"Saya belum Kuliah Bang karena Adik Saya masih kuliah. Saya berkebun buat biaya dia kuliah dulu sampai selesai. Barulah nanti dipikirkan apakah saya kuliah atau tidak,"Â
Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi merupakan sebuah keharusan saat ini. Banyak dari remaja yang baru menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas kemudian berbondong-bondong mendaftar ke berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Di perguruan tinggi, kemudian kita, maupun mereka banyak menempa diri. Menuju proses pendewasaan. Membangun pemikiran, sikap dan komitmen. Dimensi ini adalah ranah aktualisasi diri selain dari tujuan utama meraih ijasah.Â
Ibarat kata, menuju perguruan tinggi terselip harapan bagi para orang tua terutama perihal masa depan. Apalagi saat ini standar mencari pekerjaan membutuhkan ijasah sarjana.
Sehingga, setiap orang baik individu maupun keluarga menginginkan yang terbaik dengan menempatkan pilihan-pilihan pada universitas terbaik. Bahkan tak tanggung-tanggung banyak kasus seperti penyuapan hingga istilah "orang dalam" juga berlaku pada proses ini.
Semua dilakukan agar anak-anak bisa berada di perguruan tinggi terbaik dan fakultas unggulan. Yang diyakini bagian dari kesuksesan masa depan.Â
Namun, diantara geliat itu, masih banyak yang harus memperhitungkan segala kemungkinan untuk berkuliah. Masih banyak orang tua yang harus menghitung untung rugi menyekolahkan semua anaknya. Dan, masih banyak yang harus mengalah antara satu dengan yang lain.Â
Faktor utamanya tentu saja ekonomi. Dan faktor kesempatan. Faktor ekonomi membuat banyak anak-anak yang berkeinginan ke jenjang perguruan tinggi tertahan.Â
Biaya yang tinggi itu kadang tak mampu ditanggung apabila semua anak berkuliah. Sehingga, tak jarang, perguruan tinggi hanya angan-angan yang kadang tak pernah dicapai sama sekali.
*
Sofyan baru saja datang. Duduk bergabung dalam barisan kami yang sedang ngopi di teras rumah sore itu. Raut wajah pria 22 tahun ini nampak kelelahan.Â
Maklum saja, setiba dari kampung pukul 10 pagi, ia langsung mengangkut hasil panen pala untuk dijual. Satu demi satu toko dia datangi untuk mencari penawaran terbaik.Â
Perbedaan harga per tokoh relatif tak berjauhan. Namun bagi Sofyan, menemukan pembeli dengan harga yang pas merupakan keuntungan. Walau Ia harus sedikit berkeliling dari tokoh satu ke yang lain.
"Opan, Kopi ?". Tawarku padanya
"Boleh Bang," Sahutnya sembari memperbaiki posisi duduk.
" Tebal ni pasti," Ucapku meledek karena tau Ia habis menjual Pala.
Ledekan seperti ini sudah biasa diucapkan jika masyarakat sehabis menjual hasil panen. Kata tebal diharfiakan sebagai pendapatan yang besar.
"Haduh bang, harga Pala ancuuur," sahutnya sembari mengaruk-garuk kepala.
"Berapa perkilo,"ujarku kemudian.
"65 perkilo bang. Bulan kemarim 100 ribu. Turun jauh," terangnya.
"Lumayan sudah kalau 65. Apalagi pas musim panen begini," ujarku menenangkan. Takut kalau Ia kepikiran.
Sudah barang biasa harga pala, cengkih atau kelapa berfluktuatif harganya. Dan banyak dari petani yang terpaksa menjual hasil panennya karena kebutuhan mendesak. Walau dalam keinginan masih tetap ingin menyimpan hingga harga cukup tinggi.
Kopi sudah mendarat cantik di meja. Sofyan langsung meneguk. Kemudian kembali diam diantara keramaian. Kepalanya Ia tengadakan keatas. Sesekali mengela napas panjang. Ia semacam terlibat dalam sebuah dilema.
