Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan-perempuan Pesisir

8 Maret 2021   23:28 Diperbarui: 9 Maret 2021   02:22 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teramat banyak sudah gambaran tentang wanita atau perempuan. Tentang pujian, kasih sayang, cinta hingga skeptisme dan sinisme. 

Dan Jouy misalnya, menggambarkan bahwa tanpa wanita awal kehidupan tak akan tertolong, kenikmatan akan menghilang semasa hidup kita dan dititik akhir hidup, hiburan akan meningglkan kita. 

Sementara dalam pandangan sinisme banyak pula hadir filsuf seperti Schopenhauer yang menitikberatkan pada kodrat di mana wanita tak seperti lelaki yang punya kodrat kekuatan fisik serta akal budi, mereka hanya diberi keterampilan untuk berpura-pura demi perlindungan dan kelangsungan hidupnya (Baca, Shindunata 2019)

Semua hadir dalam satu bingkai dan sudut pandang yang berbeda-beda. Memberikan warna pada ruang "perdebatan" tentang iya atau tidak. Tentang lemah atau tidak hingga lahirlah konsep patriarki.

Konsep ini kemudian melahirkan  gerakan kesetaraan atau gender. Apalagi semenjak adanya gerakan deklarasi oleh kaum perempuan pada tahun 1963 lewat resolusi yang di ultimatum langsung oleh badan ekonomi sosial PBB. 

Kekuatan gerakan ini bermuara pada deklarasi PBB tentang kesetaraan gender tahun 1975 dan tahun 2015 menjadi agenda global yang terhimpun dalam program suitanable Development Goals (SDGs). (Baca Peran Perempuan dalam Pertanian)

Tentu pergerakan ini akan terus menuai pro dan kontra. Apalagi jika disandarkan pada kondisi kodrat antara wanita dan laki-laki. Di mana kedudukan kodrat hanya di dasarkan pada konteks "alat kelamin.  Pandangan siniesme  seperti ini masih akan terus berlembang terlepas dari maju atau tidaknya sebuah komunitas. 

Tetapi, bagi saya sendiri terlepas dari pro dan kontra tentang kesetaraan gender yang banyak diperjuangkan, saya menggangap perempuan adalah aktor yang memegang peranan penting  dalam berbagai sektor kehidupan. 

Sebagai pemberi gizi utama dalam keluarga, penjaga pangan keluarga hingga peranannya dalam pekerjaan satunya perempuan nelayan.

Indonesia meruapakan egara kepulauan, dan tiga perempatnya ialah wilayah laut wilayah laut. Di sini terdapat 21.82 persen penduduknya bermata penghasilan di subsektor perikanan. (Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir, 2018). 

Dari subsektor itu, terdapat menurut KIARA ada sekitar 3.9 juta perempuan nelayan yang berkontribusi dalam rantai produksi perikanan dan  bekerja 17 jam sehari serta berkontribusi 48 persen dalam ekonomi keluarga (1)

Sementara menurut Napitulu (2020), secara presentase terdapat sekitar 42 persen perempuan bekerja di sektor perikanan. Walaupun dalam konteks kebijakan dan manajemen sering terlupakan.

Padahal,  peranan mereka ini cukup besar. Selain menjamin pangan keluarga, gizi, tumbuh kembang anak, pendidikan

 juga ikut andil dalam proses produksi hingga pemasaran tangkap. Pekerjaan yang dilakukan menurut Nurlaili dan Muhartono (2017) diantaranya ; persiapan perbekalan melaut (ransum), membantu perbaikan jaring pasca melaut, memilah hasil tangkapan ikan, hingga memasarkan.

Dalam berbagai perjalanan riset nelayan pesisir, saya bahkan menemukan lebih dari itu. Perempuan bahkan turut ikut andil dalam memancing. 

Dalam tahapan pasca penangkapan, mereka terlibat dalam proses distribusi hasil tangkap nelayan ke perusahaan-perusahaan, merekap keuangan, mendistribusikan operasional tangkap hingga pemberi modal.

