Lalu bagaimana dengan perusahaan yang mematok harga 12 ribu? Persaingan harga untuk mendapatkan stok kah? Toh tidak semua menjual ke perusahaan yang mematok harga 13 ribu.
Pertanyaan itu terus berputar, namun pendengaranku masih tetap waspada. Layaknya demonstran yang jaga-jaga bila ada penyusup dalam barisan.
"Dapat 3 ton, bayar hutang operasional. Sisanya 1 juta sekian, bisa apa? Kalau begini terus bisa-bisa tidak melaut. Harusnya pemerintah jika mau nelayan sejaterah ya naikan harga sedikit. Terus BBM harus siap sedia dan murah. Begitu juga es balok. Ini tidak, harga perusahaan yang menentukan, es balok milik perusahaan, minyak milik perantara. Mending berhenti memancing lalu kerja di tambang saja sepertinya", kesal salah satu dari mereka.
Pernyataan ini membuat saya sedikit berangan. Seginikah kondisi nelayan? Nelayan-nelayan penghasil TCT yang menjadi komoditas ekspor terbesar kedua setelah udang ini justru menghadapi banyak persoalan hulu.
Padahal, Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT) adalah komoditas yang memiliki nilai ekspor bahkan mencapai 176.63 juta US dolar per Maret 2020 dengan volume ekspor mencapai 105.20 ribu ton (BPS, 2020).Â
Bahasan demi bahasan terus mendengung. Kekesalan mereka bagi saya adalah sebuah kebenaran dari persoalan yang dihadapi nelayan.Â
Terlepas dari primadonanya daging ikan cakalang yang berhasil mereka tangkap dan berakhir di meja restoran melalui rantai yang panjang.
Sejam berselang, kedua nelayan itu pergi. Saya panggil ibu pemilik warung hendak membayar sepiring nasi dan sepotong cakalanh.Â
"Bu, berapa. Nasi dan cakalang?"Â
"20 ribu", jawabannya sontak membuat saya kaget.
"Hah 20 ribu? Sungguh sebuah kesenjangan ya, ingin rasanya ku pancing sendiri", ujarku dalam hati. (sukur dofu-dofu).