"Woe. Diam-diam bae.," ledek ku lagi meniru kata viral ini agar Ia mau berinteraksi dalam obrolan tentang sepakbola diadu politik sore ini. Pembahasan gado-gado yang sesekali membuat kami tertawa lepas.
"Tidak Bang sedang memikirkan uang kuliah adik saya. Sudah mau masuk semester. Kalau tak dibayar maka bisa cuti," Jelasnya.
"Tinggal berapa hari pembayaran?," tanyaku lagi penasaran.
"Katanya tinggal empat hari," jawabnya.
"Lantas sudah cukup uangnya," tanyaku lagi.
"Itu dia bang. Hasil jual pala tadi baru setengah dari semesternya. Masih harus cari setengahnya. Sementara kelapa belum tua belum bisa buat kopra. Jadi pusing apakah mau pinjam atau bagaimana." Ujarnya.
"Pantas kamu diam dari tadi. Masalahmu cukup berat," sahutku.
Kami berdua akhirnya mengobrol panjang mencari jalan keluar dan meninggalkan pembahasan umat perihal sepakbola dan politik.Â
Hingga menjelang pukul delapan malam, kami menemukan solusi dan Ia pamit pulang dengan sedikit mimik yang sudah tak terbebani.
Sofyan sendiri adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Dia dan adik keduanya diasuh oleh orang tua angkat yang tak lain saudara Ayahnya. Sementara satunya lagi diasuh sudara ayahnya yang lain.
Lika-liku kehidupan diawali dari kepergian sang ayah karena dipanggil sang Illahi. Dan Ibunya memilih menikah lagi kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.Â
Namun, dengan keadaan seperti ini tak lantas membuat mereka bertiga patah semangat bersekolah.Â
Sehabis SMA Ia tak langsung kuliah karena berbagai hal hingga pada suatu titik Ia memutuskan menguliahkan adiknya setelah sang adik lulus SMA.
Keputusan menutamakan adiknya bukan tanpa alasan. Sebab ada konflik batin yang begitu erat. Satu sisi Ia ingin berkuliah namun rumah tempat Ia hidup saat ini masih membutuhkannya perihal mengelola hasil kebun.Â
Hal ini lantaran tak ada anak dewasa dalam keluarganya. Ia pun memaklumi toh mereka sudah merawat Ia dan adiknya hingga besar. Selain itu, jika Ia Kuliah maka adiknya akan ketinggalan.Â
Dengan cukup dewasa dan legowo Ia memutuskan mengutamakan adiknya. dan Ia yang membiayayai segala macam kebutuhan kuliah adiknya.
Hingga kini, memasuki semester 6, Ia terus berupaya memenuhi setiap kebutuhan. Baik dari dirinya maupun sedikit tamabahan dari keluarganya.
Soyan bekerja serabutan. Selain mengelola kebun milik keluarga, Ia juga menjadi pekerja kasar. Seperti memetik cengkih, membuat kopra, buru bangunan dan segala jenis pekerjaan. Dari setiap pekerjaan, Ia sisipkan sebagian besar buat biaya adiknya.Â
Pernah sekali saya bertanya apa gerangan Ia tak kuliah, Ia lantas menjawab bahwa saat ini tak ada biaya untuk kuliah karena adiknya masih kuliah dan Ia harus bekerja membantu sang adik.
Besar harapan agar adiknya bisa menyelesaikan kuliah dan dapat pekerjaan. Sebab dengan begitu, segala yang Ia perjuangkan tak sia-sia.Â
Sofyan sendiri juga punya harapan berkuliah. Bahkan menurut penuturannya, Ia kadang iri melihat anak-anak di kampung bisa ke perguruan tinggi dan menyandang status mahasiswa.Â
Apalagi ketika kembali ke kampung banyak dari mahasiswa tersebut memiliki pengetahuan yang kritis dan sistematik. Sesuatu yang ingin Ia miliki dan rasakan.
(Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H