Selain itu, dalam skala industri rumah tangga, perempuan pesisir mampu mengolah hasil tangkap menjadi lebih bernilai (value added). Mulai dari pembelian, pengangkutan, pengolahan,pengemasan hingga pemasaran.

Peranan ini dijalankan setiap hari atau selama ada proses produksi penangkapan yang terjadi. Walau pada kondisi kebijakan, mereka banyal dibaikan. Menurut KIARA mereka ini walau memiliki kontribusi yang sangat besar akan tetapi masih terabaikan dan belum memdapat hak politik. Selain itu juga masih minimnya proses perlindangan terhadap perempuan nelayan tetmaksud didalamnya pengalokasian anggatan khusus. (3)

Terlepas dari berbagai problem ketidakpedulian di atas, ada beberapa hal menurut saya, yang juga semestinya diperhatikan. Yakni, peningkatan skil, edukasi pengelolaan keuangan serta pembentukan kelembagaan.

Kondisi ini saya temukan dilapangan di mana mayoritas dari responden nelayan perempuan yang memiliki kontribusi pada tataniaga perikanan tidak terhimpun dalam sebuah kelembagaan. Sehingga, pada aktualisasinya, dilakukan secara sendiri-sendiri. 

Lemahnya kelembagaan juga menyebabkan mereka tidak memiliki barganing position dalam praktek-praktek pemasaran. Sehingga dalam konteks kebijakan, akan terbaikan begitu saja.

*

Pukul sepuluh pagi, saya memasuki kawasan Tempat Penjualan Ikan TPI Panamboang. Setelah memarkir motor, saya lantas menuju ke kerumunan ibu-ibu yang bercengkrama di dalam areal TPI.

Ibu-ibu ini sedang menunggu para nelayan pulang menangkap. Jika kapal sudah berlabuh, maka mereka langsung menemui kapten dan membicarakan perihal harga, distribusi dan operasional.

Kapal-kapal nelayan ini sendiri bekerjasama dengan mereka dalam sebuah sistem yang disebut patron klien Setelah kesepakatan selesai, ikan lalu diangkut ke TPI.

Disinilah peran mereka. Ikan yang sudah tiba di TPI Kemudian di timbang sekaligus didistribusikan.  Distribusi paling utama ialah ke pihak perusahaan. Setelah terpenuhi, barulah dijual ke pedagang perantara, pengepul antar kota dan pelaku UKM.

Selain melakukan distribusi, peran mereka selanjutnya mengurus izin berlayar kapal, mendistribusikan operasional ke kapal; minyak solar, balok es, air dan perbekalan. Untuk perbekalan kadang dilakukan sendiri oleh nelayan.

Setelah semua selesai barulah dilakukan pembayaran hasil ke kapten atau bendahara kapal. Pembayaran dilakukan dengan mencocokan data timbangan antara nelayan dengan pedagang setelah itu dipotong operasional.

Setiap transaksi, ibu-ibu ini menerima harga perkilogram. Rata-rata pendapatan perkilogram yaitu RP. 1.988 atau Rp. 2.000 rupiah.

Peranan mereka dalam distribusi hasil tangkap nelayan sangat membantu nelayan. Menurut pengakuan nelayan, proses penangkapan sudah sangat melelahkan. Jika mereka melakukan lagi proses distribusi maka mereka akan sangat lelah.

Selain itu, di lokasi ini, pada proses distribusi hasil tangkap 98 persen didominasi oleh kaum perempuan. Dari data yang terhimpun, tercatat ada 32 orang dan 30 diantaranya ialah perempuan.

Kekuatan mereka juga tak main-main. Farida misalnya (49 tahun), Ia merupakan pedagang perantara terbesat karena mampu mendistribusikan hasil tangkap  11 kapal nelayan. Selebihnya dari itu hanya mampu 2 sampai 3 kapal karena persolan modal.

Berbeda dengan Farida, Ismi (20 tahun). Wanita lulusan Sekolah Menengah atas ini terlibat praktek yang lain. Ia melalukan penjualan ikan hasil tangkapan suaminya di salah satu jalan di Desa Tembal.

