Seperti yang disinggung di atas, politik di era demokrasi saat ini membutuhkan cost yang sangat besar. Sehingga memungkinkan segala cara dilakukan. Selain transaksi money politik, hal klasik yang sering terjadi ialah politik identitas.
Saya mendapat banyak fenomena tentang ini, yang paling lumrah ialah identitas etnis.
Doktrin sederhannya ialah kandidat A etnis A maka wajib memilih etnis B. Begitupun dengan C, D dan seterusnya. Alhasil, kondisi yang dihasilkan ialah isu sara yang menyerang etnis atau marga tertentu.Â
Memang manusia tak bisa lepas dari identitas. Itu haknya. Namun jika transformasi identitas itu dijadikan pakem politik maka yang hadir adalah konflik yang berkepanjangan karena luka.
Yap, politik identitas sangat syarat konflik, isu sara hingga moral. Baru-baru ini saja saya di ceritakan oleh salah satu teman bahwa di kampungnya warga bahkan saling melarang menggunakan atau mengambil air parigi; sumur karena perbedaan pilihan.
*
Tiga fenomena di atas hanyalah bagian dari rangkuman atas item-item penunjang demokrasi yang terjadi saat ini. Masih banyak item yang harus diperhatikan. Namun yang paling utama ialah dalam kondisi pilkada yang dipaksakan pada era pandemi saat ini perlu dua hal. Pertama sehat jasmani dan sehat politik.
Kita harus mampu meletakan kesadaran paling depan pada agar mampu menjamin demokrasi yang sehat. Kesadaran menerapkan protokoler hingga menolak politik uang dan politik identitas.
Mari gunakan hak pilih sebaik-baiknya. Agar pemimpin yang dihasilkan berkualitas.
*
1. 40 Anggota KPPS Taliabu Dinyatakan Reaktif