimpi tanpa tindakan nyata.
Mimpi agar anak-anak membudayakan membaca sebagai fonadasi keilmuan tinggal mimpi. Padahal, kehadiran rumah baca ditenggarai dapat meminimalisir kecanduan gadget anak-anak sekolah di desa yang memprihatinkan.
Padahal, anak-anak yang sedari dini dikenalkan dengan dunia literasi akan mampu mempengaruhi pola pikir mereka kedepan. Minimal, mencintai buku dan gemar membaca. Mandiri dalam berpikir.
Konklusi dari pengembangan literasi ialah masyarakat dapat memiliki fondasi literasi dan sosial yang kokoh terutama anak muda untuk mendorong terciptanya proses transformasi ke kehidupan sejaterah.
Sehingga, untuk membaca buku, ia harus menunggu pemberian atau pinjaman dari teman-temannya yang sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Satu dua buku itulah yang kemudian ia baca berulang-ulang.
Permintaannya tersebut membuat saya berjanji, jika kembali lagi ke desa akan membawa buku sebagai hadiah kepadanya. Minimal saya memberikan buku kepada orang yang tepat.
*
Lemari buku empat rak yang ada disudut ruangan tampak berdebu. Sudah empat tahun lamanya tidak terurus semenjak saya memutuskan ke Jakarta. Didepannya nampak tumpukan dus pakaian bekas.
Buku-buku didalamnya nampak menguning dan berdebu. Susunan buku yang semula rapi juga nampak berantakan. Padahal, buku yang ada didalamnya berasal dari berbagai daerah yang saya kumpulkan.
Kebanyakan berasal dari Yogyakarta tahun 2009 silam. Hasrat membaca buku membawa saya menyambangi kota pelajar tersebut lalu belanja sebenyak-banyaknya. Hal ini lantaran periode itu, belum ada tokoh buku semisal Gramedia.
Andai saja Ia bernyawa, mungkin buku-buku di lemari ini paling merana. Haus akan perhatian dan kasih sayang. Padahal buku adalah jendela ilmu. Tak bernyawa namun dapat menghidupkan, membesarkan, mendidik seseorang pembaca.
Banyak pemimpin dunia, penulis, dan orang-orang hebat yang kehadirannya membuat pembeda. Mereka adalah orang-orang yang mencintai buku dan pembaca yang sangat haus.
Sungguh malang buku-buku ini, padahal buku ini sengaja di letakan dengan tak terkunci agar anak-anak yang bertandang ke rumah dapat membaca dengan leluasa. Tanpa perlu mencuri milik teman atau milik perpustakaan kampus. Justru selama empat tahun ini, tak tersentuh.
Jika dikunci terlalu privat, saya kemudian sengaja meletakan di kamar, di atas meja dan sudut-sudut rumah tempat mereka nongkrong. Namun yang dijumpai justru buku-buku ini berakhir di atas lemari pakaian, di bawah kolong tempat tidur dan berserakan kemana-mana. Tak tersentuh.
Justru kehadiran mereka setiap kali bertandang hanya online dan bermain game. Menghabiskan waktu dengan mabar hingga pagi hari. Begitu seterusnya hingga menjadi sebuah candu yang tak berujung.
Minat pada buku dan implikasi rendahnya minat membaca
Indonesia adalah satu negara yang berupaya menggalakan mencintai buku dan membaca. Bahkan merupakan salah satu negara yang bergabung dalam Program for Internastional Student Assesment (PISA).
Sejak mengikuti program ini, data-data tentang kemampuan membaca siswa di Indonesia masih berada di bawah kelompok negara yang mengikuti assement. Sementara data dari Progres in International Literacy Study (PILS) dan Early Grade Reading Assesment (EGRA) juga mengungkapkan bahwa Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara kemampuan literasi pada tahun 2017. (Tahmidaten dan Krismanto 2020).
Data di atas dapat menjadi landasan betapa lemahnya tingkat literasi di Indonesia terlepas dari jumlah sampel yang diambil sehingga melahirkan kesimpulan yang demikian. Tetapi, sebagai negara yang memgunakan data sebagai bangunan analisa, tentu ini adalah problem yang sangat serius.
Berangkat dari data pula, jika ditelisik pada beberapa tahun belakangan tingkat minat baca sudah mengalami sedikit perbaikan.
Berdasarkan salinan Rencana Strategis Perpustkaan Nasional 2020-2024, hasil Kajian Budaya Baca Masyarakat Indonesia tahun 2019 menunjukkan rata-rata tingkat kegemaran membaca sebesar 53,84 atau berada pada kategori “sedang”. Jumlah ini menujukan angka yang meningkat dari target dan realisasi dari tahun 2016-2019.
