Sejenak termenung sambil menerawang, jika benar teralisasi, lalu apakah narasi pembangunan perikanan di atas akan runtuh?Â
Narasi siapa yang hendak dijalankan, nelayan kah? atau pemodal besar yang pada momentum politik punya andil dalam menyokong dana kampanye?
Saya tak bisa menjawab, hari ini dicukupkan pertanyaan. Raut nelayan yang kecewa tak ingin ku tambahkan luka.Â
Biarlah hari ini kusaksikan saja transaksi para nelayan dan perantara dan pihak perusahaan perikanan.Â
Sepiring nasi dan sepotong cakalang telah selesai saya santap. Lagu Imam S Arifin pun sudah berganti ke lagu daerah berbahasa Ternate yang dinyanyikan oleh Tahe Umar.Â
Ibu pemilik warung juga terlihat asik mengobrol perihal fee rumpon. Sementara, dua nelayan di hadapanku belum beranjak. Kopi yang mereka teguk belum juga habis.Â
"Harusnya harga ikan dinaikan sedikit. BBM sudah tidak dapat subsidi juga", ungkap salah satu dari mereka.
Saya menyaksikan dengan seksama. Jaga-jaga jika ada celah untuk terlibat sembari menutup hidangan makan siang dengan secangkir kopi.
Mereka terlihat begitu kesal karena harga ikan cakalang sebulan ini begitu rendah. Selain itu terdengar sedikit kekesalan pada perantara yang bekerja sama dengan mereka.
"Perusahaan kan beli 13 ribu, masa kita dikasih 11 ribu sama perantara. Untung dua ribu tanpa kenapa-kenapa".
Saya masih menyimak sembari memungut ingatan akan keingintauhuan pagi tadi. Pantas saja, semua perantara yang ku wawancarai berkata demikian. Harga cakalang 11 ribu karena perusahaan mematok harga 13 ribu.Â