Ikan-ikan yang dijual ialah ikan dasaran. Pekerjaan ini sudah Ia lakoni sejak menikah. Ikan-ikan tersebut dijualnya mengikuti perkembangan harga yang berlaku di pasar.

Setiap pagi, setelah suaminya pulang, Ia lantas memilah ikan-ikan hasil tangkapan berdasarkan jenis. Setelah dipiliha kemudian disatukan perjenis. 

Setelah selesai, ia lantas menuju lokasi tempat biasa Ia melakikan penjualan. Biasanya kata Ismi, semua ikan akan laku menjelang siang. Dan jika tidak laku, Ia akan jual lagi pada sore hari.

Hasil penjualan kemudian ditabung dan sebagian digunakan untuk keperluan rumah tangga.

Jika Ismi memiliki tempat jualan sendiri, maka Jauhari (40 tahun) berbeda. Perempuan asal pulau Makeang ini melakukan penjualan hasil pancing suaminya ke kampung-kampung sebelah.

Suaminya melaut saat subuh dan pulang pada pagi hari. sekita pukul 9 atau 10. Ikan hasil suaminya kemudian di bit; ikan yang dikat pada sebuah tali. 

dalam satu bit berisi 5 sampai 6 ekor. Ikan tersebut kemudian diisi ke baskom lalu diletakan ke kepala. Ia lantas berjalan kaki ke kampung-kampung tetangga karena tak ada jalan hotmix ataupun kendaraan.

Perjalanan ke kampung sebelah Ia susuri melalui jalan setapak hasil swadaya masyarakat. Sesampainya di kampung Ismi akan berteriak agar masyarakat mendengar ada yang menjual ikan.

Biasanya Jika belum ada pedagang lain yang lewat maka tak menunggu sampai beberapa menit ikan tersebut akan ludes. Akan tetapi jika ada pedagang yang sudah lebih dulu menjual ikan di kampung itu, maka Ia harus berjalan ke kampung sebelah lagi dengan medan yang tidak mendukung.

Rata-rata harha ikan yang dijual bervariasi. Namun harga stabdar ialah 20 ribu per enam ekor atau 1 bit. Setelah ikan ludes, Ia akan berjalan lagi pulang ke kampung.

Tentu selain mereka di atas, tak terhitung berapa banyak saya menemui mereka. Misalnya di Bajo, saya menemukan para perempuan mengolah hasil butuan kerang menjadi beberapa jenis makanan lagi dijual ke pasar dengan menyebrang menggunakan sampan. 

Di Panamboang, Tembal, dan Papaloang saya menemukan para pelaku UKM yang mengolah hasil tangkap baik dari tangkapan para suami dan dibeli menjadi abon ikan, keripik ikan, hingga ikan fufu, ikan yang diasap.

Di Desa Bobane Igo Kabupaten Halmahera Barat, saya menemukan perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam penangkapan cumi hingga di Muari Kabupaten Halmahera Selatan, perempuan-perempuan selain memancing bersama suami juga turut andil menyebrangi lautan ke pulau-pulau lain menjajakan hasil tangkap.

Begitu banyak hal yang saya temukan dalam peranan dan keterlibatan mereka. Mereka terlibat langsung tanpa disadari. Keterlibatan mereka cukup krusial dan kadang tak dapat diterka.

Walaupun begitu, seperti yang dikatakan diawal, peranan mereka yang begitu penting ini tidak semerta-merta dilibatkan di atas meja kebijakan.

Perempuan-perempuan ini masih jauh dari kata perhatian bahkan tak sedikit kondisi di mana mereka hanya jadi bagian yang tak dianggap. Olehnya itu, perlu perhatian semua pihak, bahwa di pesisir Indonesia, banyak perempuan tangguh pemberi kontribusi baik keluarga hingga negara yang harus dilindungi dan diperhatikan. Terutama pada hak-haknya di dalam komunitas. 

Happy International Women's Day. (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun