Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ironi Kehidupan Nelayan Cakalang akibat Tambang di Kepulauan Obi

8 Maret 2021   03:29 Diperbarui: 8 Maret 2021   11:14 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan ikan cakalang jadi salah satu momen yang diperoleh dalam memancing ikan secara tradisional oleh nelayan di Ternate, Maluku. Ikan dipancing hanya dengan bilah bambu (Sumber: otomotif.kompas.com)

"Mari masuk, mau makan apa?", tanya seorang ibu saat saya memasuki warung berdinding papan. 

Satu karyawan yang sedang menyusun piring kemudian buru-buru menyeka tangan lalu berdiri di depan saya sembari menanti apa yang akan saya pesan.

"Ada apa saja bu?", tanyaku penasaran dengan menu yang tersimpan di balik tirai. Namun sebelum melihat menu, segelas es teh sudah terlebih dulu membasahi kerongkongan karena dahaga tak tertandingi.

Sedari tadi, ku obral suara atas keingintahuanku pada pedagang dan nelayan di luar sana. Hingga lupa, ikan-ikan yang menjadi pilihanku yang nantinya akan berakhir di panci penggorengan dan menjadi hidangan di meja makan.

Tirai di buka, aroma rempah menyeruak hingga hidung mendobrak langit-langit hidung. Perut tak tinggal diam, ikut berdemo agar secepatnya menu-menu itu memenuhi lambung sebagai mekanisme kenapa ia diciptakan.

Mata bekerja meyakinkan diri agar memesan ikan cakalang yang tersisa sepotong, ngiler? Jangan ditanya, hampir saja ludahku tumpah takaruang. 

Terlihat, sayur garu (daun singkong berbumbu), daun pepaya, sambal colo-colo melambai agar disertakan sebagai pelengkap. 

Ingin rasanya saya penuhi semua menu ini ke dalam piring dan nasi yang sudah menggunung. Tapi, saya hanya ingin sepiring nasi dan sepotong cakalang goreng serta sedikit sambal.

Saya makan dengan gairah seperti orang kesurupan. Suapan pertama begitu nikmat, menggoyah lidah. Menarik kembali rasa yang sudah kebal karena makanan kota. 

Saya jadi iri pada mereka, kawan-kawanku yang makan dengan lahap. Di Jakarta atau di Bogor, di warung pinggir jalan khasnya kelas mahasiswa. Mereka begitu menikmati sepotong cakalang yang "mati berkali-kali" itu dengan ejekan yang katanya lidahku tak nasionalis.

Saya nasionalis kok, hanya saja ketika ku tatapi cakalang yang tersaji, lidah tak mau berkompromi. Menolak dengan keras, toh penolakan lidah ini justru sejalan dengan slogan berbeda-beda tapi satu jua.

Saya menikmati menu sederhana ini sembari ditemani lantunan lagu Imam S Arifin. Nyayian ombak di kolong warung menjadi pelengkap sembari pikiran melayang jauh. Aih kalau saya makan sepotong ikan ini di Jepang, pasti harganya melangit.

Sementara itu, dua nelayan masuk dan memesan kopi lalu duduk di hadapan saya. Nampak mimik wajah sedikit geram, "Apanya yang sejahtera, ikan saja sudah susah, harga tak naik-naik. Mungkin mereka mau kita tidak usah memancing lalu pindah kerja ke di tambang", ucap salah satu dari mereka yang membuatku melongo. 

Ada apakah ini? Gumam dalam hati.

**

"Cakalang hari ini harganya 11 ribu per kilo"

Saya tertunduk, merasa bersalah atas pertanyaan yang ku ajukan pagi buta ke seorang bendara kapal. Matahari belum pecah dan ia juga belum menyeruput kopi, sudah ku cecar berbagai pertanyaan metodeis.

Harusnya saya bertanya "bisa berapa ton ditangkap hari ini" dan bukan soal harga yang sekali-kali bikin geram nelayan.

"Nanti, habis memancing baru dibahas", katanya sembari menuju ke geladak kapal.

Yap. Pagi ini saya ikut kapal nelayan dan tanpa sadar sudah berada di Tanjung Gorango (bahasa lokal ialah Tanjung Hiu)

Di balik teropong, saya lihat rumpon-rumpon dikerubungi ikan-ikan. Kapal-kapal berdatangan, pemancing siap siaga; huhate, ikan teri dan alkon disiapkan. 

Ketika pandangan menengok ke kapten di balik kemudi, ia begitu sigap mengarahkan kapal ke kerumunan ikan, memacu kapal agar berada tepat di gerombolan ikan. 

Umpan ditebar, alkon dihidupkan, dan huhate berserta kali dimainkan. Terbanglah ikan-ikan menghantam geladak. Satu demi satu hingga tak terhitung. 

Terpakulah saya di atap kapal, sungguh indah dan menakjubkan. Ikan-ikan di sini sungguh banyak. 

Pantas saja, nelayan-nelayan dari dalam dan luar Maluku Utara datang menangkap di sini. Benar kata orang, Tanjung Gorango sungguh potensial.

Saya jadi ingat, cerita seorang mantan bendahara perusahaan BUMN yang berjaya di era 80-90-an saat bertandang ke rumahnya. 

Tanjung Gorango menjadi penghasil Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT) yang membuat jaya namanya, bahkan membuat kaya BUMN yang beroperasi. 

Beliau, bertutur bahwa saat ia akan ke mana-mana harus dikawal apalagi ke bank karena banyaknya Rupiah yang dihasilkan. 

"Di zaman itu, milayaran per bulan kita dapat," ungkapnya

Penjualannya menembus pasar Eropa, Sementara pasar tujuan utama ialah Jepang, Cina dan Thailand. Selebihnya memenuhi permintaan domestik.

Ikan-ikan pun memiliki bobot di atas tiga kilogram per ekor. Hampir saja saya menumpahkan kopi dari mulut. Sebab, beberapa hari kemarin ukuran ikan yang saya ukur hanya berbobot 1,5 kilogram per ekor.

Akhirnya penelitian Apituley (2018) yang sempat saya baca dapat dipercaya. Penemuannya tentang ukuran terbesar ikan cakalang di perairan ini ialah di atas tiga kilogram. 

Hari ini, proses pemancingan dilakukan hingga sore hari. Ikan yang dihasilkan tak memenuhi target. Kami pulang dengan sedikit raut kekecewaan. Hasil tangkapan hanya cukup menutupi hutang operasional kepada perantara. 

Ukurannya hanya 0.5, tak sampai 1 kilo. Artinya, hanya delapan ribu Rupiah per kilo. 

Jadilah saya bertanya, di sela-sela kepulangan kami menuju fishing base di Desa Panamboang Bacan, "Ikan kurang mungkin karena tambang," Ujarnya

Saya heran, "Kok tambang. Kenapa dengan tambang?"

"Semenjak beroperasi, ikan susah di dapat. Banyak kapal tongkang lalu lalang. Banyak material jatuh ke laut. Kalau mau banyak harus berlayar jauh. Sementara operasional solar tak cukup".

Aih lagi-lagi pertambangan, tambang yang beroperasi di Kepulauan Obi itu telah merusak alur migrasi ikan yang katanya wilayah potensi Tuna, Cakalang, Tongkol (TCT). 

Pemerintah sendiri menyebutnya wilayah perairan perikanan 715. Wiilayah potensial migrasi ikan karena masuk keluar pasifik. Dan juga memplot wilayah ini sebagai pusat pengembangan Perikanan Tuna, Cakalang, Tongkol (TCT). Yang lagi-lagi, wilayah ini terutama di Halmahera Selatan akan dijadikan pusat industrialisasi perikanan dan Lumbung Ikan Nasional.

Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang oleh Thalib (2018) menyatakan adalah suatu wilayah atau kawasan penghasil produksi perikanan secara berkelanjutan dan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi perikanan nasional.

Artinya daerah tertentu diplot sebagai produsen perikanan yang diharapkan dapat menyuplai kebutuhan konsumsi masyarakat maupun permintaan konsumen seperti industri nasional dan pioner kebutuhan pasar luar negeri.

Lantas bagaimana jadinya jika aspek berkelanjutan saja sudah tidak terpenuhi? Pencemaran laut terlihat nyata. Narasi apa yang hendak dibangun? LIN kah atau industrialisasi mineral?

Saya jadi ingat lagi tentang hilangnya ikan-ikan yang berada di teluk Kao Halmahera Utara. Ikan-ikan teri yang menjadi primadona petambak kini hilang karena laut tercemar akibat tumpahan material dari aktivitas pengangkutan.