Sementara berdasarkan Katatada Id. Jumlah ini terus meningkat di tahun 2020 sebesar 55.74 point atau meningkat dari tahun 2019 sebesar 1.9 point. rata-rata kegiatan membaca masyarakat Indoensia empat kali dalam sepekan. Durasi membaca rata-rata sekitar 1 jam 36 menit per hari. Adapun, jumlah buku yang dibaca rata-rata dua buku per tiga bulan. (1)
Data ini tentu memberikan gambaran bahwa upaya dalam mendorong minat baca di Indonesia berlahan namun pasti sedikit terwujud. Namun walau begitu, posisi ini masihlah sangat rendah dibanding negara-negara lain. Bahkan menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. (2)
Ada berbagai problem yang menyebabkan rendahnya minat baca. Dalam penelitian Thamitade dan Krismanto (2020) menemukan beberapa alasan yakni ; salah presepsi tentang kemampuan membaca pada sebagaian masyarakat termaksud guru dan siswa, kemampuan membaca masih dipresepsikan sebagai bagian dari mata pelajaran saja serta belum maksimalnya sarana prasarana dan perpustakaan sekolah sebagai pusat pengembangan kemampuan membaca.
Point terakhir ini juga menjadi catatan penting. Di mana perpustakaan sekolah masih banyak yang memiliki sarana prasarana semisal buku yang kurang serta belum dimaksimalkan sebaik mungkin.
Menurut data Perpustakaan Nasional, Indonesia adalah negara terbesar kedua dengan jumlah perpustakaan terbanyak setelah India. Dari ttahun 2014-2019, total perpustakaan secara nasional, yaitu sebanyak 164.610 yang tersebar di 34 provinsi di
Indonesia. 164.610 perpustakaan tersebut, terdiri dari 42.460 perpustakaan umum, 6.552 perpustakaan khusus, 113.541 perpustakaan sekolah/madrasah, dan 2.057 perpustakaan perguruan tinggi.
Jumlah ini tentu sangat banyak akan tetapi kenapa minat membaca buku berada di kategori rendah? tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Namun bagi saya permasalahan utama ialah belum terintegrasinya dengam baik.
Pada perihal sistem, masih banyak perpustakaan yang bergaya klasik dan kaku melakukan inovasi. Sehingga cenderung membosankan. Banyak perpustakaan juga menerapkan aturan-aturan ketat yang justru menghambat banyak orang untuk berkunjung. Di tambah banyak perpustakaan memiliki sistem akses yang berbeda-beda.
Padahal, sebagai kiblat ilmu di mana banyak sekali terdapat literatur, perpustakaan harusnya memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam mengakses segala hal yang terdapat didalamnya.
Selain itu, perpustakaan juga terpusat di perkotaan, di kampus atau sekolah-sekolah besar dan belum menyentuh ke pelosok negeri. Banyak perpustakaan di pelosok negeri sangat kekurangan buku dan hanya menunggu pengadaan dari dinas terkait. Padahal jika pembangunam sistem merata, maka akses buku di semua negeri dapat terwujud.
Pun dengan gerakan perpustakaan mandiri semisal rumah baca yang harus terlunta-lunta baik dalam pendanaan,SDM maupun bahan literasi. Rumah baca sebagai garda terdepan literasi di desa harusnya mendapat perhatian lebih.
Dengan mendorong dan mendukung gerakan literasi rumah baca maka akses terhadap bahaan bacaan tidak menajadi pincang sebab semua orang dapat mengakses buku dengan baik. Gerakan ini adalah upaya aktif dari program literasi berbasis gerakan.
Dorongan untuk menumbuhkan minat baca selain dari sarana prasarana juga perlu didorong lewat diri sendiri dan lingkungan tempat seseorang berada. Keluarga adalah aktor utama bagaimana menumbuhkan minat baca dan mencintai buku.
Keluarga harus aktif mencontohkan bagaimana praktek membaca kepada anak-anak. Sebab hal ini berkaitan dengan psikologis seorang anak.
Berdasakan penelitian dari Departemen Pediatri Fakultas Kedokteran New York University (NYU), bahwa membaca buku dengan anak dapat meningkatkan kemampuan mengenal kosakata dan kemampuan membaca.
Buku adalah wadah ilmu, olehnya itu perlu menumbuhkan gerakan membaca agar terciptanya kondisi generasi yang berkualitas. (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H