Hilang ikan, hilang mata pencaharian, hilang rupiah. Pantas saja, ketika bertandang ke pasar tradisional, seorang nelayan mengeluh hasil tangkapan ikan dasarnya tak lagi sama karena kehadiran tambang di Pulau Obi. 

Saya semakin benggong, ketika nelayan yang ku tanyakan juga mengungkapkan akan ada rencana pembangunan tailling laut. Itu, sistem pembuangan limbah tambang ke dalam laut.

Sejenak termenung sambil menerawang, jika benar teralisasi, lalu apakah narasi pembangunan perikanan di atas akan runtuh? 

Narasi siapa yang hendak dijalankan, nelayan kah? atau pemodal besar yang pada momentum politik punya andil dalam menyokong dana kampanye?

Saya tak bisa menjawab, hari ini dicukupkan pertanyaan. Raut nelayan yang kecewa tak ingin ku tambahkan luka. 

Biarlah hari ini kusaksikan saja transaksi para nelayan dan perantara dan pihak perusahaan perikanan. 

Sepiring nasi dan sepotong cakalang telah selesai saya santap. Lagu Imam S Arifin pun sudah berganti ke lagu daerah berbahasa Ternate yang dinyanyikan oleh Tahe Umar. 

Ibu pemilik warung juga terlihat asik mengobrol perihal fee rumpon. Sementara, dua nelayan di hadapanku belum beranjak. Kopi yang mereka teguk belum juga habis. 

"Harusnya harga ikan dinaikan sedikit. BBM sudah tidak dapat subsidi juga", ungkap salah satu dari mereka.

Saya menyaksikan dengan seksama. Jaga-jaga jika ada celah untuk terlibat sembari menutup hidangan makan siang dengan secangkir kopi.

Mereka terlihat begitu kesal karena harga ikan cakalang sebulan ini begitu rendah. Selain itu terdengar sedikit kekesalan pada perantara yang bekerja sama dengan mereka.

"Perusahaan kan beli 13 ribu, masa kita dikasih 11 ribu sama perantara. Untung dua ribu tanpa kenapa-kenapa".

Saya masih menyimak sembari memungut ingatan akan keingintauhuan pagi tadi. Pantas saja, semua perantara yang ku wawancarai berkata demikian. Harga cakalang 11 ribu karena perusahaan mematok harga 13 ribu. 

Lalu bagaimana dengan perusahaan yang mematok harga 12 ribu? Persaingan harga untuk mendapatkan stok kah? Toh tidak semua menjual ke perusahaan yang mematok harga 13 ribu.

Pertanyaan itu terus berputar, namun pendengaranku masih tetap waspada. Layaknya demonstran yang jaga-jaga bila ada penyusup dalam barisan.

"Dapat 3 ton, bayar hutang operasional. Sisanya 1 juta sekian, bisa apa? Kalau begini terus bisa-bisa tidak melaut. Harusnya pemerintah jika mau nelayan sejaterah ya naikan harga sedikit. Terus BBM harus siap sedia dan murah. Begitu juga es balok. Ini tidak, harga perusahaan yang menentukan, es balok milik perusahaan, minyak milik perantara. Mending berhenti memancing lalu kerja di tambang saja sepertinya", kesal salah satu dari mereka.

Pernyataan ini membuat saya sedikit berangan. Seginikah kondisi nelayan? Nelayan-nelayan penghasil TCT yang menjadi komoditas ekspor terbesar kedua setelah udang ini justru menghadapi banyak persoalan hulu.

Padahal, Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT) adalah komoditas yang memiliki nilai ekspor bahkan mencapai 176.63 juta US dolar per Maret 2020 dengan volume ekspor mencapai 105.20 ribu ton (BPS, 2020). 

Bahasan demi bahasan terus mendengung. Kekesalan mereka bagi saya adalah sebuah kebenaran dari persoalan yang dihadapi nelayan. 

Terlepas dari primadonanya daging ikan cakalang yang berhasil mereka tangkap dan berakhir di meja restoran melalui rantai yang panjang.

Sejam berselang, kedua nelayan itu pergi. Saya panggil ibu pemilik warung hendak membayar sepiring nasi dan sepotong cakalanh. 

"Bu, berapa. Nasi dan cakalang?" 

"20 ribu", jawabannya sontak membuat saya kaget.

"Hah 20 ribu? Sungguh sebuah kesenjangan ya, ingin rasanya ku pancing sendiri", ujarku dalam hati. (sukur dofu-dofu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun